![]() |
Achyat Daroini, S.H Fugsionaris Bidang Otonomi Daerah Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia. (Dok. Ybs |
Ironisnya, intervensi ini bukan sekadar soal kritik terhadap
Monumen Reog yang disindir lewat materi stand-up comedy, melainkan lebih pada
bagaimana kekuasaan lokal mengelola "mentalitas demokrasi" yang ada,
demokrasi yang tampaknya hanya berlaku dari rakyat, tapi dikelola oleh preman,
demi menjaga kepentingan untuk kekuasaan.
Kronologi kejadian bermula saat acara dibuka secara tertib
dan damai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, disusul sambutan pembuka dan
penampilan stand-up comedy dari salah satu komika lokal. Sekitar sepuluh menit
setelah penampilan dimulai, komika menyampaikan materi satire yang mengkritik
pembangunan Monumen Reog. Tidak lama kemudian, sekelompok orang dari ormas
Pasukan Senopati dan Alap-alap tiba-tiba merangsek ke area depan panggung.
Mereka melontarkan perkataan kasar dan penuh emosi, serta memaksa naik ke atas
panggung untuk menghentikan pertunjukan. Suasana mendadak menjadi tegang dan
tidak kondusif.
Panitia berusaha menenangkan situasi dan mengajak berdialog,
namun oknum ormas tersebut tetap memaksa sambil mengintimidasi mahasiswa dan
peserta yang hadir. Beberapa pengunjung terlihat diteriaki dengan nada ancaman,
bahkan ada yang diikuti hingga meninggalkan lokasi. Komika yang tampil menjadi
sasaran utama, diteriaki sebagai “penyusup” dan difitnah bukan berasal dari
Ponorogo, sebuah bentuk pembingkaian identitas yang mengarah pada pengaburan
isu sebenarnya. Atas pertimbangan keselamatan seluruh peserta, panitia akhirnya
memutuskan untuk menghentikan acara lebih awal, sebelum agenda utama diskusi
publik sempat dimulai.
Mentalitas preman yang berani menguasai ruang publik ini
bukan kebetulan. Sebagaimana dikaji oleh Ian Douglas Wilson, terus bekerja di
balik layar pemerintahan lokal. Dalam bukunya "The Politics of Protection
Rackets in Post-New Order Indonesia", Wilson menyebut bagaimana
aktor-aktor informal seperti ormas sering digunakan sebagai alat kekuasaan
untuk membungkam kritik dan menjaga status quo. Mereka diberi ruang bertindak
karena adanya jaminan politik dan "jatah" kekuasaan yang melindungi
mereka dari sanksi hukum.
Padahal, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum jelas mengatur bahwa setiap
warga negara berhak menyampaikan pendapat secara lisan maupun tertulis,
termasuk melalui seni pertunjukan, selama tidak melanggar hukum dan dilakukan
secara damai. Apa yang dilakukan para komika dalam Panggung Rakyat jelas tidak
melanggar hukum mana pun. Komedi adalah bagian dari ekspresi budaya dan
demokrasi.
Namun, alih-alih melindungi warganya yang menyampaikan
aspirasi secara sah, negara justru absen. Aparat yang seharusnya menjadi
penengah dan pelindung ruang demokrasi tampak tak berdaya atau mungkin, memilih
diam. Akibatnya, opini publik menjadi liar. Patung kucing kini bukan hanya
menjadi bahan diskusi komedi, tetapi justru dikambinghitamkan untuk membungkam
esensi Panggung Rakyat itu sendiri. Tulisan dalam banner "Panggung Rakyat
adalah manifestasi dari prinsip dasar demokrasi" menjadi sangat relevan,
karena kekuasaan tanpa pengawasan hanya akan membuka jalan bagi tirani.
Lebih lanjut, jika dikaji secara substansi, kritik yang
dilontarkan bukan bertujuan menghina simbol budaya Ponorogo, melainkan
menyoroti kebijakan pembangunan yang dianggap tidak relevan dengan kebutuhan
mendesak masyarakat seperti jalan rusak berlubang dan beberapa gedung sekolah
masih menjadi skala prioritas Masyarakat luas. Oleh karena itu kritik membangun
seperti ini justru dibutuhkan dalam demokrasi agar pembangunan tidak berjalan
di atas pujian kosong, tetapi dikawal oleh aspirasi rakyat.
Peristiwa ini menandai mentalitas demokrasi lokal yang
semakin jauh dari idealisme, dimana kekuasaan dipertahankan bukan oleh
legitimasi rakyat, melainkan oleh kekuatan intimidasi dan premanisme yang
terselubung dalam kedok ormas. Ketika mentalitas ini yang dominan, maka bukan
demokrasi yang kita saksikan, melainkan feodalisme baru dalam balutan wajah
sipil.
Demokrasi Ponorogo, dalam praktiknya, bukan lagi "dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat," melainkan “dari rakyat, oleh preman,
untuk kekuasaan.” Dan mentalitas ini adalah tantangan terbesar yang harus
dihadapi untuk menyelamatkan ruang partisipasi demokrasi yang sehat dan
inklusif di masa depan.