Hutan yang dulunya menyediakan tempat berlindung kini telah berubah
menjadi perkebunan, tambang, dan kawasan industri. Pohon-pohon ditebang tanpa
mempertimbangkan makhluk hidup yang bergantung padanya. Orangutan kehilangan
kanopi hutan tempat mereka mencari makanan dan membesarkan anak-anak mereka.
Gajah kehilangan jalur jelajah mereka yang luas, sementara hewan lain terpaksa
meninggalkan habitat alami mereka hanya untuk bertahan hidup. Bagi hewan, hutan
bukan hanya sekadar ruang, tetapi rumah, identitas, dan sumber kehidupan.
Gajah Sumatera adalah contoh dari salah satu hewan yang menjadi
korban dari perusakan habitat. Ketika hutan ditebang, gajah terpaksa memasuki
wilayah manusia untuk mencari makanan. Alih-alih dilindungi, gajah seringkali
dianggap sebagai masalah, yang lebih memilukan lagi adalah kenyataan bahwa di
beberapa tempat, gajah yang seharusnya dilindungi dipaksa bekerja seperti mesin
berat. Gajah-gajah ini malah digunakan untuk membersihkan area yang tergenang
air bekas terjadinya bencana, menarik kayu gelondongan, atau melakukan tugas-tugas
berat lainnya. Tubuh mereka yang besar sering kali dimanfaatkan, sementara
penderitaan fisik dan psikologis mereka abaikan. Gajah, makhluk cerdas dan
berperasaan, tapi malah diperlakukan seperti mesin tanpa jiwa.
Orangutan juga mengalami nasib yang sangat menyedihkan. Ketika
habitat mereka hancur, mereka kehilangan tempat mencari makanan dan sering mati
kelaparan atau dibunuh karena dianggap sebagai hama. Anak-anak orangutan yang
kehilangan induknya banyak yang dipelihara secara ilegal atau ditahan di pusat
penangkaran akibat tindakan buruk manusia. Hewan yang seharusnya bebas bergerak
di pohon-pohon kini terjebak di dalam penjara.
Keserakahan manusia tidak hanya merusak satwa liar di alam liar,
tetapi juga memengaruhi hewan-hewan yang tinggal di kebun binatang. Baru-baru
ini, kejadian pengunjung yang melukis tubuh gajah dengan cat. Peristiwa ini
menggambarkan rendahnya empati dan kesadaran masyarakat terhadap kesejahteraan
hewan. Gajah sering dianggap sebagai benda hiburan, bukan makhluk hidup yang
merasakan sakit, stres, dan berhak dihormati. Kebun binatang yang seharusnya
tempat edukasi justru bisa berubah menjadi tempat eksploitasi jika tidak
dikawal dengan baik.
Hewan lain seperti kuda nil, meskipun bukan fauna asli Indonesia dan
hidup di kebun binatang atau pusat penangkaran, juga mengalami penderitaan
akibat kelalaian manusia. Mereka tinggal jauh dari habitat asli, bergantung
sepenuhnya pada bantuan manusia. Ketika pengelolaannya buruk, seperti kurang
ruang, stres, dan eksploitasi, kualitas hidup hewan-hewan ini menurun. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah utamanya bukan hanya soal habitat, tetapi juga cara
manusia memandang hewan.
Keserakahan manusia telah mengaburkan
batas antara pembangunan yang sehat dengan perusakan yang tidak terkendali.
Alam terus dieksploitasi tanpa pertimbangan, sementara satwa-satwa dipaksa
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang semakin tidak ramah. Ironisnya,
kerusakan ini akhirnya kembali menimpa manusia sendiri dalam bentuk banjir,
longsor, krisis lingkungan, dan terganggunya keseimbangan ekosistem.
Satwa bukan makhluk yang mengharuskan
banyak hal, mereka hanya membutuhkan ruang untuk hidup, berkembang biak, dan
menjalankan peran mereka dalam sistem ekosistem. Ketika habitat mereka rusak
dan tubuh mereka dieksploitasi, kepunahan bukan lagi sekadar ancaman jauh, tapi
menjadi kenyataan yang terjadi secara perlahan di depan mata. Sudah waktunya
manusia berhenti memandang satwa sebagai alat, hiburan, atau penghalang
pembangunan. Melindungi satwa berarti menjaga nilai-nilai moral manusia. Jika
hari ini kita membiarkan mereka kehilangan tempat tinggal dan martabatnya, maka
di masa depan, manusialah yang akan kehilangan keseimbangan hidupnya di bumi.
Penulis: Salwa Difa Talitha Mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta,
