Ahmad Faisal Mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. (Dok. Ybs)
Transformasi Digital dalam
Kehidupan Beragama
Digitalisasi agama memiliki
beberapa aspek, termasuk penyebaran informasi agama melalui platform media
sosial, video dakwah di Youtube, aplikasi pembelajaran agama, hingga live
streaming acara-acara keagamaan. Platform seperti Instagram, Twitter, TikTok,
dan Facebook memungkinkan konten agama disebarluaskan dengan cepat ke seluruh
penjuru dunia. Hal ini tidak hanya meningkatkan aksesibilitas informasi agama,
tetapi juga memungkinkan terjadinya dialog dan diskusi agama lintas budaya dan
negara. Bagi Gen Z, agama digital menawarkan kenyamanan, keamanan, dan
kemudahan dalam mengakses berbagai sudut pandang keagamaan.
Namun, fenomena ini juga
memunculkan tantangan baru. Di dunia digital, informasi agama dapat menyebar
tanpa adanya proses validasi yang ketat, sehingga banyak informasi yang beredar
atau bahkan memicu kebencian. Gen Z, yang sangat dekat dengan internet, seringkali
dihadapkan pada berbagai pandangan yang mungkin tidak sesuai atau bahkan
bertentangan dengan nilai-nilai tradisional agama yang diajarkan. Tantangan ini
menggaris bawahi pentingnya literasi digital, sehingga generasi ini dapat
memilah informasi dengan bijak dan memahami mana yang sejalan dengan ajaran
agama serta m ana yang menyimpang.
Komunitas Agama Digital dan
Identitas Spiritual
Komunitas agama digital juga
memberikan ruang bagi Gen Z untuk merasa terhubung dan memiiliki tempat berbagi
pandangan serta pengalaman spiritual tanpa batasan jarak dan waktu. Grup
WhatsApp atau komunitas di Facebook, misalnya, memungkinkan anggota untuk
bertanya, berdiskusi, dan menemukan
dukungan spiritual kapanpun dibutuhkan. Hal ini sangat membantu mereka yang
tinggal didaerah terpencil atau di lingkungan yang kurang mendukung kegiatan
keagamaan.
Keterlibatan dikomunitas digital
ini turut mempengaruhi identitas spiritual Gen Z. Identitas agama yang dulu
terbentuk dari lingkungan keluarga, komunitas lokal, dan tempat ibadah, kini
diperkaya oleh interaksi dengan berbagai komunitas global. Gen Z bisa lebih
bebas mengekspresikan identitas agama mereka, mengembangkan pemahaman agama
yang mungkin lebih inklusif, pluralis, dan terbuka. Di sisi lain, terdapat
resiko bahwa terlalu banyak sumber informasi dapat menimbulkan kebingungan atau
bahkan membentuk identitas agama yang tidak stabil.
Tantangan Konsumerisme Religius
dalam Agama Digital.
Seiring dengan perkembangan agama
digital, konsumerisme keagamaan mulai muncul, dimana konten agama disajikan
dalam bentuk yang menarik dan menghibur untuk menarik perhatian audiens,
terutama dari Gen Z. Di satu sisi, hal ini membantu menyebarkan ajaran agama
kepada lebih banyak orang dengan cara yang menarik. Namun, ada kekhawatiran
bahwa pendekatan ini membuat agama lebih diperlakukan sebagai konsumsi produk
dibandingkan praktik spiritual. Ajaran agama berpotensi tertanam atau bahkan
dipermainkan untuk memenuhi algoritma media sosial yang menuntut keterlibatan
tinggi.
Pada platform seperti TikTok
misalnya, beberapa pengguna mungkin hanya melihat aspek-aspek tertentu dari
agama yang disajikan dalam format singkat dan menarik, namun kurang mendalam.
Ini dapat memperoleh esensi dari ajaran agama yang lebih komprehensif. Agama
bisa menjadi sekadar tren atau hobi bagi sebagian orang, dan dampaknya adalah
praktik keagamaan yang bersifat mendalam atau hanya bersifat seremonial tanpa
pemahaman mendalam .
Dampak Jangka Panjang: Kemandirian
Spiritual atau Keterasingan?
Dimasa depan, agama digital dapat
membawa dampak yang mendalam bagi kehidupan spiritual Gen Z. Disatu sisi,
keterbukaan informasi memungkinkan mereka untuk lebih mandiri dalam mencari dan
memahami ajaran agama yang sesuai dengan keyakinan mereka. Internet menyediakan
akses ke berbagai perspektif, sehingga mereka dapat memilih ajaran yang dirasa
paling relevan. Namun, kemandirian ini juga berpotensi menimbulkan isolasi
spiritual, dimana seseorang tidak lagi merasakan kebutuhan untuk bergabung
dalam komunitas fisik atau mengunjungi tempat ibadah.
Keterasingan ini bisa membuat
hubungan sosial dan emosional dengan komunitas keagamaan menjadi lemah. Agama
digital mungkin memberikan kepuasan spiritual sementara, tetapi apakah itu
cukup untuk menggantikan ikatan komunitas yang telah lama menjadi bagian
penting dari kehidupan beragama? Dalam situasi ini, tantangan bagi Gen Z adalah
menemukan keseimbangan antara praktik agama digital dan keterlibatan dalam
komunitas fisik.
Sedikit menarik kesimpulan
bahwasannya Gen Z dan agama digital adalah kombinasi yang membawa banyak
potensi sekaligus tantangan. Teknologi digital memungkinkan mereka mengakses
dan mengamalkan agama dengan cara yang lebih fleksibel dan sesuai dengan gaya
hidup mereka. Namun, keterbukaan ini juga mengharuskan mereka lebih bijak dalam
memilah informasi dan menjaga esensi dari ajaran agama yang mereka anut.
Ditengah derasnya arus informasi dan konten agama yang terus bertambah, Gen Z
perlu mengembangkan literasi digital yang baik serta kemampuan untuk menjaga
keseimbangan antara identitas spiritual pribadi dengan keterhubungan dalam
komunitas keagamaan fisik. Saya juga melihat Agama digital pula merupakan fenomena
yang sedang berkembang, dan dampaknya akan terus berubah seiring berjalannya
waktu. Namun yang pasti adalah bahwa Gen Z memiliki peran penting dalam
membentuk masa depan kehidupan beragama di era digital ini. Dengan pendekatan
yang bijak dan seimbang, agama digital dapat menjadi alat yang memperkaya, bukan
menggantikan, esensi dari pengalaman spiritual mereka.