Notification

×

Iklan

Iklan

Air Mata Siswa di Ruang Kelas: Cermin Buram Relasi Sekolah-Orang Tua Siswa

Kamis, 24 Juli 2025 | 14.47 WIB Last Updated 2025-07-24T07:47:26Z

Buhori Dosen IAIN Pontianak dan  Ketua Bidang Keorganisasian Pimpinan Wilayah GP. Ansor Kalbar. (Dok. Istimewa)
OPINI.CO. PONTIANAK - Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh beredarnya video seorang siswa Madrasah Tsanawiyah swasta di Kabupaten Kubu Raya yang nampak tertunduk dan menangis di tengah proses belajar mengajar berlangsung. Bukan karena dibully atau dimarahi, melainkan karena ia tidak diikutkan naik kelas sementara, lantaran belum mengambil raport akibat tunggakan pembayaran LKS. Ironisnya, video tersebut direkam oleh wali kelasnya sendiri dan dikirimkan langsung ke orang tua siswa. Tak berselang lama, potongan video itu menyebar luas di media sosial dan memicu gelombang reaksi dari berbagai kalangan.


Pihak madrasah kemudian merespons dengan klarifikasi resmi. Namun klarifikasi itu justru memperkuat sorotan terhadap pola komunikasi dan tata kelola yang diterapkan di sekolah. Perhatian publik pun meluas, hingga akhirnya Bupati Kubu Raya, Sujiwo, bersama Kepala Kementerian Agama  Kubu Raya turun langsung ke lokasi. Keduanya menyampaikan teguran keras kepada pihak madrasah dan berkomitmen menelusuri akar persoalan yang terjadi.


Peristiwa ini bagi saya tidak sekadar menyingkap masalah administrasi atau kelalaian individu, tetapi membuka tabir persoalan yang lebih dalam: relasi yang rapuh antara sekolah dan orang tua, serta absennya mekanisme penyelesaian masalah yang berlandaskan empati dan keadilan bagi anak.

 

Realitas Pahit Madrasah Swasta dan Kondisi Orang Tua Siswa


Kejadian memilukan di Kubu Raya ini merupakan “puncak gunung es” dari permasalahan mendasar yang dihadapi banyak lembaga pendidikan swasta, khususnya madrasah swasta di daerah. Berbeda dengan sekolah negeri yang mendapat dukungan penuh dari negara, madrasah swasta kerap berjalan terseok, penuh keterbatasan, meski memegang peran penting dalam upaya mencerdaskan anak bangsa dan menjangkau wilayah-wilayah yang tidak terlayani sekolah dan madrasah negeri.


Sebagian besar dari mereka bergantung pada dua sumber utama pendanaan: dana BOS dan iuran siswa. Sayangnya, kedua sumber ini sering kali tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan dasar, mulai dari gaji guru, perawatan fasilitas, hingga pengadaan bahan ajar seperti LKS. Di sisi lain, subsidi tambahan dari pemerintah maupun pihak lain sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada.


Kenyataan pahit ini pula yang pernah saya alami secara langsung, sekitar belasan tahun lalu, tepatnya ketika saya menjabat sebagai Kepala Madrasah di salah satu Madrasah Aliyah swasta di Kubu Raya. Saat itu, pencairan BOS mengalami keterlambatan hingga hampir enam bulan. Saya terpaksa mencari pinjaman pribadi demi membayar gaji guru. Itu pun hanya cukup untuk dua bulan pertama. Selebihnya, para guru harus bersabar tanpa gaji sampai dana BOS benar-benar cair. Tekanan semacam ini sangat nyata, dan sayangnya masih terus berulang di banyak tempat hingga hari ini.


Dalam kondisi serba terbatas ini, tuntutan terhadap kualitas terus meningkat, baik dari masyarakat yang menginginkan layanan terbaik, maupun dari negara yang menetapkan standar mutu dan akreditasi yang ketat. Sekolah dituntut tampil profesional, inovatif, dan berprestasi, meskipun sumber dayanya jauh dari ideal.


Tekanan inilah yang mendorong munculnya kebijakan “penahanan administrasi” seperti penahanan raport atau penundaan kenaikan kelas. Kebijakan ini lahir bukan dari niat menyakiti, melainkan dari upaya mempertahankan keberlangsungan operasional lembaga. Namun, tetap saja, dampaknya paling terasa pada siswa; pihak yang paling tak berdaya dalam persoalan ini. Di titik inilah, pendidikan mulai kehilangan wajah kemanusiaannya.


Di sisi lain, ada realitas yang tak boleh luput dari perhatian; kondisi ekonomi mayoritas orang tua siswa. Banyak dari mereka berasal dari keluarga pra-sejahtera, yang sehari-hari berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar. Menyekolahkan anak, meski di madrasah swasta yang berbayar, adalah ikhtiar terbaik yang mampu mereka tempuh demi masa depan anak-anaknya. Sayangnya, dalam keterbatasan itu, tidak semua orang tua berani mengkomunikasikannya dengan pihak sekolah. Komunikasi yang seharusnya menjadi jalan keluar, justru kerap tertutup rapat. Sebagian orang tua memilih diam. Akibatnya, tidak ada ruang untuk saling memahami, apalagi menciptakan solusi bersama.


Sekolah memang tidak selalu bisa menghapus beban finansial orang tua, tetapi dengan komunikasi yang sehat, jalan kompromi yang lebih manusiawi bisa dirintis. Program keringanan, penjadwalan ulang pembayaran, atau bahkan kolaborasi sosial bisa disusun jika komunikasi dua arah terjalin dengan baik. Tanggung jawab menyekolahkan anak tidak berhenti pada tahap pendaftaran. Orang tua tetap memiliki tanggung jawab moral dan administratif dalam mendukung keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka.


