![]() |
Oleh: Buhori Mahasiswa Doktoral UIN Malang, Awardee BIP-LPDP Kemenag Angkatan Pertama. (Dok. Istimewa) |
Untuk menulis dan menata ulang
ide-ide itu, sejak awal saya sudah memperkirakan akan punya cukup waktu di
bandara Juanda, Surabaya, sambil menunggu keberangkatan Pesawat ke Pontianak.
Setibanya di Bandara Juanda, setelah menyelesaikan proses check-in dan
mendapatkan boarding pass, saya langsung mencari co-working space;
fasilitas khusus yang disediakan pihak bandara untuk memungkinkan penumpang
bekerja dengan nyaman sambil menunggu waktu keberangkatan pesawat. Sampai di
lokasi yang dituju, saya langsung buka laptop, cari-cari sumber dan mulai
menuangkan ide-ide dalam bentuk coretan sederhana.
Apakah Gagasan Subversif Kiyai
Imad layak disebut Antitesis?
Dalam teori
dialektika Hegel, antitesis adalah respons kritis terhadap tesis. Ia bukan
hanya sekedar kritik, tapi merupakan konsekuensi logis atau dialektis dari
tesis. Antitesis bertujuan bukan sekadar untuk membatalkan tesis, melainkan
membawa pada sintesis yang lebih tinggi, atau membuka jalan menuju perumusan
nilai atau pemahaman baru yang lebih matang. Penitng dicatat, bahwa antitesis
bukan hanya ide yang “berseberangan” atau “melawan”, tapi yang punya daya
reflektif terhadap tesis itu sendiri, meskipun dalam wujud konflik.
Apakah
semua ide subversif bisa disebut antitesis? Tentu tidak. Tidak semua gagasan
subversif atau ide tandingan otomatis bisa disebut antitesis dalam pengertian
Hegelian. Antitesis harus berangkat dari konteks tesis dan menunjukkan
ketegangan internal dalam tesis itu, ia juga harus mampu memberikan argumen
rasional atau historis dan mampu
mendorong ke arah pemahaman baru atau transformasi nilai.
Saya coba
berikan contoh sederhana. Dalam ajaran Islam, zina mutlak haram, melanggar
perintah Tuhan dan memiliki konsekwensi hukum yang jelas. Ini adalah tesis
teologis dan normatif yang ajeg dalam Islam. Selanjutnya misalnya muncul
ide atau gagasan subversif; “zina boleh, asal dilakukan suka sama suka, dan
tidak ada paksaan.” Lantas, Apakah ide
atau gagasan tersebut dapat disebut antitesis ? Dalam konteks dialektika Hegel,
tentu bukan. Mengapa ? sebab gagasan ini tidak lahir dari dialektika internal
terhadap tesis Islam, tapi diimpor dari sistem nilai lain (liberalisme sekuler,
relativisme moral) dan tidak ada argumen filosofis-teologis yang kuat yang
digunakan untuk menyanggah atau mengoreksi dalil Islam secara dialektis.
Berikutnya,
dalam konteks polemik nasab, apakah gagasan subversif yang dibawa Kiyai Imad,
dkk dapat disebut sebagai antitesis? Mari kita mencoba untuk mengelaborasinya.
Kiyai Imad
muncul dengan kritik historis-genealogis terhadap nasab Ba`Alawi, dengan
menyatakan; “klaim bahwa Ubaidillah bin Ahmad bin Isa (leluhur klan Ba `Alawi) merupakan
bagian dari dzurriyah Nabi Muhammad saw, tidak memiliki dasar historis yang
kuat, dan baru dikonstruksi ratusan tahun setelah masa hidupnya. Dengan
demikian, nasab ba` Alawi tidak bersambung kepada nabi Muhammad saw”.
Berdasarkan
proposisi penelitian yang disampaikan kiyai Imad tersebut, kita dapat melihat
beberapa poinl; 1) ide yang disampaikan bersifat subversif, menantang fondasi
identitas kelompok yang sangat dihormati, 2) membuka ruang debat, bukan hanya
tentang nasab, tapi juga tentang relasi antara kekuasaan, identitas, dan
legitimasi sosial, dan 3) ini yang paling urgen; apa yang disampaikan bukan sekadar “pepesan”
kosong, tetapi disertai dengan klaim historis, penelaahan kitab-kitab nasab,
dan bahkan runtutan kronologis dan historiografi. Oleh sebab itu, membuatnya
layak disebut antitesis dalam kerangka Hegelian.
Apakah
Polemik Nasab ini Sudah Menghasilkan Sintesis ?
Dalam
dialektika Hegel, sintesis tidak muncul secara instan. Ia lahir melalui
konflik, ketegangan, dan negosiasi antara tesis dan antitesis. Sintesis muncul bila
dua kutub ini mencapai titik jenuh, masyarakat atau wacana mulai menemukan
titik temu, memahami kekuatan dan kelemahan kedua sisi (tesis dan antitesis),
dan melahirkan pemahaman baru yang mengakomodasi keduanya secara lebih utuh
dengan menciptakan pemahaman yang lebih kompleks dan holistik. Sintesis dianggap ajeg (stabil atau mapan
secara sementara) ketika ia telah diterima secara luas sebagai pemahaman baru
yang dominan atau membentuk norma baru dalam masyarakat atau wacana keilmuan,
dan selanjutnya menjadi “tesis baru” ketika ia mulai membentuk sistem nilai
atau struktur sosial baru yang relatif diterima dan diinternalisasi oleh
masyarakat.
