![]() |
| Foto: Suriadi |
Hanya saja, Isra
Mi'raj sering kali dibaca sebagai peristiwa langit yang dicerminkan bertetangga
terlalu jauh dari bumi. Pun ia selalu diperingati sebagai mukjizat spektakuler
dari seorang nabi, namun sering berhenti pada ritual seremonial. Alhasil, Isra
Mi'raj dikenang dalam ritual, namun jarang diturunkan menjadi etika sosial.
Padahal, justru di situlah pesan mendalam Isra Mi'raj: bahwa spiritualitas
Islam tidak berhenti di langit, ia selalu kembali ke bumi, kepada manusia,
penderitaan, dan peradaban.
Peristiwa Isra Mi‘raj
tidak hadir dalam ruang hampa sejarah. Kejadian ini di latarbelakangi oleh fase
paling gelap dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw. Tahun itu dikenal sebagai ‘Ām
al-Ḥuzn, tahun kesedihan.
Khadijah ra., penopang moral dan spiritual Rasulullah, wafat. Abu Thalib,
pelindung sosial-politik beliau, juga meninggal. Penolakan masyarakat Makkah
semakin keras, dan luka batin Nabi semakin dalam. Dalam konteks inilah Allah
Swt. “memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam” (QS. Al-Isra: 1).
Isra Mi‘raj, dengan
demikian, bukan sekadar peristiwa supranatural, tetapi sebuah intervensi
ilahiah terhadap penderitaan manusia. Ia adalah busyra (kabar
gembira), yang datang sewaktu manusia berada di fase paling rapuh. Pesan
dasarnya jelas: penderitaan bukan akhir, dan keputusasaan bukan jalan iman.
Maka, Islam hadir bukan untuk mengabaikan luka manusia, melainkan untuk
mengobatinya.
Pada momen itulah,
Isra Mi‘raj tengah memperlihatkan kembali wajah Islam yang kadang
terlupakan: agama penghibur, agama yang menguatkan manusia di tengah
krisis eksistensial. Ia menunjukkan sisi Islam yang lain, Islam yang terang,
yang tidak hanya menawarkan hukum dan ritual, tapi juga harapan, pemulihan, dan
pembebasan dari derita sosial.
Imam al-Qurtubi dalam Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, tafsir Al-Isra ayat 1, menegaskan Isra
Mi‘raj bukan hanya penanda kemuliaan Nabi, melainkan juga ekspresi kasih sayang
Allah kepada hamba-Nya yang tertindas. Sebab itu, Isra Mi'raj merupakan pesan
Tuhan –Ia tidak meninggalkan manusia dalam derita yang dialaminya. Akan selalu
ada jalan pulang, selalu ada makna di balik luka.
Sementara, Quraish
Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an menerangkan Isra
Mi‘raj secara lebih dialektis: setelah naik mendekat kepada Allah (mi'raj),
Nabi tidak tinggal di langit. Ia justru kembali ke bumi. Itulah pesan
kenabian: kedekatan spiritual, melahirkan keberpihakan sosial. Sebab, jika
spiritualitas tidak turun ke realitas sosial, maka ia akan lumpuh dan akan
menjelma menjadi spiritualitas yang steril. Alih-alih melengkapi iman, justru
kita akan kehilangan dimensi penting kemanusiaan. Artinya, iman itu akan
mandul, gagal melahirkan amal-amal kebaikan.
Di sinilah Isra Mi‘raj
menjadi kritik terhadap kesalehan individualistik. Cinta Nabi bukan sekedar
ekspresi emosional dan ritual, melainkan keberpihakan konkret. Maka, jika kita
cinta Nabi, itu sama artinya, kita berpihak pada yang menderita, dan kita berdiri
di sisi yang susah dan butuh.
Membangun Ulang makna
Isra Mi'raj
Puncak Isra Mi‘raj
menghadirkan “oleh-oleh” bagi umat Muhammad: shalat. Menariknya, shalat
diperoleh melalui perjalanan naik lalu kemudian turun kembali. Ini bukan simbol
kosong. Sebagaimana yang dijelaskan Quraish Shihab sebelumnya: setelah naik (mi’raj)
mendekat kepada Allah, Nabi lalu kembali turun ke bumi untuk membangun
peradaban manusia.
Berangkat dari sana,
maka shalat tidak hanya memuat relasi Ilahiah, tetapi juga
relasi insāniyyah. Ia adalah sarana pembentukan karakter, etika sosial, dan
kesadaran kemanusiaan.
Maka, ungkapan “ash-shalātu
mi‘rājul mu’min" kiranya perlu dimaknai ulang, sebagai sesuatu
yang bukan dipahami secara spiritual semata. Melainkan lebih kompleks: shalat
adalah proses naiknya kualitas kemanusiaan. Dari lalai menjadi sadar. Dari
egois menjadi peduli. Dari kasar menjadi lembut.
Dan mau ataupun tidak,
shalat yang benar, kata Al-Qur’an adalah “tanhā ‘anil faḥsyā’i wal
munkar” –mencegah dari kejahatan dan
kemungkaran, bukan hanya di ruang privat, tetapi juga di ruang publik.
Tokoh sufi
kontemporer, Syekh Ali Jum‘ah dalam At-Ṭarīq ilā Allāh menegaskan
bahwa puncak spiritualitas Islam selalu bermuara pada “khidmah lil-insāniyyah” –pelayanan
kemanusiaan. Hal ini sering beliau sampaikan dalam ceramahnya tentang Maqāṣid
al-Syarī‘ah dan tazkiyat al-nafs yang banyak dikutip
oleh Al-Azhar. Sebab itu, semakin tinggi mi‘raj spiritual seseorang, harusnya
semakin besar pula kepeduliannya terhadap keadilan sosial, kemiskinan, dan
martabat manusia.
Maka, dengan membaca
Isra Mi'raj seperti ini, justru menjelaskan Isra Mi'raj dengan wajah yang
segar, bahwa ia bukan hanya kisah masa lalu, tetapi kritik tajam terhadap
keberagamaan kita hari ini. Kita bisa saja bangga memiliki banyak muslim,
tetapi bagaimana jika kebanggaan itu diperhadapkan pada kemiskinan kita dari
nilai-nilai Islam?.
Di sinilah pesan Gus
Dur menemukan relevansinya: “alladzīna yanẓurūna ilā al-ummah
bi‘aynir-raḥmah" –umat yang memandang sesama dengan kasih sayang.
Pandangan ini bukan sentimentalitas belaka, melainkan fondasi etika sosial
Islam.
Isra Mi‘raj, pada akhirnya, mengajarkan bahwa Islam adalah agama kabar gembira, agama yang memanusiakan manusia. Spiritualitasnya bukan pelarian dari dunia, tetapi energi untuk mengubahnya. Naik ke langit, lalu turun ke bumi. Mendekat kepada Tuhan, lalu mengabdi kepada manusia. Itulah mi‘raj yang sejati. Dan hal ini menjadi penting, untuk tetap membuat Islam menyejarah pada persoalan umat, dan bekerja dilevel itu.
Penulis: Suriadi (Mahasiswa Doktoral Universitas KH. Abdul Chalim Mojokerto)
