Notification

×

Iklan

Iklan

Refleksi atas Kritik Gus Mad terhadap Aktivisme Mahasiswa Universitas Al-Qolam Malang

Minggu, 20 Juli 2025 | 21.35 WIB Last Updated 2025-07-20T15:13:16Z

Anas Mahasiswa Universitas Al-Qolam Malang. (Dok. Ybs)
OPINI.CO. MALANG - Menanggapi kritik yang disampaikan oleh Bpk. Muhammad Madarik atau lebih familiar dengan sapaan Gus Mad, beliau merupakan salah satu dosen di Universitas Al-Qolam.


Dalam tulisannya "Bendera di Tiang Rapuh", beliau menuangkan kritik tajam kepada aktivis mahasiswa Universitas Al-Qolam Malang. Secara garis besar, beliau menggambarkan semangat perjuangan mahasiswa bagaikan bendera yang berkibar tinggi, tetapi tiangnya rapuh sebuah simbol bahwa semangat mereka terlihat gagah di luar, namun rapuh di dalam. Beliau menyoroti bagaimana sebagian aktivis terlalu sibuk berorasi, memamerkan sikap heroik, dan menempelkan label perjuangan, tetapi lupa membangun dasar yang kuat berupa pemahaman, strategi, dan tindakan nyata.


Penulis merasa gerakan mahasiswa seharusnya bukan hanya soal turun ke jalan atau berdebat di forum, melainkan juga soal kerja nyata yang berakar pada pengetahuan mendalam dan tujuan yang jelas. Kritik ini adalah panggilan bagi mahasiswa untuk berhenti terjebak pada simbol dan jargon kosong. Penulis mendorong mereka untuk menata ulang cara berpikir, memperkaya diri dengan literasi, membangun diskusi yang sehat, dan menciptakan dampak yang betul-betul dirasakan masyarakat.


Lewat tulisan ini, penulis seolah berkata: perjuangan tidak cukup hanya dikibarkan, tetapi harus ditopang tiang yang kokoh-yakni akal sehat, keilmuan, dan kerja keras yang konsisten.


Mengenai kondisi organisasi mahasiswa di Universitas Al-Qolam Malang, izinkan saya memberikan sudut pandang yang lebih luas sebagai pelengkap. Kritik, sejatinya, adalah tanda cinta pada perubahan. la hadir untuk menggugah, bukan semata-mata mencela. Namun, dalam memaknai kritik, kita pun perlu bijak membaca konteks agar keadilan narasi tetap terjaga.


Membaca Ulang Realitas Organisasi Mahasiswa


Tak dapat disangkal, geliat organisasi mahasiswa intra maupun ekstra kampus memang menghadapi tantangan di era ini. Gedung sekretariat yang kadang sunyi, bendera yang enggan berkibar, dan papan pengumuman yang jarang terisi sering dianggap tanda surutnya gairah berorganisasi. Namun, apakah benar demikian? Ataukah semangat itu justru tengah bertransformasi, mencari wadah baru yang lebih sesuai dengan denyut zaman?


Perubahan adalah keniscayaan. Generasi mahasiswa hari ini tumbuh di tengah arus teknologi yang deras. Mereka tidak lagi terpaku pada sekat ruang fisik, melainkan merajut jejaring di ruang virtual yang menembus batas geografi. Organisasi tidak lagi terbatas pada papan nama di depan sekretariat, tetapi hidup dalam percakapan, kolaborasi, dan gerakan di dunia maya.


Di era digital, mahasiswa punya panggung yang jauh lebih luas. Media sosial, forum diskusi daring, hingga platform kolaborasi menjadi ruang baru untuk menyalurkan gagasan dan memantik perubahan. Bendera organisasi memang mungkin tidak lagi selalu berkibar di halaman kampus, tetapi di layar gawai, ribuan pikiran saling terhubung, merancang inisiatif yang barangkali jauh lebih berdampak daripada sekadar seremonial.


Kita pun tak boleh alpa melihat, betapa banyak mahasiswa yang berkontribusi tanpa pamrih di balik sorot publik. Mereka menginisiasi penggalangan dana untuk korban bencana, terlibat dalam advokasi kebijakan, hingga merawat gerakan sosial yang tidak selalu tercatat dalam absensi rapat. Langkah-langkah kecil yang lahir dari ruang digital, menjelma aksi nyata di dunia nyata.


Mahasiswa Universitas Al-Qolam Malang sama halnya seperti mahasiswa di banyak tempat yang terus bergerak. Hanya saja, arah geraknya sering kali tak kasat mata. Mereka membangun komunitas, berdiskusi lintas kampus, terlibat dalam isu lingkungan, pendidikan, hingga kemanusiaan. Mereka tidak menunggu panggung, melainkan menciptakan panggungnya sendiri.


Semangat inilah yang patut kita lihat dengan kacamata yang lebih jernih. Bahwa generasi hari ini bukan generasi apatis. Mereka hanya memilih jalur perjuangan yang berbeda, lintas ruang dan waktu. memanfaatkan teknologi, berkolaborasi


Menemani Proses, Merawat Asa


Daripada memaknai situasi ini sebagai kemunduran, alangkah baiknya jika kita melihatnya sebagai fase transisi. Kita semua, sebagai bagian dari ekosistem kampus, memiliki peran untuk menemani proses ini. Menjadi saksi, pendengar, sekaligus penyokong agar semangat itu tidak hanya tetap hidup, tetapi juga tumbuh dalam bentuk yang lebih relevan.


Sudah saatnya kita mendekap kritik dengan bijak, namun pada saat yang sama merawat optimisme. Kita tidak sedang melihat bendera yang jatuh, melainkan bendera yang tengah menjelma bentuk baru-berkibar di beranda digital, menembus ruang-ruang diskusi, menyalakan obor gagasan di tengah perubahan


Penulis : Anas H.A (mahasiswa yang pernah di tegur karena memakai celana di hari Jum'at)

×
Berita Terbaru Update