Dalam
konteks polemik nasab Ba‘alawi yang belum usai di Indonesia saat ini, saya
melihat belum dihasilkan pemahaman yang diterima secara luas sebagai pemahaman
baru. Perdebatan antar kedua kubu yang berseteru masih terus berlangsung, meski
sedikit mengalami penurunan intensitas, terutama di kalangan elit mereka.
Sehingga sintesis yang ajeg belum
dihasilkan secara utuh. Masa dimana masih terjadi ketegangan antara dua kubu
dan negosiasi antara tesis dan sintesis, dalam dialektika hegelian, disebut
dengan fase dialektika aktif atau proses terjadinya konflik dialektika.
Fase Dialektika
Aktif
Pada fase
ini, terjadi konflik ide dan klaim secara aktif antara dua kubu, yaitu antara
tesis dan antitesis. Dialog intens berlangsung, masih terjadi proses
tarik-menarik antara dua gagasan tetapi belum menghasilkan sintesis. Dalam
konteks polemik nasab Ba‘alawi, kita masih menyaksikan pertarungan gagasan yang
terbuka dan dinamis. Perdebatan ini tidak hanya terjadi di ruang akademik dan
media sosial, tetapi juga melalui riset, buku, ceramah publik, dan debat
terbuka.
Salah satu
pemicu utama eskalasi polemik ini adalah beredarnya buku Menakar Keabsahan
Nasab Habib di Indonesia karya Kiyai Imad pada tahun 2022. Buku ini
memantik respons luas berupa tulisan-tulisan tandingan, baik dalam bentuk
opini, artikel, maupun buku yang tersebar di berbagai media online dan sosial.
Salah satu respons ilmiah yang cukup menonjol adalah tulisan Habib Hanif bin
Abdurrahman berjudul Risalah Ilmiah Jawaban atas Syubhat Imaduddin Utsman
Seputar Keabsahan Nasab Bani Alawi, yang ia tulis pada tahun 1444 H. Selain
dalam bentuk buku, Habib Hanif juga menerbitkan artikel berseri yang memuat
bantahan terhadap proposisi-proposisi Kiyai Imad.
Di samping
Hanif, muncul pula respons yang lebih komprehensif dari Gus Rumail Abbas. Dalam
menelusuri keabsahan nasab Ba‘alawi, Rumail tidak hanya merujuk pada
kitab-kitab nasab yang sudah diterbitkan, tetapi juga menelaah
manuskrip-manuskrip kuno yang belum dibukukan. Ia bahkan melakukan konfirmasi
langsung kepada Mahdi ar-Roja‘i—pentahqiq sekaligus penemu manuskrip Asy-Syajarah
al-Mubārakah karya Fakhruddin ar-Rāzi—yang menjadi salah satu rujukan utama
Kiyai Imad dalam membatalkan nasab Ba‘alawi. Tak hanya itu, Rumail juga
melakukan perjalanan dan komunikasi langsung dengan sejumlah naqabah (pencatat
nasab) di berbagai negara. Bantahan resmi dan terbilang komprehensif dari
kalangan Ba‘alawi dituangkan dalam buku berjudul Keabsahan Nasab Ba‘Alawi:
Membongkar Penyimpangan Pembatalannya, yang ditulis oleh Tim Pengawal
Persatuan Ummat, terdiri dari Muhammad Hanif, Rumail Abbas, M. Fuad A. Wafi,
dan lainnya, pada tahun 2024.
Selain
tokoh-tokoh yang telah disebutkan, tentu masih banyak tulisan lain yang
mengkritik antitesis Kiyai Imad dan timnya. Namun, tidak semuanya dapat diulas
secara lengkap di sini.
Lantas,
apakah kelompok yang mendukung antitesis hanya diam? Tentu tidak. Bantahan dan
adu gagasan dari pihak Kiyai Imad masih terus berlangsung hingga kini. Ia dan
timnya secara konsisten menerbitkan berbagai tulisan subversif, baik dalam
bentuk buku maupun artikel yang disebarluaskan melalui media sosial dan
platform daring. Beberapa judul yang mencolok antara lain: Membongkar
Skandal Ilmiyah Sejarah dan Genealogi Ba‘alwi, Metode Menetapkan Nasab
Menurut Kitab Rasa'il fi Ilm al-Ansab, Literatur Kitab-Kitab Nasab Abad
Ke-3–13 Hijriyah: Bukti Terputusnya Nasab Ba‘alwi, dan Manuskrip-Manuskrip
Palsu Ba‘Alawi Versi Rumail Abbas. Bahkan, baru-baru ini Kiyai Imad
menerbitkan buku berbahasa Arab berjudul Minhāj an-Nassābīn fī Ibthāli
Nasabi Bā‘Alawi. Meski demikian, beberapa isi buku tersebut masih tampak
mengulang data dari karya-karya sebelumnya. Adu argumen dan gagasan seperti
ini, dalam kerangka dialektika Hegelian, merupakan tahap krusial menuju
sintesis, yaitu saat masyarakat Muslim merumuskan kembali makna kehormatan dan
otoritas spiritual.
Kembali pada polemik nasab
Ba`alawi yang masih berlangsung, apakah dialektika Hegelian hanya mampu menggambarkan
proses ketegangan dan adu gagasan antara tesis dan antitesis? Jawabannya tidak.
Dialektika Hegelian juga berfungsi sebagai pisau analisis kritis untuk
mengevaluasi dan menakar argumen pada kedua sisi, yakni tesis dan antitesis.
Bagaimana pola kerja dialektika ini dan hasil yang dapat diperoleh? Simak
kelanjutan tulisan berikutnya.