![]() |
Buhori Dosen IAIN Pontianak dan Ketua Bidang Keorganisasian Pimpinan Wilayah GP. Ansor Kalbar. (Dok. Istimewa) |
Pihak madrasah kemudian merespons
dengan klarifikasi resmi. Namun klarifikasi itu justru memperkuat sorotan
terhadap pola komunikasi dan tata kelola yang diterapkan di sekolah. Perhatian
publik pun meluas, hingga akhirnya Bupati Kubu Raya, Sujiwo, bersama Kepala
Kementerian Agama Kubu Raya turun
langsung ke lokasi. Keduanya menyampaikan teguran keras kepada pihak madrasah
dan berkomitmen menelusuri akar persoalan yang terjadi.
Peristiwa ini bagi saya tidak
sekadar menyingkap masalah administrasi atau kelalaian individu, tetapi membuka
tabir persoalan yang lebih dalam: relasi yang rapuh antara sekolah dan orang
tua, serta absennya mekanisme penyelesaian masalah yang berlandaskan empati dan
keadilan bagi anak.
Realitas Pahit Madrasah Swasta
dan Kondisi Orang Tua Siswa
Kejadian memilukan di Kubu Raya ini
merupakan “puncak gunung es” dari permasalahan mendasar yang dihadapi banyak
lembaga pendidikan swasta, khususnya madrasah swasta di daerah. Berbeda dengan
sekolah negeri yang mendapat dukungan penuh dari negara, madrasah swasta kerap
berjalan terseok, penuh keterbatasan, meski memegang peran penting dalam upaya
mencerdaskan anak bangsa dan menjangkau wilayah-wilayah yang tidak terlayani
sekolah dan madrasah negeri.
Sebagian besar dari mereka
bergantung pada dua sumber utama pendanaan: dana BOS dan iuran siswa.
Sayangnya, kedua sumber ini sering kali tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan
dasar, mulai dari gaji guru, perawatan fasilitas, hingga pengadaan bahan ajar
seperti LKS. Di sisi lain, subsidi tambahan dari pemerintah maupun pihak lain
sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada.
Kenyataan pahit ini pula yang
pernah saya alami secara langsung, sekitar belasan tahun lalu, tepatnya ketika
saya menjabat sebagai Kepala Madrasah di salah satu Madrasah Aliyah swasta di
Kubu Raya. Saat itu, pencairan BOS mengalami keterlambatan hingga hampir enam
bulan. Saya terpaksa mencari pinjaman pribadi demi membayar gaji guru. Itu pun
hanya cukup untuk dua bulan pertama. Selebihnya, para guru harus bersabar tanpa
gaji sampai dana BOS benar-benar cair. Tekanan semacam ini sangat nyata, dan
sayangnya masih terus berulang di banyak tempat hingga hari ini.
Dalam kondisi serba terbatas ini,
tuntutan terhadap kualitas terus meningkat, baik dari masyarakat yang
menginginkan layanan terbaik, maupun dari negara yang menetapkan standar mutu
dan akreditasi yang ketat. Sekolah dituntut tampil profesional, inovatif, dan
berprestasi, meskipun sumber dayanya jauh dari ideal.
Tekanan inilah yang mendorong
munculnya kebijakan “penahanan administrasi” seperti penahanan raport atau
penundaan kenaikan kelas. Kebijakan ini lahir bukan dari niat menyakiti,
melainkan dari upaya mempertahankan keberlangsungan operasional lembaga. Namun,
tetap saja, dampaknya paling terasa pada siswa; pihak yang paling tak berdaya
dalam persoalan ini. Di titik inilah, pendidikan mulai kehilangan wajah
kemanusiaannya.
Di sisi lain, ada realitas yang tak
boleh luput dari perhatian; kondisi ekonomi mayoritas orang tua siswa. Banyak
dari mereka berasal dari keluarga pra-sejahtera, yang sehari-hari berjuang
keras untuk memenuhi kebutuhan dasar. Menyekolahkan anak, meski di madrasah
swasta yang berbayar, adalah ikhtiar terbaik yang mampu mereka tempuh demi masa
depan anak-anaknya. Sayangnya, dalam keterbatasan itu, tidak semua orang tua
berani mengkomunikasikannya dengan pihak sekolah. Komunikasi yang seharusnya
menjadi jalan keluar, justru kerap tertutup rapat. Sebagian orang tua memilih
diam. Akibatnya, tidak ada ruang untuk saling memahami, apalagi menciptakan
solusi bersama.
Sekolah memang tidak selalu bisa
menghapus beban finansial orang tua, tetapi dengan komunikasi yang sehat, jalan
kompromi yang lebih manusiawi bisa dirintis. Program keringanan, penjadwalan
ulang pembayaran, atau bahkan kolaborasi sosial bisa disusun jika komunikasi
dua arah terjalin dengan baik. Tanggung jawab menyekolahkan anak tidak berhenti
pada tahap pendaftaran. Orang tua tetap memiliki tanggung jawab moral dan
administratif dalam mendukung keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka.
Sikap saling diam antara sekolah
dan wali murid hanya akan memperbesar jurang ketidakpercayaan dan menciptakan
ketegangan yang kontraproduktif bagi tumbuh kembang siswa. Di sinilah
pentingnya membangun relasi yang sehat dan saling memahami antara sekolah dan
orang tua. Keterlibatan aktif tetap menjadi kunci keberhasilan pendidikan yang
berpihak pada peserta didik.
