Notification

×

Iklan

Iklan

Mentality Demokrasi Ponorogo: Dari Rakyat, oleh Preman, untuk Kekuasaan

Senin, 02 Juni 2025 | 11.27 WIB Last Updated 2025-06-02T04:45:41Z

Achyat Daroini, S.H Fugsionaris Bidang Otonomi Daerah Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia. (Dok. Ybs 

OPINI.CO. JAKARTA - Ponorogo kembali mencatatkan luka dalam sejarah demokrasi lokalnya. Pada 30 Mei 2025, sebuah kegiatan bertajuk Panggung Rakyat: Memperingati 100 Hari Kerja Bupati, yang diinisiasi oleh Peta Project bersama berbagai elemen masyarakat, terpaksa dihentikan secara paksa. Bukan oleh aparat, bukan karena izin bermasalah, melainkan oleh aksi intimidatif dari oknum organisasi masyarakat (ormas) yang menamakan diri sebagai Pasukan Senopati dan Alap-alap.


Ironisnya, intervensi ini bukan sekadar soal kritik terhadap Monumen Reog yang disindir lewat materi stand-up comedy, melainkan lebih pada bagaimana kekuasaan lokal mengelola "mentalitas demokrasi" yang ada, demokrasi yang tampaknya hanya berlaku dari rakyat, tapi dikelola oleh preman, demi menjaga kepentingan untuk kekuasaan.

 

Kronologi kejadian bermula saat acara dibuka secara tertib dan damai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, disusul sambutan pembuka dan penampilan stand-up comedy dari salah satu komika lokal. Sekitar sepuluh menit setelah penampilan dimulai, komika menyampaikan materi satire yang mengkritik pembangunan Monumen Reog. Tidak lama kemudian, sekelompok orang dari ormas Pasukan Senopati dan Alap-alap tiba-tiba merangsek ke area depan panggung. Mereka melontarkan perkataan kasar dan penuh emosi, serta memaksa naik ke atas panggung untuk menghentikan pertunjukan. Suasana mendadak menjadi tegang dan tidak kondusif.

 

Panitia berusaha menenangkan situasi dan mengajak berdialog, namun oknum ormas tersebut tetap memaksa sambil mengintimidasi mahasiswa dan peserta yang hadir. Beberapa pengunjung terlihat diteriaki dengan nada ancaman, bahkan ada yang diikuti hingga meninggalkan lokasi. Komika yang tampil menjadi sasaran utama, diteriaki sebagai “penyusup” dan difitnah bukan berasal dari Ponorogo, sebuah bentuk pembingkaian identitas yang mengarah pada pengaburan isu sebenarnya. Atas pertimbangan keselamatan seluruh peserta, panitia akhirnya memutuskan untuk menghentikan acara lebih awal, sebelum agenda utama diskusi publik sempat dimulai.

 

Mentalitas preman yang berani menguasai ruang publik ini bukan kebetulan. Sebagaimana dikaji oleh Ian Douglas Wilson, terus bekerja di balik layar pemerintahan lokal. Dalam bukunya "The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia", Wilson menyebut bagaimana aktor-aktor informal seperti ormas sering digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membungkam kritik dan menjaga status quo. Mereka diberi ruang bertindak karena adanya jaminan politik dan "jatah" kekuasaan yang melindungi mereka dari sanksi hukum.

 

Padahal, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum jelas mengatur bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat secara lisan maupun tertulis, termasuk melalui seni pertunjukan, selama tidak melanggar hukum dan dilakukan secara damai. Apa yang dilakukan para komika dalam Panggung Rakyat jelas tidak melanggar hukum mana pun. Komedi adalah bagian dari ekspresi budaya dan demokrasi.

 

Namun, alih-alih melindungi warganya yang menyampaikan aspirasi secara sah, negara justru absen. Aparat yang seharusnya menjadi penengah dan pelindung ruang demokrasi tampak tak berdaya atau mungkin, memilih diam. Akibatnya, opini publik menjadi liar. Patung kucing kini bukan hanya menjadi bahan diskusi komedi, tetapi justru dikambinghitamkan untuk membungkam esensi Panggung Rakyat itu sendiri. Tulisan dalam banner "Panggung Rakyat adalah manifestasi dari prinsip dasar demokrasi" menjadi sangat relevan, karena kekuasaan tanpa pengawasan hanya akan membuka jalan bagi tirani.

 

Lebih lanjut, jika dikaji secara substansi, kritik yang dilontarkan bukan bertujuan menghina simbol budaya Ponorogo, melainkan menyoroti kebijakan pembangunan yang dianggap tidak relevan dengan kebutuhan mendesak masyarakat seperti jalan rusak berlubang dan beberapa gedung sekolah masih menjadi skala prioritas Masyarakat luas. Oleh karena itu kritik membangun seperti ini justru dibutuhkan dalam demokrasi agar pembangunan tidak berjalan di atas pujian kosong, tetapi dikawal oleh aspirasi rakyat.

 

Peristiwa ini menandai mentalitas demokrasi lokal yang semakin jauh dari idealisme, dimana kekuasaan dipertahankan bukan oleh legitimasi rakyat, melainkan oleh kekuatan intimidasi dan premanisme yang terselubung dalam kedok ormas. Ketika mentalitas ini yang dominan, maka bukan demokrasi yang kita saksikan, melainkan feodalisme baru dalam balutan wajah sipil.

 

Demokrasi Ponorogo, dalam praktiknya, bukan lagi "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat," melainkan “dari rakyat, oleh preman, untuk kekuasaan.” Dan mentalitas ini adalah tantangan terbesar yang harus dihadapi untuk menyelamatkan ruang partisipasi demokrasi yang sehat dan inklusif di masa depan.

 

*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.


×
Berita Terbaru Update