![]() |
| Foto: Amnesty Internasional |
Peringatan
Hari Hak Asasi Manusia setiap 10 Desember seharusnya menjadi momentum bagi
Indonesia untuk meninjau kembali sejauh mana komitmen negara terhadap
perlindungan martabat manusia. Dalam berbagai forum internasional, Indonesia
kerap menegaskan diri sebagai negara yang menjunjung HAM. Namun, berbagai
laporan beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa komitmen tersebut masih
menghadapi tantangan serius di tingkat implementasi. Situasi ini menuntut
evaluasi jujur, bukan sekadar seremoni tahunan.
Laporan Human Rights Watch 2024
menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi persoalan berulang berupa
pembatasan kebebasan berekspresi, penggunaan pasal karet UU ITE, serta
kekerasan aparat dalam penanganan isu-isu sosial tertentu. Dalam laporan
tersebut disebutkan bahwa revisi UU ITE 2024 belum sepenuhnya menghilangkan
potensi kriminalisasi ekspresi yang sah. Temuan ini menunjukkan bahwa regulasi
yang seharusnya melindungi kebebasan justru berpotensi membatasi ruang
demokrasi.
Komnas HAM, dalam Laporan Tahunan
2023-2024, juga mencatat peningkatan pengaduan masyarakat terkait kekerasan,
intimidasi, konflik agraria, dan pelanggaran oleh aparat. Berdasarkan data
lembaga tersebut, persoalan yang muncul bukan hanya soal lemahnya penegakan
hukum, tetapi juga terkait kultur institusi yang belum sepenuhnya menjadikan
prinsip HAM sebagai pedoman kerja. Laporan ini dapat diakses melalui situs
resmi Komnas HAM. Data tersebut memperlihatkan adanya jarak antara komitmen
normatif dan realitas lapangan.
Indonesia sebenarnya memiliki
fondasi hukum yang kuat, mulai dari UUD 1945, TAP MPR No. XVII/MPR/1998, hingga
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun, kerangka hukum ini akan
kehilangan makna jika tidak disertai konsistensi negara dalam memastikan
perlindungan bagi setiap warga. Dalam konteks ini, peringatan HAM bukan hanya
evaluasi negara, tetapi juga evaluasi atas keseriusan seluruh institusi
penegakan hukum dalam menjunjung akuntabilitas.
Amnesty International turut
menyoroti tantangan baru yang berkaitan dengan penyusutan ruang sipil, termasuk
pelabelan “anti-pemerintah”, serangan digital, dan pemidanaan terhadap
aktivisme damai. Temuan ini dimuat dalam Amnesty International Report
2023/2024. Catatan tersebut menunjukkan bahwa perlindungan terhadap hak
sipil belum menjadi prioritas yang kuat pada level praktik.
Situasi tersebut mengharuskan adanya
pembenahan yang lebih serius. Sebab, keberhasilan negara dalam menjalankan
komitmen HAM tidak hanya diukur dari keberadaan undang-undang atau ratifikasi
instrumen internasional, tetapi dari perubahan nyata yang dirasakan masyarakat.
Negara perlu memastikan bahwa aparat menghormati prinsip due process of law,
yaitu jaminan bahwa setiap tindakan penegakan hukum berjalan melalui prosedur
yang sah, adil, transparan, dan tidak sewenang-wenang. Prinsip ini juga
menuntut adanya mekanisme pengaduan yang mudah diakses serta pemulihan yang
layak bagi setiap korban pelanggaran.
Peringatan Hari HAM seharusnya tidak
hanya menjadi upacara yang hadir melalui lisan atau unggahan seremonial di
media sosial, tetapi menjadi ruang refleksi untuk menilai apakah negara
benar-benar hadir melindungi manusia dari kekerasan, ketakutan, dan
ketidakadilan. Evaluasi ini penting agar prinsip HAM tidak berhenti pada
slogan, melainkan menjadi fondasi etis yang mengarahkan kebijakan publik.
Komitmen terhadap HAM harus diwujudkan melalui tindakan politik yang tegas dan
konsisten, karena hak asasi bukan sekadar wacana normatif, melainkan ukuran
nyata dari keberadaban sebuah negara.
Penulis: Amizy Nova Airul Ayunda Kurniawan Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
