![]() |
Penulis Dr. Arifin Noor Aziz, S.H., M.H. anggota DPRD Kabupaten Kubu Raya. |
Perlu kita
sadari bersama, Indonesia memiliki geografis yang dipenuhi oleh kekayaan alam
yang sangat melimpah, yang menjadikan kelestarian alam sebagai salah satu isu
utama yang tidak dapat dipisahkan dari agenda Pembangunan Indonesia yang maju
dan Sejahtera. Yaitu, tentang keseimbangan antara pembangunan ekonomi Masyarakat
dan pelestarian alam.
Dalam hal ini, Kalimantan
Barat menjadi salah satu Daerah yang cukup relevan untuk dijadikan studi kasus
tentang pengelolaan alam, dengan beragam tantangan ekologis, adat dan budaya, sebagai
faktor yang memengaruhi kesejahteraan Masyarakat. Oleh karena itu, menjadikan
ekologi sebagai pondasi ekonomi berkelanjutan adalah pilihan dan langkah
strategis untuk menjaga keseimbangan alam sekaligus memperbaiki taraf hidup
masyarakat.
Kalimantan
Barat, yang kita kenal sebagai bagian dari pulau terbesar Indonesia, memiliki
kekayaan alam yang melimpah. Namun, kemajuan pembangunan ekonomi yang
mengandalkan sektor-sektor seperti perkebunan, pertambangan, dan industri kayu,
sering kali berkonflik dengan keberlanjutan ekosistem alam.
Salah satu
masalah utama yang dihadapi adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang
menjadi salah satu masalah lingkungan terbesar. Pada tahun 2019 saja, di Kalimantan
Barat BMKG mencatat setidaknya lahan seluas 10.000 hektar habis kebakaran. Dampaknya,
bukan hanya menyebabkan kerusakan ekosistem, tetapi juga turut berdampak buruk
terhadap kualitas udara, kesehatan masyarakat, dan kualitas hidup di kawasan
tersebut yang bergantung hidupnya pada alam.
Fenomena Karhutla
dapat kita asumsikan menjadi simbol kegagalan dalam pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan, baik oleh Pemerintah dan juga kesadaran Masyarakat. Ego
kapitalistik dan jalan pintas untuk membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit
dan pertanian yang tidak ramah lingkungan dengan cara membakar sangat memperburuk
situasi ini.
Selain
Karhutla, di Kalimantan Barat sektor pertambangan juga turut memberikan
kontribusi besar terhadap kerusakan alam. Aktivitas pertambangan, baik legal
maupun ilegal, sering kali menyebabkan deforestasi (penggundulan hutan) yang
tidak terkontrol, pengikisan tanah, dan pencemaran air yang merugikan
masyarakat sekitar. Seiring dengan pertambangan, ekspansi perkebunan sawit yang
semakin meluas mengubah fungsi hutan menjadi lahan monokultur yang hanya
menguntungkan segelintir orang, sementara masyarakat lokal dan alam sendiri
terpinggirkan.
Permasalahan
diatas hanyalah persoalan yang tampak seperti gunung es. Karena hal tersebut,
saatnya mengarahkan cara pandang kita dengan menjadikan ekologi sebagai pondasi
dalam merancang ekonomi berkelanjutan. Ekonomi yang berkelanjutan dimaksudkan bukan
hanya tentang keuntungan jangka pendek, tetapi tentang memastikan sumber daya
alam (SDA) tetap lestari dapat dinikmati oleh generasi mendatang, tapi juga
memiliki nilai ekonomi.
Ekologi, yang
mencakup pelestarian alam dan keberagaman hayati, harus dipandang sebagai aset
yang sangat berharga. Berbagai literatur mengungkapkan bahwa pendekatan ekonomi
yang berbasis pada pelestarian alam tidak hanya berdampak baik pada lingkungan,
tetapi juga memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Salah satu hasil
penelitian yang dilakukan oleh Anggraini dkk. (2020), menyatakan bahwa penerapan
ekonomi berkelanjutan di sektor perkebunan dapat meningkatkan produktivitas
jangka panjang, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip pertanian ramah
lingkungan, seperti agroforestry dan pertanian organik. Agroforestry
adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman pertanian dengan
pepohonan, baik secara sengaja maupun alami, dalam satu hamparan lahan Pendekatan
ini telah terbukti mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem, mengurangi
polusi, serta meningkatkan ketahanan pangan lokal.
Hal ini
tentunya dapat menjadi cara pandang yang harus dikedepankan oleh stake holder
dan pengambil kebijakan dan alternatif bagi masyarakat yang selama ini
bergantung pada sektor perkebunan kelapa sawit yang merusak lingkungan.
Selain itu,
dalam konteks pertambangan, penggunaan teknologi ramah lingkungan untuk
ekstraksi sumber daya alam, serta perencanaan wilayah yang lebih bijaksana,
dapat mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan. Lemahnya perhatian Pemerintah
pada pengawasan dan ketegasan pada pemulihan
lahan pasca tambang, restorasi lingkungan dan pemulihan habitat serta ekosistem
yang ada sebelumnya menjadi terabaikan.
Dalam
mewujudkan ekonomi berkelanjutan berbasis ekologi, peran Pemerintah sangat
krusial. Kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, seperti pengendalian
karhutla, pembatasan konversi hutan untuk perkebunan, penegakan hukum yang
lebih tegas terhadap aktivitas pertambangan ilegal, serta mampu menekan ego
kapitalis, harus menjadi prioritas. Dan selain itu, Pemerintah harus
memfasilitasi masyarakat untuk beralih ke praktik-praktik ekonomi yang lebih
ramah lingkungan dan menguntungkan dalam jangka panjang.
Masyarakat juga
harus dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan terkait penggunaan
sumber daya alam. Pemberdayaan masyarakat lokal melalui pelatihan tentang
pertanian organik, ekowisata, dan pengelolaan sumber daya alam secara
berkelanjutan dapat menciptakan peluang ekonomi baru yang lebih ramah
lingkungan. Salah satu contoh keberhasilan inisiatif ini dapat dilihat pada
pengembangan ekowisata di beberapa daerah di Kalimantan yang memanfaatkan
kekayaan alam sebagai daya tarik wisata sambil menjaga kelestariannya.
Menjadi bagian
dari refleksi 80 tahun kemerdekaan, kita perlu berkomitmen untuk membangun
Indonesia yang lebih seimbang antara pembangunan ekonomi dan pelestarian alam.
Kalimantan Barat, dengan segala tantangannya, memberikan pelajaran penting
bahwa ekonomi yang mengandalkan eksplotasi sumber daya alam tanpa memperhatikan
aspek ekologis hanya akan membawa kerugian dalam jangka panjang.
Oleh karena
itu, menjadikan ekologi sebagai pondasi ekonomi berkelanjutan adalah sebuah
keharusan yang harus diterapkan. Ini tidak hanya akan menciptakan keseimbangan
antara alam dan manusia, tetapi juga memberikan kesejahteraan yang adil bagi
seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di daerah-daerah
yang kaya akan sumber daya alam.
Penulis merupakan
salah satu Anggota KPHD (Kaukus Parlemen Hijau Daerah) yang beranggotakan 27
orang seluruh Indonesia, aktif sebagai Anggota DPRD Kab. Kuburaya Periode
2024-2029, juga menjadi Ketua PATRI (Perhimpunan Anak Transmigran Republik
Indonesia) DPD Kalbar 2025-2030.