Buhori Mahasiswa Doktoral UIN Malang, Awardee BIB-LPDP Kemenag Angkatan Pertama. (Dok. Istimewa)
Di tengah keseriusan menulis laporan penelitian yang masih menyisakan
kekurangan data di beberapa bagian, saya mencoba mengambil jeda dengan
melakukan “istirahat aktif” melalui penulisan catatan ringan mengenai polemik
nasab yang cukup menarik perhatian. Sekilas, tema yang diangkat dalam tulisan
ini mungkin terkesan serius, bahkan cenderung akademis, apalagi dengan
menyelipkan perspektif Hegelian, pemikiran seorang filsuf Jerman abad ke-19.
Namun demikian, pembaca tidak perlu merasa terintimidasi oleh judul atau
istilah yang digunakan, nyantai saja dan tak perlu terlalu serius.
Tulisan ini juga saya rancang berseri, meskipun saya sendiri belum dapat
memastikan akan berapa panjang serinya. Bisa satu dua bagian saja, atau mungkin
berlanjut tergantung situasi dan inspirasi. Secara pribadi, saya tidak memposisikan
diri secara kaku dalam perdebatan dua kubu yang terus berseteru; -antara mukibbin dan mukimad-.
Saya lebih nyaman menjadi seorang mukmin yang mencintai seorang mukminat;
sebuah posisi yang, menurut saya, cukup aman dan menenangkan.
Klan Ba ‘Alawi yang menjadi sorotan di sini adalah kelompok keturunan
dari jalur Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir, yang berasal dari
Hadhramaut, Yaman, dan telah menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam—termasuk
Indonesia. Di Indonesia, mereka kerap disebut sebagai habib (bentuk jamaknya:
habaib), atau syarif/syarifah dan sayyid/sayyidah. Pada sebagian komunitas
muslim, kelompok ini kerap diposisikan sebagai orang-orang yang dimuliakan
karena dianggap membawa “darah” Nabi. Penghormatan terhadap mereka tidak hanya
hadir dalam konteks spiritual dan sosial, tetapi juga dalam ranah otoritas
keagamaan dan bahkan—dalam beberapa kasus— dalam ranah politik.
Awal Kemunculan Polemik Nasab
Polemik mengenai nasab Ba ‘Alawi di Indonesia mencuat ke publik pasca-munculnya
sebuah “tesis” yang mengguncang keyakinan lama. Di Indonesia, tesis tersebut
pertama kali diperkenalkan oleh KH. Imaduddin Al-Bantani melalui bukunya yang
berjudul Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia, yang mulai tersebar
sejak tahun 2022. Pada tahun 2023, Kiai Imaduddin kembali menerbitkan buku
dengan judul yang lebih tegas, Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad
SAW. Dalam berbagai tulisan, baik buku, opini, maupun artikel yang
dipublikasikan di media online dan media sosial, ia mengklaim bahwa nasab Ba
‘Alawi tidak valid dan bahkan tidak bersambung kepada Nabi Muhammad SAW.
Menurut Kiai Imaduddin, tidak ada satu pun kitab nasab dari abad ke-5
hingga ke-7 Hijriyah yang mereposrtase nama Ubaidillah -ayah dari ‘Alawi
(leluhur para habaib di Indonesia)-, dan menyebutnya sebagai putra Ahmad bin
Isa al-Muhājir.
Klaim bahwa Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa—dan bahwa ‘Alawi adalah
cucunya—baru muncul pada abad ke-8 Hijriyah, tepatnya dalam kitab Al-Sulūk
fī Ṭabaqāt al-‘Ulamā’ wa al-Mulūk karya Al-Qadhi Abu Abdillah Bahauddin
Muhammad bin Yusuf bin Ya’qub (w. 730/731–732 H), dan yang menarik, nama yang
digunakan adalah Abdullah, bukan Ubaidillah.
