![]() |
Syaifudin Zuhri Ketua DPC Caretaker GMNI Kabupaten Malang. |
Fakta di lapangan mengerikan. Greenpeace melaporkan lebih dari 500 hektare hutan di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah diratakan. Sedimentasi dari pengerukan mencemari perairan, menghancurkan terumbu karang, dan mengusir satwa laut seperti penyu sisik. PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Mulia Raymond Perkasa, dengan konsesi seluas ribuan hektare, beroperasi dengan arogansi, seolah hukum tidak berlaku. UU No. 1 Tahun 2014 jelas melarang pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Gag dan Kawe, namun izin tetap diberikan. Ini bukan sekadar kelalaian; ini adalah kolusi sistemik antara pengusaha tambang dan oknum pejabat yang mengorbankan Raja Ampat demi keuntungan jangka pendek.
Pemerintah melalui Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, berjanji mengevaluasi izin tambang. Namun janji ini terdengar seperti drama berulang tanpa hasil. Sejarah pertambangan Indonesia penuh dengan evaluasi kosong dan penegakan hukum yang pincang. Di Papua, otonomi khusus seharusnya memberi daerah kendali atas sumber daya alam, tetapi kenyataannya, keputusan diambil di Jakarta, sering kali atas nama “hilirisasi nikel” untuk energi bersih. Narasi ini munafik. Bagaimana mungkin industri yang menghancurkan ekosistem rapuh seperti Raja Ampat disebut ramah lingkungan? Limbah tambang, deforestasi, dan polusi laut adalah bukti nyata bahwa “energi bersih” hanyalah kedok untuk memperkaya segelintir elit.
Dampaknya terhadap masyarakat adat sangat memilukan. Suku Kawe dan Maya, yang hidup selaras dengan alam selama berabad-abad, kini kehilangan tanah leluhur mereka. Janji pekerjaan dan royalti dari perusahaan tambang hanyalah umpan. Data menunjukkan bahwa manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal minimal, sementara kerusakan lingkungan permanen. Pariwisata, yang menyumbang Rp150 miliar per tahun bagi PAD dan menopang ribuan warga, terancam runtuh. Anggota DPR RI Novita Hardini memprediksi penurunan pendapatan pariwisata hingga 60% jika kerusakan berlanjut. Wisatawan mancanegara, yang datang untuk menyaksikan keindahan bawah laut Raja Ampat, tidak akan menyelam di perairan keruh penuh sedimen.
Pemerintah dan pelaku industri sering berdalih bahwa tambang nikel mendukung ekonomi lokal, terutama di masa pandemi. Namun argumen ini rapuh. Manfaat sesaat seperti beasiswa atau lapangan kerja tidak sebanding dengan kehancuran ekosistem yang menjadi tulang punggung pariwisata dan perikanan. Kiki Taufik dari Greenpeace dengan tepat menyebut masyarakat lokal sebagai korban berulang: kehilangan ruang hidup, mata pencaharian, dan identitas budaya. Lebih parah lagi, proses pemberian izin tambang sering kali tidak transparan, mengabaikan konsultasi dengan masyarakat adat, dan melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui internasional.
Tindakan segera diperlukan bukan sekadar wacana. Pertama, cabut semua izin tambang di pulau-pulau kecil Raja Ampat sesuai UU No. 1 Tahun 2014. Kedua, lakukan audit menyeluruh terhadap semua IUP di kawasan konservasi, dengan melibatkan masyarakat adat dan organisasi independen. Ketiga, hentikan narasi menyesatkan tentang hilirisasi nikel sebagai solusi ekonomi, dan alihkan fokus ke pariwisata berkelanjutan yang terbukti lebih menguntungkan jangka panjang. Keempat, hukum berat pelaku yang melanggar regulasi lingkungan, termasuk oknum pejabat yang memfasilitasi izin ilegal. Tanpa langkah tegas, Raja Ampat akan menjadi contoh tragis bagaimana keserakahan menghancurkan warisan alam.
Raja Ampat adalah milik dunia, tetapi tanggung jawab utama ada pada Indonesia. Tagar #SaveRajaAmpat mencerminkan kemarahan dan kepedulian publik, tetapi kemarahan saja tidak cukup. Pemerintah harus bertindak sekarang, sebelum “Surga Terakhir” ini menjadi kenangan. Jika tidak, kita bukan hanya kehilangan biodiversitas, tetapi juga martabat sebagai bangsa yang gagal melindungi harta karunnya sendiri. Raja Ampat bukan milik perusahaan tambang; ia milik rakyat, dan rakyat menuntut keadilan.