Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Satwa Kehilangan Rumah: Potret Keserakahan Manusia terhadap Fauna di Indonesia

Rabu, 17 Desember 2025 | 17.32 WIB Last Updated 2025-12-17T10:36:34Z

Foto: Salwa Difa Talitha

OPINI.CO. SURAKARTA - Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Mulai dari gajah dan orangutan di hutan Sumatra dan Kalimantan, hingga berbagai hewan yang hidup di alam liar, penangkaran, dan kebun binatang. Namun, di balik kebanggaan ini tersembunyi kebenaran yang pahit bagi banyak hewan yang kini menghadapi ancaman, bukan karena alam yang kejam, tetapi karena keserakahan manusia yang menghancurkan rumah mereka dan merampas martabat mereka.


Hutan yang dulunya menyediakan tempat berlindung kini telah berubah menjadi perkebunan, tambang, dan kawasan industri. Pohon-pohon ditebang tanpa mempertimbangkan makhluk hidup yang bergantung padanya. Orangutan kehilangan kanopi hutan tempat mereka mencari makanan dan membesarkan anak-anak mereka. Gajah kehilangan jalur jelajah mereka yang luas, sementara hewan lain terpaksa meninggalkan habitat alami mereka hanya untuk bertahan hidup. Bagi hewan, hutan bukan hanya sekadar ruang, tetapi rumah, identitas, dan sumber kehidupan.


Gajah Sumatera adalah contoh dari salah satu hewan yang menjadi korban dari perusakan habitat. Ketika hutan ditebang, gajah terpaksa memasuki wilayah manusia untuk mencari makanan.  Alih-alih dilindungi, gajah seringkali dianggap sebagai masalah, yang lebih memilukan lagi adalah kenyataan bahwa di beberapa tempat, gajah yang seharusnya dilindungi dipaksa bekerja seperti mesin berat. Gajah-gajah ini malah digunakan untuk membersihkan area yang tergenang air bekas terjadinya bencana, menarik kayu gelondongan, atau melakukan tugas-tugas berat lainnya. Tubuh mereka yang besar sering kali dimanfaatkan, sementara penderitaan fisik dan psikologis mereka abaikan. Gajah, makhluk cerdas dan berperasaan, tapi malah diperlakukan seperti mesin tanpa jiwa.


Orangutan juga mengalami nasib yang sangat menyedihkan. Ketika habitat mereka hancur, mereka kehilangan tempat mencari makanan dan sering mati kelaparan atau dibunuh karena dianggap sebagai hama. Anak-anak orangutan yang kehilangan induknya banyak yang dipelihara secara ilegal atau ditahan di pusat penangkaran akibat tindakan buruk manusia. Hewan yang seharusnya bebas bergerak di pohon-pohon kini terjebak di dalam penjara.


Keserakahan manusia tidak hanya merusak satwa liar di alam liar, tetapi juga memengaruhi hewan-hewan yang tinggal di kebun binatang. Baru-baru ini, kejadian pengunjung yang melukis tubuh gajah dengan cat. Peristiwa ini menggambarkan rendahnya empati dan kesadaran masyarakat terhadap kesejahteraan hewan. Gajah sering dianggap sebagai benda hiburan, bukan makhluk hidup yang merasakan sakit, stres, dan berhak dihormati. Kebun binatang yang seharusnya tempat edukasi justru bisa berubah menjadi tempat eksploitasi jika tidak dikawal dengan baik.


Hewan lain seperti kuda nil, meskipun bukan fauna asli Indonesia dan hidup di kebun binatang atau pusat penangkaran, juga mengalami penderitaan akibat kelalaian manusia. Mereka tinggal jauh dari habitat asli, bergantung sepenuhnya pada bantuan manusia. Ketika pengelolaannya buruk, seperti kurang ruang, stres, dan eksploitasi, kualitas hidup hewan-hewan ini menurun. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utamanya bukan hanya soal habitat, tetapi juga cara manusia memandang hewan.


Keserakahan manusia telah mengaburkan batas antara pembangunan yang sehat dengan perusakan yang tidak terkendali. Alam terus dieksploitasi tanpa pertimbangan, sementara satwa-satwa dipaksa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang semakin tidak ramah. Ironisnya, kerusakan ini akhirnya kembali menimpa manusia sendiri dalam bentuk banjir, longsor, krisis lingkungan, dan terganggunya keseimbangan ekosistem.

 

Satwa bukan makhluk yang mengharuskan banyak hal, mereka hanya membutuhkan ruang untuk hidup, berkembang biak, dan menjalankan peran mereka dalam sistem ekosistem. Ketika habitat mereka rusak dan tubuh mereka dieksploitasi, kepunahan bukan lagi sekadar ancaman jauh, tapi menjadi kenyataan yang terjadi secara perlahan di depan mata. Sudah waktunya manusia berhenti memandang satwa sebagai alat, hiburan, atau penghalang pembangunan. Melindungi satwa berarti menjaga nilai-nilai moral manusia. Jika hari ini kita membiarkan mereka kehilangan tempat tinggal dan martabatnya, maka di masa depan, manusialah yang akan kehilangan keseimbangan hidupnya di bumi.


Penulis: Salwa Difa Talitha Mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta,

×
Berita Terbaru Update