Notification

×

Iklan

Iklan

Mengurai Paradoks Politik Pengakuan Palestina

Minggu, 28 September 2025 | 16.23 WIB Last Updated 2025-09-28T09:23:27Z

Ruben Cornelius Siagian Pendiri Riset Center Cendikiawan dan Peneliti Muda Indonesia, Medan Sumatera Utara.  

OPINI.CO. MEDAN Isu pengakuan Palestina sering digambarkan sebagai persoalan moral dan kemanusiaan. Tapi mari jujur, bahwa politik internasional jarang sekali murni soal moral. Data penelitian yang saya lakukan justru membuka kenyataan pahit, bahwa solidaritas hanya jadi slogan, sementara keputusan negara sering ditentukan oleh kepentingan ekonomi, aliansi strategis, bahkan “aturan tak tertulis” yang diwariskan oleh kekuatan besar dunia. Dan di balik itu semua, ada pola yang terlalu konsisten untuk disebut kebetulan.

 

Aliansi Global adalah Jejak Kekuatan Tersembunyi

 

Coba kita perhatikan aliansi internasional. BRICS, Liga Arab, dan NAM nyaris kompak mengakui Palestina. Sebaliknya, NATO dan G7 menutup rapat pintu pengakuan. Apakah ini sekadar perbedaan pandangan? Atau tanda bahwa blok Barat punya kontrak tak terlihat dengan Israel?


Afiliasi aliansi benar-benar memengaruhi sikap pengakuan. Ini artinya, ada “script global” yang dimainkan, di mana aliansi bukan hanya kumpulan negara, melainkan alat hegemonik untuk mempertahankan narasi tertentu. Palestina, dalam hal ini, hanyalah pion di papan catur kekuasaan.


Geografi Solidaritas yang mengartikan Dekat Peduli, Jauh Abai

 

Dari peta, jelas terlihat pola, bahwa Afrika, Asia, dan Amerika Latin lebih banyak mengakui Palestina, sementara Eropa dan Oseania dingin dan cenderung menolak. Uji Moran’s I yang telah saya lakukan telah menegaskan ini bukan acak. Solidaritas bergerak dalam kluster regional.


Tapi pertanyaan yang bisa kita pikirkan adalah apakah ini soal kedekatan geografis dengan konflik, atau ada faktor lain? Mengapa Eropa yang secara historis punya utang moral besar akibat kolonialisme dan Holocaust malah memilih berpihak pada status quo? Jangan-jangan “utang sejarah” itulah yang membuat mereka terlalu dekat dengan Israel untuk berani mengakui Palestina.

 

Kaya Menolak, Miskin Mendukung


Adapun hasil regresi logistik yang telah saya lakukan memperlihatkan sesuatu yang ironis, bahwa semakin kaya suatu negara (GDP tinggi), semakin kecil kemungkinan ia mengakui Palestina. Negara miskin justru lebih vokal mendukung Palestina.

 

Apakah ini berarti kekayaan membuat negara kehilangan nurani? Atau sebaliknya, negara kaya terikat pada jaringan kepentingan finansial global, yaitu mulai dari perdagangan senjata, akses teknologi, hingga lobi politik yang membuat mereka tak bisa seenaknya menentang Israel? Kalau mengikuti logika teori dependensi, negara kaya sebenarnya juga “tergantung” pada sistem global yang mereka sendiri ciptakan (Smith, 1979). Sehingga dari hal ini penolakan Palestina bisa jadi bukan pilihan bebas, melainkan bagian dari kontrak geopolitik yang menjaga stabilitas kekuasaan ekonomi global.

 

Hubungan dengan Israel adalah Benang Merah yang Tidak Terputus

 

Dari 142 negara yang punya hubungan resmi dengan Israel, mayoritas tetap mengakui Palestina. Namun ada 29 negara yang tidak. Mengapa mereka berbeda?

 

Jawabannya mungkin terletak pada level kepentingan strategis. Negara yang “cukup dekat” dengan Israel tetapi tidak terlalu tergantung, masih bisa menyeimbangkan sikap. Tapi bagi negara yang benar-benar terkunci dalam orbit Israel dan sekutunya, pengakuan Palestina bisa dianggap ancaman.

 

Inilah benang merah yang jarang diungkap, bahwa hubungan dengan Israel tidak hanya bilateral, tapi bagian dari arsitektur global yang melibatkan intelijen, ekonomi, bahkan keamanan militer internasional. Ada lapisan-lapisan pengaruh yang membuat Palestina seperti terjebak dalam labirin geopolitik.

 

Gambar: Alur Berfikir Penulis

Implikasi bagi Indonesia pada Peluang di Tengah Paradoks

 

Bagi Indonesia, temuan ini bukan sekadar catatan akademik. Posisi Indonesia unik, bukan sekutu dekat Israel, punya kedekatan historis dengan Palestina, dan menjadi pemimpin di ASEAN maupun NAM. Artinya, Indonesia bisa memainkan peran sebagai “pengganggu narasi” dominan Barat.

 

Strategi ke depan jelas. bahwa jangan berharap banyak dari NATO dan G7, tapi perkuat blok dukungan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Yang lebih penting, Indonesia bisa menggunakan paradoks ini untuk membangun citra, bahwa di tengah negara kaya yang pragmatis, negara berkembanglah yang masih punya nurani. Dengan begitu, Indonesia bukan hanya sekadar pendukung Palestina, tapi juga simbol perlawanan terhadap hegemoni geopolitik global.

 

Palestina dan Wajah Asli Dunia

 

Adapun kajian yang saya lakukan bahwa pengakuan Palestina tidak pernah murni soal moralitas. Ia adalah cermin dari wajah asli dunia yang penuh paradoks, kepentingan, dan hipokrisi.

 

Negara kaya berbicara tentang demokrasi tapi menolak hak Palestina. Negara miskin, yang sering dipandang lemah, justru berani bersuara. Aliansi internasional yang katanya dibangun untuk perdamaian ternyata lebih peduli pada stabilitas kepentingan daripada keadilan.

 

Jika ada yang masih percaya bahwa politik global digerakkan oleh nilai kemanusiaan, data ini cukup untuk meruntuhkan ilusi itu. Dan mungkin, di balik semua ini, ada sesuatu yang lebih besar, bahwa sistem dunia yang sejak awal memang dirancang agar Palestina tidak pernah benar-benar merdeka.


×
Berita Terbaru Update