Ruben Cornelius Siagian Pendiri Riset Center Cendikiawan dan Peneliti Muda Indonesia, Medan Sumatera Utara.
Aliansi
Global adalah Jejak Kekuatan Tersembunyi
Coba kita perhatikan aliansi internasional. BRICS, Liga Arab, dan NAM nyaris kompak mengakui Palestina. Sebaliknya, NATO dan G7 menutup rapat pintu pengakuan. Apakah ini sekadar perbedaan pandangan? Atau tanda bahwa blok Barat punya kontrak tak terlihat dengan Israel?
Afiliasi
aliansi benar-benar memengaruhi sikap pengakuan. Ini artinya, ada “script
global” yang dimainkan, di mana aliansi bukan hanya kumpulan negara,
melainkan alat hegemonik untuk mempertahankan narasi tertentu. Palestina, dalam
hal ini, hanyalah pion di papan catur kekuasaan.
Geografi
Solidaritas yang mengartikan Dekat Peduli, Jauh Abai
Dari peta, jelas terlihat pola, bahwa Afrika, Asia, dan Amerika Latin lebih banyak mengakui Palestina, sementara Eropa dan Oseania dingin dan cenderung menolak. Uji Moran’s I yang telah saya lakukan telah menegaskan ini bukan acak. Solidaritas bergerak dalam kluster regional.
Tapi pertanyaan yang bisa kita pikirkan adalah apakah ini soal kedekatan geografis dengan konflik, atau ada faktor lain? Mengapa Eropa yang secara historis punya utang moral besar akibat kolonialisme dan Holocaust malah memilih berpihak pada status quo? Jangan-jangan “utang sejarah” itulah yang membuat mereka terlalu dekat dengan Israel untuk berani mengakui Palestina.
Kaya Menolak, Miskin Mendukung
Adapun hasil
regresi logistik yang telah saya lakukan memperlihatkan sesuatu yang ironis,
bahwa semakin kaya suatu negara (GDP tinggi), semakin kecil kemungkinan ia
mengakui Palestina. Negara miskin justru lebih vokal mendukung Palestina.
Apakah ini
berarti kekayaan membuat negara kehilangan nurani? Atau sebaliknya, negara kaya
terikat pada jaringan kepentingan finansial global, yaitu mulai dari
perdagangan senjata, akses teknologi, hingga lobi politik yang membuat mereka
tak bisa seenaknya menentang Israel? Kalau mengikuti logika teori dependensi,
negara kaya sebenarnya juga “tergantung” pada sistem global yang mereka
sendiri ciptakan (Smith, 1979). Sehingga dari hal ini penolakan
Palestina bisa jadi bukan pilihan bebas, melainkan bagian dari kontrak
geopolitik yang menjaga stabilitas kekuasaan ekonomi global.
Hubungan
dengan Israel adalah Benang Merah yang Tidak Terputus
Dari 142
negara yang punya hubungan resmi dengan Israel, mayoritas tetap mengakui
Palestina. Namun ada 29 negara yang tidak. Mengapa mereka berbeda?
Jawabannya
mungkin terletak pada level kepentingan strategis. Negara yang “cukup dekat”
dengan Israel tetapi tidak terlalu tergantung, masih bisa menyeimbangkan sikap.
Tapi bagi negara yang benar-benar terkunci dalam orbit Israel dan sekutunya,
pengakuan Palestina bisa dianggap ancaman.
Inilah
benang merah yang jarang diungkap, bahwa hubungan dengan Israel tidak hanya
bilateral, tapi bagian dari arsitektur global yang melibatkan intelijen,
ekonomi, bahkan keamanan militer internasional. Ada lapisan-lapisan pengaruh
yang membuat Palestina seperti terjebak dalam labirin geopolitik.
Implikasi
bagi Indonesia pada Peluang di Tengah Paradoks
Bagi
Indonesia, temuan ini bukan sekadar catatan akademik. Posisi Indonesia unik,
bukan sekutu dekat Israel, punya kedekatan historis dengan Palestina, dan
menjadi pemimpin di ASEAN maupun NAM. Artinya, Indonesia
bisa memainkan peran sebagai “pengganggu narasi” dominan Barat.
Strategi ke
depan jelas. bahwa jangan berharap banyak dari NATO dan G7, tapi perkuat blok
dukungan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Yang lebih penting, Indonesia bisa
menggunakan paradoks ini untuk membangun citra, bahwa di tengah negara kaya
yang pragmatis, negara berkembanglah yang masih punya nurani. Dengan begitu,
Indonesia bukan hanya sekadar pendukung Palestina, tapi juga simbol perlawanan
terhadap hegemoni geopolitik global.
Palestina
dan Wajah Asli Dunia
Adapun
kajian yang saya lakukan bahwa pengakuan Palestina tidak pernah murni soal
moralitas. Ia adalah cermin dari wajah asli dunia yang penuh paradoks,
kepentingan, dan hipokrisi.
Negara kaya
berbicara tentang demokrasi tapi menolak hak Palestina. Negara miskin, yang
sering dipandang lemah, justru berani bersuara. Aliansi internasional yang
katanya dibangun untuk perdamaian ternyata lebih peduli pada stabilitas
kepentingan daripada keadilan.
Jika ada
yang masih percaya bahwa politik global digerakkan oleh nilai kemanusiaan, data
ini cukup untuk meruntuhkan ilusi itu. Dan mungkin, di balik semua ini, ada
sesuatu yang lebih besar, bahwa sistem dunia yang sejak awal memang dirancang
agar Palestina tidak pernah benar-benar merdeka.