Sikap saling diam antara sekolah dan wali murid hanya akan memperbesar jurang ketidakpercayaan dan menciptakan ketegangan yang kontraproduktif bagi tumbuh kembang siswa. Di sinilah pentingnya membangun relasi yang sehat dan saling memahami antara sekolah dan orang tua. Keterlibatan aktif tetap menjadi kunci keberhasilan pendidikan yang berpihak pada peserta didik.


Akar Persoalan: Gagalnya Komunikasi Dua Arah


Kasus di Kubu Raya di atas mencerminkan kegagalan komunikasi dua arah antara sekolah dan orang tua siswa. Sekolah, boleh jadi akibat didesak oleh kebutuhan operasional, kerap abai terhadap sensitivitas sosial, terutama ketika berhadapan dengan siswa dari keluarga prasejahtera. Sementara itu, banyak orang tua merasa enggan atau mungkin malu-malu untuk mengungkapkan kondisi ekonomi mereka. Alhasil, dialog yang seharusnya menjadi jembatan penyelesaian justru tak pernah terbentuk. Ini adalah contoh klasik dari absennya komunikasi simetris dalam pendidikan.


Padahal, relasi ideal antara sekolah dan orang tua semestinya bersifat kolaboratif, bukan sekedar administratif. Dalam Theory of Overlapping Spheres of Influence, Joyce L Epstein (2002) menjelaskan bahwa keberhasilan siswa sangat dipengaruhi oleh sinergi antara sekolah, keluarga, dan komunitas. Kolaborasi yang saling terhubung inilah yang menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.


Sayangnya, dalam praktik di beberapa sekolah, relasi ini sering bersifat satu arah, komunikasi terbatas pada surat tagihan atau pemberitahuan resmi, tanpa ruang dialog yang terbuka dan penuh empati. Akibatnya, komunikasi yang tersumbat ini menciptakan ruang hampa, yang kerap diisi oleh prasangka dan reaksi sepihak, mulai dari penahanan raport hasil belajar siswa hingga tindakan emosional seperti merekam siswa yang menangis. Jika ruang komunikasi sehat tidak dibuka sejak awal, konflik akan terus berulang dalam bentuk yang semakin destruktif.


Dalam konteks ini, secara pribadi saya tidak hanya berbicara pada tataran teoritis, tapi sudah mengalaminya langsung dalam praktik kehidupan. Selama duduk di bangku MI hingga MA, seluruhnya di sekolah swasta, saya telah akrab dengan tunggakan SPP dan biaya pendidikan lainnya. Bukan karena lalai, tapi murni karena keterbatasan ekonomi keluarga. Bahkan saya ingat betul, pernah juga mengalami penahanan buku raport di akhir tahun ajaran karena belum melunasi administrasi sekolah. Namun berkat orang tua yang aktif berkomunikasi dengan pihak sekolah, akhirnya solusi bisa dicapai tanpa harus melukai perasaan anak.


Ketika memasuki jenjang MA di lingkungan pesantren, peran itu saya ambil alih sendiri. Masih jelas di ingatan saya, ada sebutan khusus yang diberikan oleh kepala sekolah bagi saya dan teman-teman lain yang terkendala penunggakan administrasi kala itu, yaitu “siswa perjanjian.” Ya, istilah ini merujuk pada kewajiban kami untuk menandatangani surat perjanjian sebelum mengikuti ujian akhir atau mengambil raport. Kendatipun demikian, berkat adanya komunikasi terbuka dan saling memahami antara kedua belah pihak, masalah bisa diurai, tanpa harus mengorbankan martabat dan psikologis siswa.

 

Membangun Ekosistem Pendidikan yang Berkeadilan dan Berempati


Untuk mencegah peristiwa serupa terulang, saya kira pendekatan sistemik mutlak diperlukan. Pertama, sekolah perlu memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang jelas dalam menangani keterlambatan pembayaran, khususnya dari siswa tidak mampu. Kebijakan penahanan raport atau status kenaikan kelas perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan aspek psikologis dan hak anak.


Kedua, perlu ditingkatkan kembali peran komite sekolah atau madrasah sebagai jembatan komunikasi antara orang tua/wali murid dan pihak madrasah. Komunikasi harus dibangun bukan hanya ketika masalah sudah meledak, tapi justru ketika gejala-gejalanya mulai muncul. Ketiga, guru dan tenaga kependidikan lainnya perlu dibekali pemahaman terkait etika digital, perlindungan anak, dan penanganan kasus sensitif. Tidak semua guru memahami batas antara dokumentasi internal dan pelanggaran privasi. Dalam era serba digital, salah langkah sekecil apapun dapat berdampak besar dan panjang.


Terakhir, pemerintah harus lebih aktif dalam mendampingi sekolah swasta, tidak hanya hadir saat persoalan mencuat ke media dan hanya mampu menyalahkan sekolah. Perhatian pemerintah semestinya tidak sekadar lewat dana BOS, tetapi juga dalam bentuk fasilitasi kebijakan dan penguatan kapasitas kelembagaan. Madrasah swasta adalah mitra penting dalam mencerdaskan bangsa. Membiarkan mereka berjalan sendiri tanpa perlindungan sistemik sama saja dengan membiarkan kualitas pendidikan kita terus dipertaruhkan.

 

 

 

×
Berita Terbaru Update