Notification

×

Iklan

Iklan

Refleksi HUT RI-80: Antara Ekonomi Kapitalistik dan Keharusan Ekologi untuk Membangun Ekonomi Berkelanjutan

Minggu, 17 Agustus 2025 | 11.39 WIB Last Updated 2025-08-17T04:39:27Z

Penulis Dr. Arifin Noor Aziz, S.H., M.H. anggota DPRD Kabupaten Kubu Raya.
OPINI.CO. KUBU RAYA Hari ini, Indonesia telah memasuki usia delapan (8) dekade, sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Perjalanan yang cukup panjang melewati berbagai macam pergolakan dan perjuangan yang tidak mudah hingga menjadi Bangsa yang besar hari ini. Dimomentum bersejarah, melalui tulisan ini saya ingin sedikit melakukan refleksi terhadap perjalanan Bangsa, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan ekonomi, yang hari ini belum menjadi perhatian serius oleh sebagian besar Masyarakat kita.


Perlu kita sadari bersama, Indonesia memiliki geografis yang dipenuhi oleh kekayaan alam yang sangat melimpah, yang menjadikan kelestarian alam sebagai salah satu isu utama yang tidak dapat dipisahkan dari agenda Pembangunan Indonesia yang maju dan Sejahtera. Yaitu, tentang keseimbangan antara pembangunan ekonomi Masyarakat dan pelestarian alam.


Dalam hal ini, Kalimantan Barat menjadi salah satu Daerah yang cukup relevan untuk dijadikan studi kasus tentang pengelolaan alam, dengan beragam tantangan ekologis, adat dan budaya, sebagai faktor yang memengaruhi kesejahteraan Masyarakat. Oleh karena itu, menjadikan ekologi sebagai pondasi ekonomi berkelanjutan adalah pilihan dan langkah strategis untuk menjaga keseimbangan alam sekaligus memperbaiki taraf hidup masyarakat.


Kalimantan Barat, yang kita kenal sebagai bagian dari pulau terbesar Indonesia, memiliki kekayaan alam yang melimpah. Namun, kemajuan pembangunan ekonomi yang mengandalkan sektor-sektor seperti perkebunan, pertambangan, dan industri kayu, sering kali berkonflik dengan keberlanjutan ekosistem alam.


Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang menjadi salah satu masalah lingkungan terbesar. Pada tahun 2019 saja, di Kalimantan Barat BMKG mencatat setidaknya lahan seluas 10.000 hektar habis kebakaran. Dampaknya, bukan hanya menyebabkan kerusakan ekosistem, tetapi juga turut berdampak buruk terhadap kualitas udara, kesehatan masyarakat, dan kualitas hidup di kawasan tersebut yang bergantung hidupnya pada alam.


Fenomena Karhutla dapat kita asumsikan menjadi simbol kegagalan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, baik oleh Pemerintah dan juga kesadaran Masyarakat. Ego kapitalistik dan jalan pintas untuk membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertanian yang tidak ramah lingkungan dengan cara membakar sangat memperburuk situasi ini.


Selain Karhutla, di Kalimantan Barat sektor pertambangan juga turut memberikan kontribusi besar terhadap kerusakan alam. Aktivitas pertambangan, baik legal maupun ilegal, sering kali menyebabkan deforestasi (penggundulan hutan) yang tidak terkontrol, pengikisan tanah, dan pencemaran air yang merugikan masyarakat sekitar. Seiring dengan pertambangan, ekspansi perkebunan sawit yang semakin meluas mengubah fungsi hutan menjadi lahan monokultur yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara masyarakat lokal dan alam sendiri terpinggirkan.


Permasalahan diatas hanyalah persoalan yang tampak seperti gunung es. Karena hal tersebut, saatnya mengarahkan cara pandang kita dengan menjadikan ekologi sebagai pondasi dalam merancang ekonomi berkelanjutan. Ekonomi yang berkelanjutan dimaksudkan bukan hanya tentang keuntungan jangka pendek, tetapi tentang memastikan sumber daya alam (SDA) tetap lestari dapat dinikmati oleh generasi mendatang, tapi juga memiliki nilai ekonomi.


