Notification

×

Iklan

Iklan

Memahami Polemik Nasab Ba`Alawi dalam Perspektif Hegelian (Bagian 2)

Senin, 02 Juni 2025 | 11.33 WIB Last Updated 2025-06-02T05:57:20Z

Oleh: Buhori Mahasiswa Doktoral UIN Malang, Awardee BIP-LPDP Kemenag Angkatan Pertama. (Dok. Istimewa)

OPINI.CO. PONTIANAK - Pada bagian kedua ini, saya ingin lebih menyoroti tiga hal terkait dialektika Hegelian dalam konteks polemik nasab Ba`Alawi. Pertama, terkait antitesis: sejauh mana sebuah ide atau gagasan dapat disebut sebagai antitesis, apakah semua ide subversif otomatis layak menyandang label tersebut, dan apakah gagasan subversif Kiai Imaduddin telah memenuhi syarat sebagai antitesis? Kedua, tentang sintesis: kapan sintesis itu terbentuk, kapan ia dianggap ajeg atau mapan, dan apakah polemik nasab ini telah mencapai tahap tersebut? Ketiga, mengenai dialektika aktif—yakni fase sebelum sintesis tercipta, yang ditandai dengan adanya konflik gagasan antara kelompok pembela otoritas nasab dan kelompok subversif yang menentangnya.


Untuk menulis dan menata ulang ide-ide itu, sejak awal saya sudah memperkirakan akan punya cukup waktu di bandara Juanda, Surabaya, sambil menunggu keberangkatan Pesawat ke Pontianak. Setibanya di Bandara Juanda, setelah menyelesaikan proses check-in dan mendapatkan boarding pass, saya langsung mencari co-working space; fasilitas khusus yang disediakan pihak bandara untuk memungkinkan penumpang bekerja dengan nyaman sambil menunggu waktu keberangkatan pesawat. Sampai di lokasi yang dituju, saya langsung buka laptop, cari-cari sumber dan mulai menuangkan ide-ide dalam bentuk coretan sederhana.

 

Apakah Gagasan Subversif Kiyai Imad layak disebut Antitesis?

 

Dalam teori dialektika Hegel, antitesis adalah respons kritis terhadap tesis. Ia bukan hanya sekedar kritik, tapi merupakan konsekuensi logis atau dialektis dari tesis. Antitesis bertujuan bukan sekadar untuk membatalkan tesis, melainkan membawa pada sintesis yang lebih tinggi, atau membuka jalan menuju perumusan nilai atau pemahaman baru yang lebih matang. Penitng dicatat, bahwa antitesis bukan hanya ide yang “berseberangan” atau “melawan”, tapi yang punya daya reflektif terhadap tesis itu sendiri, meskipun dalam wujud konflik.

 

Apakah semua ide subversif bisa disebut antitesis? Tentu tidak. Tidak semua gagasan subversif atau ide tandingan otomatis bisa disebut antitesis dalam pengertian Hegelian. Antitesis harus berangkat dari konteks tesis dan menunjukkan ketegangan internal dalam tesis itu, ia juga harus mampu memberikan argumen rasional atau historis  dan mampu mendorong ke arah pemahaman baru atau transformasi nilai.

 

Saya coba berikan contoh sederhana. Dalam ajaran Islam, zina mutlak haram, melanggar perintah Tuhan dan memiliki konsekwensi hukum yang jelas. Ini adalah tesis teologis dan normatif yang ajeg dalam Islam. Selanjutnya misalnya muncul ide atau gagasan subversif; “zina boleh, asal dilakukan suka sama suka, dan tidak ada paksaan.” Lantas,  Apakah ide atau gagasan tersebut dapat disebut antitesis ? Dalam konteks dialektika Hegel, tentu bukan. Mengapa ? sebab gagasan ini tidak lahir dari dialektika internal terhadap tesis Islam, tapi diimpor dari sistem nilai lain (liberalisme sekuler, relativisme moral) dan tidak ada argumen filosofis-teologis yang kuat yang digunakan untuk menyanggah atau mengoreksi dalil Islam secara dialektis.

