![]() |
Anas Mahasiswa Universitas Al-Qolam Malang. (Dok. Ybs) |
Dalam tulisannya "Bendera di
Tiang Rapuh", beliau menuangkan kritik tajam kepada aktivis mahasiswa
Universitas Al-Qolam Malang. Secara garis besar, beliau menggambarkan semangat
perjuangan mahasiswa bagaikan bendera yang berkibar tinggi, tetapi tiangnya
rapuh sebuah simbol bahwa semangat mereka terlihat gagah di luar, namun rapuh
di dalam. Beliau menyoroti bagaimana sebagian aktivis terlalu sibuk berorasi,
memamerkan sikap heroik, dan menempelkan label perjuangan, tetapi lupa
membangun dasar yang kuat berupa pemahaman, strategi, dan tindakan nyata.
Penulis merasa gerakan mahasiswa
seharusnya bukan hanya soal turun ke jalan atau berdebat di forum, melainkan
juga soal kerja nyata yang berakar pada pengetahuan mendalam dan tujuan yang
jelas. Kritik ini adalah panggilan bagi mahasiswa untuk berhenti terjebak pada
simbol dan jargon kosong. Penulis mendorong mereka untuk menata ulang cara
berpikir, memperkaya diri dengan literasi, membangun diskusi yang sehat, dan
menciptakan dampak yang betul-betul dirasakan masyarakat.
Lewat tulisan ini, penulis seolah
berkata: perjuangan tidak cukup hanya dikibarkan, tetapi harus ditopang tiang
yang kokoh-yakni akal sehat, keilmuan, dan kerja keras yang konsisten.
Mengenai kondisi organisasi mahasiswa
di Universitas Al-Qolam Malang, izinkan saya memberikan sudut pandang yang
lebih luas sebagai pelengkap. Kritik, sejatinya, adalah tanda cinta pada
perubahan. la hadir untuk menggugah, bukan semata-mata mencela. Namun, dalam
memaknai kritik, kita pun perlu bijak membaca konteks agar keadilan narasi
tetap terjaga.
Membaca Ulang Realitas Organisasi
Mahasiswa
Tak dapat disangkal, geliat
organisasi mahasiswa intra maupun ekstra kampus memang menghadapi tantangan di
era ini. Gedung sekretariat yang kadang sunyi, bendera yang enggan berkibar,
dan papan pengumuman yang jarang terisi sering dianggap tanda surutnya gairah
berorganisasi. Namun, apakah benar demikian? Ataukah semangat itu justru tengah
bertransformasi, mencari wadah baru yang lebih sesuai dengan denyut zaman?
Perubahan adalah keniscayaan.
Generasi mahasiswa hari ini tumbuh di tengah arus teknologi yang deras. Mereka
tidak lagi terpaku pada sekat ruang fisik, melainkan merajut jejaring di ruang
virtual yang menembus batas geografi. Organisasi tidak lagi terbatas pada papan
nama di depan sekretariat, tetapi hidup dalam percakapan, kolaborasi, dan
gerakan di dunia maya.
Di era digital, mahasiswa punya
panggung yang jauh lebih luas. Media sosial, forum diskusi daring, hingga
platform kolaborasi menjadi ruang baru untuk menyalurkan gagasan dan memantik
perubahan. Bendera organisasi memang mungkin tidak lagi selalu berkibar di
halaman kampus, tetapi di layar gawai, ribuan pikiran saling terhubung,
merancang inisiatif yang barangkali jauh lebih berdampak daripada sekadar
seremonial.
Kita pun tak boleh alpa melihat,
betapa banyak mahasiswa yang berkontribusi tanpa pamrih di balik sorot publik.
Mereka menginisiasi penggalangan dana untuk korban bencana, terlibat dalam
advokasi kebijakan, hingga merawat gerakan sosial yang tidak selalu tercatat
dalam absensi rapat. Langkah-langkah kecil yang lahir dari ruang digital,
menjelma aksi nyata di dunia nyata.
Mahasiswa Universitas Al-Qolam
Malang sama halnya seperti mahasiswa di banyak tempat yang terus bergerak. Hanya
saja, arah geraknya sering kali tak kasat mata. Mereka membangun komunitas,
berdiskusi lintas kampus, terlibat dalam isu lingkungan, pendidikan, hingga
kemanusiaan. Mereka tidak menunggu panggung, melainkan menciptakan panggungnya
sendiri.
Semangat inilah yang patut kita lihat
dengan kacamata yang lebih jernih. Bahwa generasi hari ini bukan generasi
apatis. Mereka hanya memilih jalur perjuangan yang berbeda, lintas ruang dan
waktu. memanfaatkan teknologi, berkolaborasi
Menemani Proses, Merawat Asa
Daripada memaknai situasi ini sebagai
kemunduran, alangkah baiknya jika kita melihatnya sebagai fase transisi. Kita
semua, sebagai bagian dari ekosistem kampus, memiliki peran untuk menemani
proses ini. Menjadi saksi, pendengar, sekaligus penyokong agar semangat itu
tidak hanya tetap hidup, tetapi juga tumbuh dalam bentuk yang lebih relevan.
Sudah saatnya kita mendekap kritik
dengan bijak, namun pada saat yang sama merawat optimisme. Kita tidak sedang
melihat bendera yang jatuh, melainkan bendera yang tengah menjelma bentuk
baru-berkibar di beranda digital, menembus ruang-ruang diskusi, menyalakan obor
gagasan di tengah perubahan
Penulis : Anas H.A (mahasiswa yang pernah di
tegur karena memakai celana di hari Jum'at)