Ekologi, yang mencakup pelestarian alam dan keberagaman hayati, harus dipandang sebagai aset yang sangat berharga. Berbagai literatur mengungkapkan bahwa pendekatan ekonomi yang berbasis pada pelestarian alam tidak hanya berdampak baik pada lingkungan, tetapi juga memperbaiki kualitas hidup masyarakat.


Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraini dkk. (2020), menyatakan bahwa penerapan ekonomi berkelanjutan di sektor perkebunan dapat meningkatkan produktivitas jangka panjang, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip pertanian ramah lingkungan, seperti agroforestry dan pertanian organik. Agroforestry adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman pertanian dengan pepohonan, baik secara sengaja maupun alami, dalam satu hamparan lahan Pendekatan ini telah terbukti mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem, mengurangi polusi, serta meningkatkan ketahanan pangan lokal.


Hal ini tentunya dapat menjadi cara pandang yang harus dikedepankan oleh stake holder dan pengambil kebijakan dan alternatif bagi masyarakat yang selama ini bergantung pada sektor perkebunan kelapa sawit yang merusak lingkungan.


Selain itu, dalam konteks pertambangan, penggunaan teknologi ramah lingkungan untuk ekstraksi sumber daya alam, serta perencanaan wilayah yang lebih bijaksana, dapat mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan. Lemahnya perhatian Pemerintah pada pengawasan dan ketegasan  pada pemulihan lahan pasca tambang, restorasi lingkungan dan pemulihan habitat serta ekosistem yang ada sebelumnya menjadi terabaikan.


Dalam mewujudkan ekonomi berkelanjutan berbasis ekologi, peran Pemerintah sangat krusial. Kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, seperti pengendalian karhutla, pembatasan konversi hutan untuk perkebunan, penegakan hukum yang lebih tegas terhadap aktivitas pertambangan ilegal, serta mampu menekan ego kapitalis, harus menjadi prioritas. Dan selain itu, Pemerintah harus memfasilitasi masyarakat untuk beralih ke praktik-praktik ekonomi yang lebih ramah lingkungan dan menguntungkan dalam jangka panjang.


Masyarakat juga harus dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan terkait penggunaan sumber daya alam. Pemberdayaan masyarakat lokal melalui pelatihan tentang pertanian organik, ekowisata, dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dapat menciptakan peluang ekonomi baru yang lebih ramah lingkungan. Salah satu contoh keberhasilan inisiatif ini dapat dilihat pada pengembangan ekowisata di beberapa daerah di Kalimantan yang memanfaatkan kekayaan alam sebagai daya tarik wisata sambil menjaga kelestariannya.


Menjadi bagian dari refleksi 80 tahun kemerdekaan, kita perlu berkomitmen untuk membangun Indonesia yang lebih seimbang antara pembangunan ekonomi dan pelestarian alam. Kalimantan Barat, dengan segala tantangannya, memberikan pelajaran penting bahwa ekonomi yang mengandalkan eksplotasi sumber daya alam tanpa memperhatikan aspek ekologis hanya akan membawa kerugian dalam jangka panjang.


Oleh karena itu, menjadikan ekologi sebagai pondasi ekonomi berkelanjutan adalah sebuah keharusan yang harus diterapkan. Ini tidak hanya akan menciptakan keseimbangan antara alam dan manusia, tetapi juga memberikan kesejahteraan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam.

 

Penulis merupakan salah satu Anggota KPHD (Kaukus Parlemen Hijau Daerah) yang beranggotakan 27 orang seluruh Indonesia, aktif sebagai Anggota DPRD Kab. Kuburaya Periode 2024-2029, juga menjadi Ketua PATRI (Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia) DPD Kalbar 2025-2030.

 

×
Berita Terbaru Update