 

Berikutnya, dalam konteks polemik nasab, apakah gagasan subversif yang dibawa Kiyai Imad, dkk dapat disebut sebagai antitesis? Mari kita mencoba untuk mengelaborasinya.

 

Kiyai Imad muncul dengan kritik historis-genealogis terhadap nasab Ba`Alawi, dengan menyatakan; “klaim bahwa Ubaidillah bin Ahmad bin Isa (leluhur klan Ba `Alawi) merupakan bagian dari dzurriyah Nabi Muhammad saw, tidak memiliki dasar historis yang kuat, dan baru dikonstruksi ratusan tahun setelah masa hidupnya. Dengan demikian, nasab ba` Alawi tidak bersambung kepada nabi Muhammad saw”.

 

Berdasarkan proposisi penelitian yang disampaikan kiyai Imad tersebut, kita dapat melihat beberapa poinl; 1) ide yang disampaikan bersifat subversif, menantang fondasi identitas kelompok yang sangat dihormati, 2) membuka ruang debat, bukan hanya tentang nasab, tapi juga tentang relasi antara kekuasaan, identitas, dan legitimasi sosial, dan 3) ini yang paling urgen;  apa yang disampaikan bukan sekadar “pepesan” kosong, tetapi disertai dengan klaim historis, penelaahan kitab-kitab nasab, dan bahkan runtutan kronologis dan historiografi. Oleh sebab itu, membuatnya layak disebut antitesis dalam kerangka Hegelian.

 

Apakah Polemik Nasab ini Sudah Menghasilkan Sintesis ?

 

Dalam dialektika Hegel, sintesis tidak muncul secara instan. Ia lahir melalui konflik, ketegangan, dan negosiasi antara tesis dan antitesis. Sintesis muncul bila dua kutub ini mencapai titik jenuh, masyarakat atau wacana mulai menemukan titik temu, memahami kekuatan dan kelemahan kedua sisi (tesis dan antitesis), dan melahirkan pemahaman baru yang mengakomodasi keduanya secara lebih utuh dengan menciptakan pemahaman yang lebih kompleks dan holistik.  Sintesis dianggap ajeg (stabil atau mapan secara sementara) ketika ia telah diterima secara luas sebagai pemahaman baru yang dominan atau membentuk norma baru dalam masyarakat atau wacana keilmuan, dan selanjutnya menjadi “tesis baru” ketika ia mulai membentuk sistem nilai atau struktur sosial baru yang relatif diterima dan diinternalisasi oleh masyarakat.

 

Dalam konteks polemik nasab Ba‘alawi yang belum usai di Indonesia saat ini, saya melihat belum dihasilkan pemahaman yang diterima secara luas sebagai pemahaman baru. Perdebatan antar kedua kubu yang berseteru masih terus berlangsung, meski sedikit mengalami penurunan intensitas, terutama di kalangan elit mereka. Sehingga sintesis yang  ajeg belum dihasilkan secara utuh. Masa dimana masih terjadi ketegangan antara dua kubu dan negosiasi antara tesis dan sintesis, dalam dialektika hegelian, disebut dengan fase dialektika aktif atau proses terjadinya konflik dialektika.

 

Fase Dialektika Aktif

 

Pada fase ini, terjadi konflik ide dan klaim secara aktif antara dua kubu, yaitu antara tesis dan antitesis. Dialog intens berlangsung, masih terjadi proses tarik-menarik antara dua gagasan tetapi belum menghasilkan sintesis. Dalam konteks polemik nasab Ba‘alawi, kita masih menyaksikan pertarungan gagasan yang terbuka dan dinamis. Perdebatan ini tidak hanya terjadi di ruang akademik dan media sosial, tetapi juga melalui riset, buku, ceramah publik, dan debat terbuka.

