![]() |
| Dok. Istimewa |
Semangat Melaju tidak berhenti sebagai slogan. Ia diterjemahkan dalam praktik pemerintahan yang lebih responsif, terbuka, dan berorientasi pada kebutuhan warga. Pelayanan publik diperkuat, sementara pembangunan fisik diarahkan untuk menghadirkan kenyamanan dan keteraturan. Dalam konteks inilah kehadiran ruang publik seperti Bundaran Gaforaya menemukan relevansinya. Ia menjadi simbol bahwa pelayanan dan pembangunan berjalan beriringan.
Gaforaya bukan sekadar simpul lalu lintas. Ia pelan-pelan menjelma menjadi penanda arah, titik temu, dan wajah baru Kubu Raya. Dari ruang inilah proses pembangunan bisa dibaca, tidak hanya sebagai kerja fisik, tetapi sebagai proses sosial yang membentuk identitas daerah.
Gaforaya adalah singkatan dari; Gaia, Four Points, Astra, dan Yamaha. Nama ini mencerminkan kolaborasi antara pemerintah daerah dan dunia usaha. Dalam pembangunan modern, kerja sama semacam ini penting selama orientasinya tetap berpihak pada kepentingan publik. Kehadiran Gaforaya menunjukkan bahwa pembangunan daerah dapat bergerak lebih cepat ketika pemerintah mampu mengorkestrasi berbagai pihak dalam satu arah yang jelas.
![]() |
| Dok. Istimewa |
Membaca Identitas
Identitas daerah tidak dibentuk melalui slogan atau pencitraan semata. Ia tumbuh dari kebiasaan, dari ruang yang sering dilewati, dilihat, dan disebut dalam percakapan sehari-hari. Ketika sebuah ruang menjadi rujukan bersama, di situlah identitas sosial mulai terbentuk.
Sosiolog Manuel Castells (2004) menjelaskan bahwa identitas sosial lahir dari interaksi antara ruang, simbol, dan pengalaman kolektif masyarakat. Gaforaya kini mulai berfungsi sebagai simbol itu. Masyarakat tidak lagi sekadar melewatinya, tetapi mulai menjadikannya patokan arah dan titik temu. Dari kebiasaan sederhana tersebut, makna sosial pelan-pelan dibangun.
Selama ini, Kubu Raya kerap dikenal sebagai daerah lintasan. Orang datang dan pergi, singgah sebentar, lalu melanjutkan perjalanan. Kehadiran Gaforaya secara perlahan mengubah cara pandang tersebut. Ia memberi penanda bahwa Kubu Raya memiliki ruang yang dikenali dan diingat. Identitas tidak lahir secara instan, tetapi tumbuh melalui proses yang berulang dan konsisten.
Kemajuan
Kemajuan sering kali dipahami sebatas pembangunan fisik. Padahal, kemajuan juga menyangkut perubahan kualitas hidup dan cara masyarakat berinteraksi dengan ruang di sekitarnya. Pembangunan yang baik bukan hanya terlihat, tetapi juga dirasakan.
Ekonom pembangunan Amartya Sen (2001) menyebut bahwa pembangunan adalah proses memperluas kualitas hidup manusia. Dalam konteks ini, kehadiran ruang publik yang tertata, nyaman, dan fungsional merupakan bagian dari kemajuan itu sendiri. Gaforaya menghadirkan ruang yang rapi dan tertib, sekaligus memberi pesan bahwa daerah ini dikelola dengan keseriusan.
Ruang publik yang tertata membentuk perilaku sosial. Ketika ruang dijaga dengan baik, masyarakat pun terdorong untuk ikut menjaga. Dari sinilah kemajuan sosial terbentuk, bukan hanya dalam bentuk data statistik, tetapi dalam perubahan sikap dan kebiasaan sehari-hari. Inilah makna kemajuan yang sering luput dari perhatian, tetapi dampaknya bersifat jangka panjang.
Dalam perspektif keislaman, pembangunan adalah amanah. Al-Qur’an mengingatkan bahwa manusia bukan hanya penghuni bumi, tetapi juga pengelola yang bertanggung jawab. Disebutkan bahwa, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu untuk memakmurkannya.” Artinya, pembangunan tidak boleh berhenti pada membangun, tetapi harus memakmurkan dan memberi manfaat bagi kehidupan bersama.
Warisan Pembangunan
Warisan pembangunan tidak selalu berbentuk bangunan besar atau proyek monumental. Sering kali, warisan justru hidup dalam kebiasaan, rasa memiliki, dan ingatan kolektif masyarakat. Ruang publik yang digunakan bersama dan dirawat bersama akan bertahan lebih lama dibanding proyek yang hanya berdiri tanpa makna sosial.
Ilmuwan sosial Robert Putnam (2000) menjelaskan bahwa ruang publik dapat memperkuat modal sosial, yaitu rasa percaya, kepedulian, dan kebersamaan dalam masyarakat. Jika Gaforaya terus dijaga dan dimanfaatkan, ia akan menjadi ruang milik bersama, bukan sekadar simbol proyek pembangunan.
Namun, warisan pembangunan membutuhkan komitmen jangka panjang. Banyak ruang publik yang awalnya baik, tetapi kemudian rusak karena tidak dirawat. Al-Qur’an mengingatkan, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” Pesan ini relevan agar hasil pembangunan tidak berhenti sebagai simbol, tetapi benar-benar memberi manfaat berkelanjutan.
Pada akhirnya, Gaforaya adalah penanda arah pembangunan Kubu Raya. Ia mencerminkan identitas yang sedang tumbuh, kemajuan yang mulai dirasakan, dan potensi warisan pembangunan yang bisa dikenang. Bersama semangat Melaju (Melayani Untuk Maju), Gaforaya menunjukkan bahwa dalam waktu yang relatif singkat, Kubu Raya mampu bergerak, menata diri, dan menapaki jalan perubahan.
Selama ruang ini dijaga bersama, Gaforaya tidak hanya akan menjadi bundaran, tetapi bagian dari perjalanan Kubu Raya hari ini dan masa depan.
Gus Hefni Maulana, S. Pd., M. Sos.
Ketua Umum MD KAHMI Kubu Raya

.jpeg)