Notification

×

Iklan

Iklan

Tuan Guru Sukarman: Jalan Thariqot, Merekognisi Tradisi-Mengembangkan Islam Aswaja

Sabtu, 13 Desember 2025 | 16.42 WIB Last Updated 2025-12-13T09:44:08Z

Foto: Istimewa
OPINI.CO - Di tengah kehidupan masyarakat Lombok Utara yang kental dengan tradisi dan religiusitas, nama Tuan Guru Haji Sukarman Azhar Ali dikenal sebagai sosok kiai kampung yang bersahaja, tetapi berpengaruh besar. Ia bukan tipe ulama yang gemar tampil di panggung besar, melainkan figur yang menghibahkan hidupnya untuk membentuk karakter umat dari langgar kecil dan pesantren.


Istilah kiai kampung pernah diungkapkan Gus Dur sebagai sosok ulama yang bekerja dengan keikhlasan total: menjadi mubaligh, guru ngaji, imam shalat, penggerak kegiatan keagamaan, sekaligus pengasuh pesantren atau madrasah, semuanya dilakukan semata-mata mengharap rida Allah SWT. Gambaran itulah yang lekat pada diri Tuan Guru Sukarman.


Sikapnya yang akomodatif terhadap tradisi membuatnya dicintai masyarakat adat di Kabupaten Lombok Utara. Ia memahami bahwa agama dan budaya dapat berjalan beriringan. Tak heran jika dalam berbagai ritual adat, khususnya di Kecamatan Kayangan, Tuan Guru Sukarman kerap diminta memberikan pengantar doa dan ceramah oleh para tokoh adat. Kehadirannya menjadi jembatan antara nilai-nilai Islam dan kearifan lokal.


Tuan Guru Sukarman lahir pada Jumat pagi, 8 Agustus 1961, di sebuah dusun kecil bernama Santong Setinggi Juring, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara. Ia merupakan putra dari pasangan Guru Sahar (TGH Azhar Ali) dan Sawinip binti Amaq Sawik. Nama Santong Nangka Burak memiliki cerita tersendiri. Konon, di sana pernah ditemukan sebuah gong legendaris di dalam pohon nangka berlubang, yang dikenal sebagai Gong Bengel Nangka Burak. Dari tanah yang sarat cerita itulah Sukarman tumbuh, ditempa nilai religius dan tradisi sejak kecil. Ia memiliki dua saudara, Sukarjan dan Ini (almarhumah).


Pendidikan formal keagamaannya dimulai di Madrasah Tribakti (1969–1975) di bawah asuhan Bapak Muksin MZ. Melihat kecerdasan dan ketekunannya, sang ayah mengirim Sukarman untuk melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Attohiriyah Bodak, Lombok Tengah (1975–1980). Haus akan ilmu, ia kemudian melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar (UNIZAR) Mataram, mengambil jurusan Sastra Bahasa Arab hingga tahun 1985. Di masa inilah cakrawala keilmuannya semakin terbuka, memadukan tradisi pesantren dan dunia akademik.


Menempuh Jalan Thariqot dan Memimpin NU Lombok Utara.


Tahun 1988 menjadi titik penting dalam perjalanan spiritualnya. Atas arahan ayahandanya, yang juga seorang mursyid thariqot, Sukarman dikirim untuk memperdalam tasawuf di Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sana ia berguru langsung kepada K.H. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin (Abah Anom), mursyid besar Thariqot Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang dikenal hingga mancanegara.


Di Suryalaya, Sukarman tidak hanya belajar secara teoritis. Ia menjalani riadoh atau latihan spiritual berat dengan puasa mutih, puasa tanpa daging, puasa tanpa garam, hingga latihan tidak tidur terlentang masing-masing selama 40 hari 40 malam. Sebuah tempaan batin yang membentuk keteguhan jiwa dan kedalaman spiritualnya.


Menjelang akhir 1988, dengan restu gurunya, ia kembali ke kampung halaman. Sejak itu, ia kembali aktif berdakwah, mengajar di madrasah, memimpin pengajian, dan membina umat dengan pendekatan yang sejuk dan membumi.


Pengalamannya memimpin jamaah thariqot, mengasuh pesantren, serta konsistensinya dalam dakwah membuat Tuan Guru Sukarman dipercaya memegang amanah besar sebagai Rais Syuriah PCNU Kabupaten Lombok Utara. Kepercayaan ini bukan semata karena keilmuannya, tetapi karena keteladanan hidupnya.


Bagi masyarakat, Tuan Guru Sukarman bukan hanya guru, tetapi juga penuntun, peneduh, dan penjaga nilai-nilai luhur Islam dan tradisi. Ia adalah bukti bahwa pengabdian yang dilakukan dengan ikhlas, meski dimulai dari kampung kecil, dapat memberi cahaya bagi umat yang luas.