 

Salah satu pemicu utama eskalasi polemik ini adalah beredarnya buku Menakar Keabsahan Nasab Habib di Indonesia karya Kiyai Imad pada tahun 2022. Buku ini memantik respons luas berupa tulisan-tulisan tandingan, baik dalam bentuk opini, artikel, maupun buku yang tersebar di berbagai media online dan sosial. Salah satu respons ilmiah yang cukup menonjol adalah tulisan Habib Hanif bin Abdurrahman berjudul Risalah Ilmiah Jawaban atas Syubhat Imaduddin Utsman Seputar Keabsahan Nasab Bani Alawi, yang ia tulis pada tahun 1444 H. Selain dalam bentuk buku, Habib Hanif juga menerbitkan artikel berseri yang memuat bantahan terhadap proposisi-proposisi Kiyai Imad.

 

Di samping Hanif, muncul pula respons yang lebih komprehensif dari Gus Rumail Abbas. Dalam menelusuri keabsahan nasab Ba‘alawi, Rumail tidak hanya merujuk pada kitab-kitab nasab yang sudah diterbitkan, tetapi juga menelaah manuskrip-manuskrip kuno yang belum dibukukan. Ia bahkan melakukan konfirmasi langsung kepada Mahdi ar-Roja‘i—pentahqiq sekaligus penemu manuskrip Asy-Syajarah al-Mubārakah karya Fakhruddin ar-Rāzi—yang menjadi salah satu rujukan utama Kiyai Imad dalam membatalkan nasab Ba‘alawi. Tak hanya itu, Rumail juga melakukan perjalanan dan komunikasi langsung dengan sejumlah naqabah (pencatat nasab) di berbagai negara. Bantahan resmi dan terbilang komprehensif dari kalangan Ba‘alawi dituangkan dalam buku berjudul Keabsahan Nasab Ba‘Alawi: Membongkar Penyimpangan Pembatalannya, yang ditulis oleh Tim Pengawal Persatuan Ummat, terdiri dari Muhammad Hanif, Rumail Abbas, M. Fuad A. Wafi, dan lainnya, pada tahun 2024.

 

Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan, tentu masih banyak tulisan lain yang mengkritik antitesis Kiyai Imad dan timnya. Namun, tidak semuanya dapat diulas secara lengkap di sini.

 

Lantas, apakah kelompok yang mendukung antitesis hanya diam? Tentu tidak. Bantahan dan adu gagasan dari pihak Kiyai Imad masih terus berlangsung hingga kini. Ia dan timnya secara konsisten menerbitkan berbagai tulisan subversif, baik dalam bentuk buku maupun artikel yang disebarluaskan melalui media sosial dan platform daring. Beberapa judul yang mencolok antara lain: Membongkar Skandal Ilmiyah Sejarah dan Genealogi Ba‘alwi, Metode Menetapkan Nasab Menurut Kitab Rasa'il fi Ilm al-Ansab, Literatur Kitab-Kitab Nasab Abad Ke-3–13 Hijriyah: Bukti Terputusnya Nasab Ba‘alwi, dan Manuskrip-Manuskrip Palsu Ba‘Alawi Versi Rumail Abbas. Bahkan, baru-baru ini Kiyai Imad menerbitkan buku berbahasa Arab berjudul Minhāj an-Nassābīn fī Ibthāli Nasabi Bā‘Alawi. Meski demikian, beberapa isi buku tersebut masih tampak mengulang data dari karya-karya sebelumnya. Adu argumen dan gagasan seperti ini, dalam kerangka dialektika Hegelian, merupakan tahap krusial menuju sintesis, yaitu saat masyarakat Muslim merumuskan kembali makna kehormatan dan otoritas spiritual.

 

Kembali pada polemik nasab Ba`alawi yang masih berlangsung, apakah dialektika Hegelian hanya mampu menggambarkan proses ketegangan dan adu gagasan antara tesis dan antitesis? Jawabannya tidak. Dialektika Hegelian juga berfungsi sebagai pisau analisis kritis untuk mengevaluasi dan menakar argumen pada kedua sisi, yakni tesis dan antitesis. Bagaimana pola kerja dialektika ini dan hasil yang dapat diperoleh? Simak kelanjutan tulisan berikutnya.

 

*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.
×
Berita Terbaru Update