Notification

×

Iklan

Iklan

Isra Mi‘raj: Spiritualitas yang Turun ke Bumi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 21.31 WIB Last Updated 2025-12-27T14:33:43Z

Foto: Suriadi
Menemu-kenali Isra Mi'raj
Bulan Rajab dikenang sebagai salah satu momentum penting dalam sejarah Islam, karena pada bulan inilah terjadi peristiwa agung Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Sebuah perjalanan spritual yang bukan hanya menandai mukjizat kenabian, tetapi juga membawa pesan mendalam bagi kehidupan umat hingga hari ini.


Hanya saja, Isra Mi'raj sering kali dibaca sebagai peristiwa langit yang dicerminkan bertetangga terlalu jauh dari bumi. Pun ia selalu diperingati sebagai mukjizat spektakuler dari seorang nabi, namun sering berhenti pada ritual seremonial. Alhasil, Isra Mi'raj dikenang dalam ritual, namun jarang diturunkan menjadi etika sosial. Padahal, justru di situlah pesan mendalam Isra Mi'raj: bahwa spiritualitas Islam tidak berhenti di langit, ia selalu kembali ke bumi, kepada manusia, penderitaan, dan peradaban.


Peristiwa Isra Mi‘raj tidak hadir dalam ruang hampa sejarah. Kejadian ini di latarbelakangi oleh fase paling gelap dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw. Tahun itu dikenal sebagai ‘Ām al-Ḥuzn, tahun kesedihan. Khadijah ra., penopang moral dan spiritual Rasulullah, wafat. Abu Thalib, pelindung sosial-politik beliau, juga meninggal. Penolakan masyarakat Makkah semakin keras, dan luka batin Nabi semakin dalam. Dalam konteks inilah Allah Swt. “memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam” (QS. Al-Isra: 1).


Isra Mi‘raj, dengan demikian, bukan sekadar peristiwa supranatural, tetapi sebuah intervensi ilahiah terhadap penderitaan manusia. Ia adalah busyra (kabar gembira), yang datang sewaktu manusia berada di fase paling rapuh. Pesan dasarnya jelas: penderitaan bukan akhir, dan keputusasaan bukan jalan iman. Maka, Islam hadir bukan untuk mengabaikan luka manusia, melainkan untuk mengobatinya.


Pada momen itulah, Isra Mi‘raj tengah memperlihatkan kembali wajah Islam yang kadang terlupakan: agama penghibur, agama yang menguatkan manusia di tengah krisis eksistensial. Ia menunjukkan sisi Islam yang lain, Islam yang terang, yang tidak hanya menawarkan hukum dan ritual, tapi juga harapan, pemulihan, dan pembebasan dari derita sosial.


Imam al-Qurtubi dalam Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, tafsir Al-Isra ayat 1, menegaskan Isra Mi‘raj bukan hanya penanda kemuliaan Nabi, melainkan juga ekspresi kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang tertindas. Sebab itu, Isra Mi'raj merupakan pesan Tuhan –Ia tidak meninggalkan manusia dalam derita yang dialaminya. Akan selalu ada jalan pulang, selalu ada makna di balik luka.


Sementara, Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an menerangkan Isra Mi‘raj secara lebih dialektis: setelah naik mendekat kepada Allah (mi'raj), Nabi tidak tinggal di langit. Ia justru kembali ke bumi. Itulah pesan kenabian: kedekatan spiritual, melahirkan keberpihakan sosial. Sebab, jika spiritualitas tidak turun ke realitas sosial, maka ia akan lumpuh dan akan menjelma menjadi spiritualitas yang steril. Alih-alih melengkapi iman, justru kita akan kehilangan dimensi penting kemanusiaan. Artinya, iman itu akan mandul, gagal melahirkan amal-amal kebaikan.


Di sinilah Isra Mi‘raj menjadi kritik terhadap kesalehan individualistik. Cinta Nabi bukan sekedar ekspresi emosional dan ritual, melainkan keberpihakan konkret. Maka, jika kita cinta Nabi, itu sama artinya, kita berpihak pada yang menderita, dan kita berdiri di sisi yang susah dan butuh.


Membangun Ulang makna Isra Mi'raj


Puncak Isra Mi‘raj menghadirkan “oleh-oleh” bagi umat Muhammad: shalat. Menariknya, shalat diperoleh melalui perjalanan naik lalu kemudian turun kembali. Ini bukan simbol kosong. Sebagaimana yang dijelaskan Quraish Shihab sebelumnya: setelah naik (mi’raj) mendekat kepada Allah, Nabi lalu kembali turun ke bumi untuk membangun peradaban manusia.


Berangkat dari sana, maka shalat tidak hanya memuat relasi Ilahiah, tetapi juga relasi insāniyyah. Ia adalah sarana pembentukan karakter, etika sosial, dan kesadaran kemanusiaan.


Maka, ungkapan “ash-shalātu mi‘rājul mu’min"  kiranya perlu dimaknai ulang, sebagai sesuatu yang bukan dipahami secara spiritual semata. Melainkan lebih kompleks: shalat adalah proses naiknya kualitas kemanusiaan. Dari lalai menjadi sadar. Dari egois menjadi peduli. Dari kasar menjadi lembut.


Dan mau ataupun tidak, shalat yang benar, kata Al-Qur’an adalah “tanhā ‘anil faḥsyā’i wal munkar –mencegah dari kejahatan dan kemungkaran, bukan hanya di ruang privat, tetapi juga di ruang publik.


Tokoh sufi kontemporer, Syekh Ali Jum‘ah dalam At-Ṭarīq ilā Allāh menegaskan bahwa puncak spiritualitas Islam selalu bermuara pada “khidmah lil-insāniyyah” –pelayanan kemanusiaan. Hal ini sering beliau sampaikan dalam ceramahnya tentang Maqāṣid al-Syarī‘ah dan tazkiyat al-nafs yang banyak dikutip oleh Al-Azhar. Sebab itu, semakin tinggi mi‘raj spiritual seseorang, harusnya semakin besar pula kepeduliannya terhadap keadilan sosial, kemiskinan, dan martabat manusia.


Maka, dengan membaca Isra Mi'raj seperti ini, justru menjelaskan Isra Mi'raj dengan wajah yang segar, bahwa ia bukan hanya kisah masa lalu, tetapi kritik tajam terhadap keberagamaan kita hari ini. Kita bisa saja bangga memiliki banyak muslim, tetapi bagaimana jika kebanggaan itu diperhadapkan pada kemiskinan kita dari nilai-nilai Islam?.


Di sinilah pesan Gus Dur menemukan relevansinya: “alladzīna yanẓurūna ilā al-ummah bi‘aynir-raḥmah" –umat yang memandang sesama dengan kasih sayang. Pandangan ini bukan sentimentalitas belaka, melainkan fondasi etika sosial Islam.


Isra Mi‘raj, pada akhirnya, mengajarkan bahwa Islam adalah agama kabar gembira, agama yang memanusiakan manusia. Spiritualitasnya bukan pelarian dari dunia, tetapi energi untuk mengubahnya. Naik ke langit, lalu turun ke bumi. Mendekat kepada Tuhan, lalu mengabdi kepada manusia. Itulah mi‘raj yang sejati. Dan hal ini menjadi penting, untuk tetap membuat Islam menyejarah pada persoalan umat, dan bekerja dilevel itu.



Penulis: Suriadi (Mahasiswa Doktoral Universitas KH. Abdul Chalim Mojokerto)

×
Berita Terbaru Update