Tradisi sebagai Jalan Transformasi Dakwah


Di tengah dinamika dakwah yang kerap diwarnai nada keras, saling menyalahkan, bahkan mudah mengafirkan dan membidahkan, hadir sosok Tuan Guru Sukarman dari Lombok Utara dengan pendekatan yang berbeda. Dakwah beliau tidak datang sebagai palu yang memukul, melainkan sebagai tangan yang menemani. Pendekatan ini tumbuh dari pemahaman yang utuh atas realitas sosial masyarakat Kabupaten Lombok Utara, sebuah wilayah yang dikenal kental dengan adat, tradisi, dan kearifan lokal yang telah hidup jauh sebelum dakwah Islam berkembang secara luas.


Masyarakat Lombok Utara hidup dalam simpul-simpul adat yang kuat. Tradisi seperti rowah, nyongkolan, begibung, nyunatang, maulid adat, ziarah makam leluhur, serta berbagai ritual sosial-keagamaan lainnya bukan sekadar seremoni, tetapi menjadi bahasa kebersamaan dan identitas kolektif.


Bagi sebagian pendakwah, tradisi ini kerap dipandang sebagai masalah, dianggap tidak sesuai syariat, dicap bid’ah, bahkan tidak jarang dinilai sebagai bentuk kesyirikan. Namun bagi Tuan Guru Sukarman, tradisi adalah pintu masuk dakwah, bukan tembok penghalang.


Beliau memahami bahwa iman masyarakat tidak tumbuh di ruang kosong. Ia berakar pada sejarah, budaya, dan pengalaman sosial yang panjang. Karena itu, dakwah yang memutus tradisi secara kasar justru berpotensi melukai batin umat dan menjauhkan mereka dari nilai-nilai Islam itu sendiri.


Model dakwah Tuan Guru Sukarman bertumpu pada kehadiran yang tulus. Beliau hadir di tengah masyarakat bukan sebagai hakim, tetapi sebagai sahabat spiritual. Mendengar lebih dulu sebelum berbicara. Memahami sebelum mengoreksi.


Dalam pengajian, ceramah, maupun perjumpaan informal, beliau tidak memulai dengan daftar larangan atau vonis kesalahan. Sebaliknya, beliau mengajak jamaah untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya melalui nilai-nilai yang sudah mereka kenal, kebersamaan, hormat pada orang tua, solidaritas sosial, dan gotong royong. Tradisi tidak serta-merta ditolak, tetapi diberi makna. Jika ada praktik yang perlu diluruskan, beliau melakukannya secara perlahan, dengan bahasa yang lembut dan argumentasi yang menenangkan. Prinsipnya jelas, “Islam datang untuk menyempurnakan, bukan memusnahkan”.


Tuan Guru Sukarman sangat menyadari bahaya dakwah yang melukai. Dakwah yang penuh amarah, caci maki, dan label sesat sering kali justru melahirkan jarak, perlawanan batin, bahkan trauma keagamaan. Beliau menolak keras praktik dakwah yang mudah mengkafirkan dan membidahkan. Bagi beliau, sikap semacam itu bukan hanya miskin hikmah, tetapi juga bertentangan dengan teladan Rasulullah saw. yang mengedepankan kasih sayang dan kesabaran.


Dalam banyak kesempatan, beliau menegaskan bahwa tugas dai bukanlah mencari kesalahan umat, melainkan menjaga nyala iman agar tidak padam. Dakwah yang benar adalah dakwah yang membuat orang merasa didekati Allah, bukan dijauhkan.


Alih-alih memerangi tradisi, Tuan Guru Sukarman menjadikannya sebagai jalan transformasi. Acara adat diisi dengan doa-doa yang lebih bermakna. Ritual sosial diperkuat dengan pesan tauhid dan akhlak. Kebiasaan lama diberi ruh baru tanpa mencabut akarnya. Pendekatan ini membuat masyarakat merasa dihargai. Mereka tidak dipaksa berubah secara drastis, tetapi diajak tumbuh bersama. Perubahan pun terjadi secara alami, tanpa konflik terbuka, tanpa luka sosial. Inilah dakwah kultural yang hidup, yang bergerak seirama dengan denyut masyarakat Lombok Utara.


Dakwah Tuan Guru Sukarman adalah cermin bahwa Islam dapat hadir dengan wajah yang ramah, teduh, dan memanusiakan. Di tengah masyarakat yang majemuk secara budaya, dakwah semacam ini menjadi kebutuhan. Menemani, bukan melukai. Menghargai, bukan menyalahkan. Membimbing, bukan menghakimi. Itulah inti dakwah yang beliau teladankan di Lombok Utara. Model dakwah ini bukan hanya relevan bagi KLU, tetapi juga menjadi inspirasi bagi wajah dakwah Islam Indonesia, berakar pada tradisi, menjulang pada nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin.


Penulis Jayadi: Ketua Lakpesdam PWNU NTB

×
Berita Terbaru Update