![]() |
Faris Sullaily Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kalbar. |
Latar Belakang Putusan
Putusan MK ini lahir dari gugatan yang menilai bahwa pelaksanaan pemilu serentak selama ini terlalu rumit, melelahkan, dan berisiko terhadap kualitas demokrasi. Pemilu serentak tahun 2019 silam menjadi contoh nyata, di mana banyak petugas KPPS jatuh sakit bahkan meninggal dunia karena kelelahan. Kompleksitas tata kelola logistik, teknis pemungutan suara, serta beban kerja penyelenggara pemilu menjadi dasar kuat untuk mengubah format pemilu.
Solusi atas Kelelahan Teknis
Secara teknis, pemisahan pemilu tampak menjanjikan. Dengan membagi beban kerja penyelenggara pemilu, diharapkan proses pemilihan dapat berjalan lebih efisien dan manusiawi. Pemilih pun bisa lebih fokus dalam menentukan pilihan mereka, karena tidak perlu mencoblos lima surat suara dalam satu waktu. Konsentrasi publik terhadap isu legislatif dan eksekutif juga berpotensi meningkat karena waktu kampanye dan perhatian politik bisa dipisah.
Masalah Baru: Biaya dan Dinamika Politik
Namun, di balik manfaat teknis tersebut, muncul sejumlah potensi masalah. Pertama, soal biaya. Melaksanakan dua pemilu nasional di waktu berbeda akan membutuhkan anggaran yang jauh lebih besar dibandingkan pemilu serentak. Pemerintah dan KPU akan menghadapi tantangan logistik, pengamanan, dan sosialisasi dua kali lipat.
Kedua, soal dampak terhadap stabilitas politik. Pemisahan pemilu bisa melahirkan dinamika kekuasaan yang saling bertentangan. Misalnya, presiden terpilih bisa berasal dari partai yang berbeda dengan mayoritas di parlemen. Hal ini bisa mempersulit proses legislasi dan berpotensi menghambat jalannya pemerintahan. Indonesia yang belum sepenuhnya matang dalam praktik politik koalisi bisa menghadapi kebuntuan politik seperti yang kerap terjadi di negara-negara dengan sistem parlementer.
Kesiapan Institusi Demokrasi
Pemisahan ini juga menguji kesiapan institusi demokrasi kita. Apakah KPU, Bawaslu, partai politik, dan masyarakat sipil sudah siap menghadapi perubahan besar dalam sistem kepemiluan? Jangan sampai niat baik untuk menyederhanakan malah membuka celah baru bagi politisasi, ketidakpastian hukum, atau bahkan delegitimasi hasil pemilu.
Kesimpulan
Pemisahan pemilu oleh MK bukan semata-mata soal teknis, melainkan soal arah demokrasi ke depan. Ia bisa menjadi solusi, jika didukung oleh desain sistem politik yang adaptif, pendanaan yang memadai, serta edukasi politik yang matang. Namun, tanpa kesiapan itu semua, pemisahan ini justru bisa menjadi masalah baru yang mengancam stabilitas politik, menambah biaya demokrasi, dan melemahkan efektivitas pemerintahan.
Maka, pertanyaan “solusi atau masalah baru?” hanya bisa dijawab dengan satu syarat: seberapa siap bangsa ini membenahi sistem politiknya secara menyeluruh.