Notification

×

Iklan

Iklan

Scroll TikTok Tiap Malam, Tugas Cuma Jadi Wacana

Senin, 16 Juni 2025 | 15.26 WIB Last Updated 2025-06-16T08:27:37Z

Alexsandro Abdul Ghoni Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. (Dok. Ybs)
OPINI.CO. SURAKARTATikTok sekarang udah kayak teman tidur bagi banyak mahasiswa. Niat awal buka TikTok cuma lima menit, cari hiburan sebelum tidur, tapi tau-tau udah jam tiga pagi. Katanya sih cuma scroll bentar doang tapi tiga jam kemudian, tugas belum disentuh, malah hafal semua suara viral dan tren terbaru. Emang susah, algoritmanya tuh pinter banget ngasih apa yang kita suka. Tapi dari sekadar hiburan, kebiasaan ini lama-lama berdampak besar buat hidup mahasiswa dan bukan cuma dari sisi akademik aja.

 

Sebagai mahasiswa, kita punya tanggung jawab yang cukup banyak. Mulai dari tugas kuliah, organisasi, kerja part-time, sampai urusan hidup mandiri. Tapi makin ke sini, makin banyak mahasiswa yang ngerasa stuck. Salah satu penyebabnya antara lain konsumsi media sosial yang gak terkendali, termasuk TikTok.

 

Kalau kita mau jujur, kebiasaan scroll TikTok tiap malam itu bukan sekadar kebiasaan males. Ini bisa jadi bentuk pelarian dari tekanan yang numpuk. Banyak mahasiswa ngerasa capek, bingung sama masa depan, dan terbebani sama ekspektasi baik dari diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan. Akhirnya, TikTok jadi pelampiasan. Isinya hiburan, gampang dicerna, dan bikin ketawa, beda banget sama realitas hidup yang kadang bikin stres. Tapi justru karena terlalu sering lari ke situ, mahasiswa jadi terjebak di pola yang merugikan. Bangun siang karena tidur kemaleman, tugas makin numpuk, akhirnya makin stres, dan malamnya scroll TikTok lagi buat ngilangin stres. Muter terus kayak lingkaran setan.

 

Dari sisi psikologi sosial, mahasiswa sekarang tuh rentan kena fear of missing out (FOMO). Ngerasa harus selalu update tren, takut ketinggalan topik obrolan di tongkrongan, atau sekadar pengen eksis biar dianggap “nyambung”. Ini yang bikin TikTok susah ditinggalin. Karena kalau gak update, takut dianggap kudet. Padahal, waktu dan fokus kita pelan-pelan dikuras habis.

 

Kalau ditelaah lebih dalam, ini gak bisa lepas dari kondisi sosial mahasiswa saat ini. Banyak yang harus ngekost jauh dari keluarga, hidup serba hemat, dan dituntut buat multitasking. Beban mental dan emosional ini gede banget. Sayangnya, gak semua punya tempat buat curhat atau sistem pendukung yang kuat. Akhirnya, media sosial dijadikan teman pelarian. Tapi, pelarian yang sifatnya sementara ini gak nyelesain masalah, justru sering bikin makin jauh dari realitas.

 

Belum lagi soal solidaritas dan hubungan sosial. Mahasiswa itu dulu identik sama semangat kolektif, diskusi panjang sampai tengah malam, aksi turun ke jalan, dan budaya berpikir kritis. Tapi kenyataannya sekarang banyak yang lebih aktif di kolom komentar TikTok daripada di forum kampus. Bukan berarti semua harus jadi aktivis, tapi fenomena ini nunjukin kalau interaksi sosial langsung makin dikalahkan sama budaya digital yang serba instan.

 

Kalau diamati, mahasiswa zaman sekarang juga mengalami semacam krisis identitas produktivitas. Di satu sisi, dituntut buat produktif, aktif, dan serba bisa. Tapi di sisi lain, tergoda buat leha-leha karena akses hiburan begitu gampang. Banyak yang terjebak di antara dua kutub ini, katanya pengen maju, tapi gak tau harus mulai dari mana. Akhirnya, yang dilakukan ya cuma satu scroll TikTok, sambil berharap mood ngerjain tugas datang entah dari mana.

 

Tapi apakah semua ini salah TikTok? Enggak juga. TikTok itu cuma alat. Masalah utamanya ada di manajemen diri. Kita kadang gak sadar kalau waktu 15 menit yang hilang buat scroll video bisa berubah jadi dua jam cuma karena “satu video lagi deh”. Disiplin diri jadi tantangan terbesar di era serba digital kayak sekarang. Buat mahasiswa, penting banget buat sadar soal ini. Bukan berarti harus jadi super produktif tiap hari, tapi setidaknya bisa ngatur waktu dengan lebih bijak. Karena kuliah itu bukan cuma soal nilai, tapi juga masa depan. Dan masa depan gak bisa dibentuk dari konten-konten 60 detik yang kita tonton sebelum tidur.

 

Kalau mau mulai berubah, bisa dari hal kecil. Bikin jadwal tidur yang konsisten, matiin notifikasi TikTok sebelum tidur, kasih waktu khusus buat hiburan tanpa ganggu prioritas. Atau coba aktif di komunitas kampus, organisasi, atau ngobrol bareng teman tentang hal yang lebih bermakna dari sekadar tren FYP.

 

Karena mahasiswa itu agen perubahan, bukan cuma penonton layar. Jangan sampe kita jadi generasi yang tau semua tren, tapi lupa caranya mikir kritis. Tau semua filter viral, tapi bingung waktu disuruh ambil keputusan. Ingat, tugas emang berat, tapi masa depan bisa lebih berat kalau kita terus-terusan menjadikan “scroll TikTok” sebagai rutinitas harian tanpa arah.


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini minimal 500 kata maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.
×
Berita Terbaru Update