Akar Persoalan: Gagalnya
Komunikasi Dua Arah
Kasus di Kubu Raya di atas mencerminkan
kegagalan komunikasi dua arah antara sekolah dan orang tua siswa. Sekolah, boleh
jadi akibat didesak oleh kebutuhan operasional, kerap abai terhadap
sensitivitas sosial, terutama ketika berhadapan dengan siswa dari keluarga
prasejahtera. Sementara itu, banyak orang tua merasa enggan atau mungkin
malu-malu untuk mengungkapkan kondisi ekonomi mereka. Alhasil, dialog yang
seharusnya menjadi jembatan penyelesaian justru tak pernah terbentuk. Ini
adalah contoh klasik dari absennya komunikasi simetris dalam pendidikan.
Padahal, relasi ideal antara
sekolah dan orang tua semestinya bersifat kolaboratif, bukan sekedar administratif.
Dalam Theory of Overlapping Spheres of Influence, Joyce L Epstein (2002)
menjelaskan bahwa keberhasilan siswa sangat dipengaruhi oleh sinergi antara
sekolah, keluarga, dan komunitas. Kolaborasi yang saling terhubung inilah yang
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Sayangnya, dalam praktik di beberapa
sekolah, relasi ini sering bersifat satu arah, komunikasi terbatas pada surat
tagihan atau pemberitahuan resmi, tanpa ruang dialog yang terbuka dan penuh
empati. Akibatnya, komunikasi yang tersumbat ini menciptakan ruang hampa, yang
kerap diisi oleh prasangka dan reaksi sepihak, mulai dari penahanan raport
hasil belajar siswa hingga tindakan emosional seperti merekam siswa yang
menangis. Jika ruang komunikasi sehat tidak dibuka sejak awal, konflik akan
terus berulang dalam bentuk yang semakin destruktif.
Dalam konteks ini, secara pribadi
saya tidak hanya berbicara pada tataran teoritis, tapi sudah mengalaminya
langsung dalam praktik kehidupan. Selama duduk di bangku MI hingga MA, seluruhnya
di sekolah swasta, saya telah akrab dengan tunggakan SPP dan biaya pendidikan
lainnya. Bukan karena lalai, tapi murni karena keterbatasan ekonomi keluarga. Bahkan
saya ingat betul, pernah juga mengalami penahanan buku raport di akhir tahun
ajaran karena belum melunasi administrasi sekolah. Namun berkat orang tua yang aktif
berkomunikasi dengan pihak sekolah, akhirnya solusi bisa dicapai tanpa harus
melukai perasaan anak.
Ketika memasuki jenjang MA di
lingkungan pesantren, peran itu saya ambil alih sendiri. Masih jelas di ingatan
saya, ada sebutan khusus yang diberikan oleh kepala sekolah bagi saya dan
teman-teman lain yang terkendala penunggakan administrasi kala itu, yaitu “siswa
perjanjian.” Ya, istilah ini merujuk pada kewajiban kami untuk menandatangani
surat perjanjian sebelum mengikuti ujian akhir atau mengambil raport. Kendatipun
demikian, berkat adanya komunikasi terbuka dan saling memahami antara kedua
belah pihak, masalah bisa diurai, tanpa harus mengorbankan martabat dan
psikologis siswa.
Membangun Ekosistem Pendidikan
yang Berkeadilan dan Berempati
Untuk mencegah peristiwa serupa
terulang, saya kira pendekatan sistemik mutlak diperlukan. Pertama,
sekolah perlu memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang jelas
dalam menangani keterlambatan pembayaran, khususnya dari siswa tidak mampu.
Kebijakan penahanan raport atau status kenaikan kelas perlu ditinjau ulang
dengan mempertimbangkan aspek psikologis dan hak anak.
Kedua, perlu ditingkatkan
kembali peran komite sekolah atau madrasah sebagai jembatan komunikasi antara
orang tua/wali murid dan pihak madrasah. Komunikasi harus dibangun bukan hanya
ketika masalah sudah meledak, tapi justru ketika gejala-gejalanya mulai muncul.
Ketiga, guru dan tenaga kependidikan lainnya perlu dibekali pemahaman
terkait etika digital, perlindungan anak, dan penanganan kasus sensitif. Tidak
semua guru memahami batas antara dokumentasi internal dan pelanggaran privasi.
Dalam era serba digital, salah langkah sekecil apapun dapat berdampak besar dan
panjang.
Terakhir, pemerintah harus
lebih aktif dalam mendampingi sekolah swasta, tidak hanya hadir saat persoalan
mencuat ke media dan hanya mampu menyalahkan sekolah. Perhatian pemerintah
semestinya tidak sekadar lewat dana BOS, tetapi juga dalam bentuk fasilitasi
kebijakan dan penguatan kapasitas kelembagaan. Madrasah swasta adalah mitra
penting dalam mencerdaskan bangsa. Membiarkan mereka berjalan sendiri tanpa
perlindungan sistemik sama saja dengan membiarkan kualitas pendidikan kita
terus dipertaruhkan.