Lebih jauh lagi, nama Ubaidillah sebagai putra Ahmad bin Isa secara
eksplisit baru tercatat dalam literatur abad ke-9 Hijriyah, khususnya dalam
kitab Al-Burqatul Musyīqoh karya Habib Ali bin Abu Bakar as-Syakrān (w.
895 H), yaitu sekitar 650 tahun setelah wafatnya Ahmad bin Isa. Kiai Imaduddin
menilai fakta ini sebagai konstruksi historis yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sanad karena tidak muttasil (bersambung). Baginya,
klaim nasab Ba ‘Alawi lebih mirip rekonstruksi belakangan yang bersifat politik
dan sosial, bukan historis.
Namun, penting untuk dicatat bahwa secara pribadi saya berkeyakinan bahwa gagasan Kiai Imaduddin bukanlah pemikiran orisinal sepenuhnya. Ia sebenarnya merefleksikan resonansi kritik-kritik yang sebelumnya sudah muncul dari tokoh-tokoh seperti Syaikh Murad Sykri dan Syaikh Muqbil al-Wad`iy, yang juga mempertanyakan legitimasi nasab para habaib Ba ‘Alawi. Keterkaitan pemikiran ini dapat ditemukan dalam tulisan mereka yang tersebar di berbagai media, termasuk buku karya Syaikh Murad Syukri, Al-Ithāf dan Quraish Fi al-Urdun. Kedua buku tersebut sudah lama beredar jauh sebelum polemik nasab merebak di Indonesia, dan dalam tulisan-tulisan itu kita dapat menemukan titik temu dengan pemikiran Kiai Imaduddin.
Terlepas dari orisinalitas ide dan data yang disajikan, saya menilai
bahwa munculnya polemik nasab ini sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang saling berkelindan satu sama lain, baik faktor sosial, politik, maupun
keagamaan. Pada seri berikutnya, saya akan mencoba “menerka-nerka”
faktor-faktor tersebut dengan pendekatan dan teori-teori sosial yang relevan
untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif.
Dialektika Hegel: Tesis, Antitesis, dan Sintesis
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, filsuf Jerman abad ke-19, meyakini bahwa segala realitas dan perkembangan pemikiran manusia bergerak melalui proses dialektika—yakni benturan antara ide awal (tesis) dengan ide penentang (antitesis), yang pada akhirnya melahirkan pemahaman baru (sintesis). Tesis adalah ide awal atau kondisi dominan yang telah mapan dalam masyarakat atau sejarah. Ia adalah status quo, gagasan yang telah diterima secara luas, dianggap benar, dan membentuk struktur sosial dan pemahaman umum pada suatu masa. Antitesis adalah ide yang muncul untuk menantang tesis. Ia adalah respons kritis terhadap pemikiran dominan, yang sering kali dianggap “mengganggu” atau “membongkar tradisi. Sedangkan sintesis dalam dialektika Hegel adalah pemahaman baru yang melampaui benturan antara tesis dan antitesis. Ia bukan sekadar kompromi, melainkan penggabungan dan pengembangan gagasan baru yang lebih tinggi dari dua gagasan sebelumnya.
Bagaimana sebenarnya cara kerja dialektika Hegel ini jika diterapkan dalam konteks polemik nasab Ba ‘Alawi? Secara sederhana, langkah-langkah kerjanya dapat digambarkan sebagai berikut:
Tesis dalam konteks ini adalah keyakinan kolektif yang telah mapan dalam masyarakat Muslim Indonesia (dan bahkan dunia Islam) bahwa kalangan Ba ‘Alawi (Habaib) adalah dzurriyah Nabi Muhammad SAW melalui jalur Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Keyakinan ini telah lama diterima tanpa banyak pertanyaan dan menjadi status quo. Ia dilembagakan melalui misalnya penggunaan gelar khusus (Habib/Syarif/Sayyid/Sayyid), praktik kafa’ah dalam pernikahan dan penghormatan dalam otoritas keagamaan.
Antitesis adalah pandangan Kiyai Imaduddin yang menentang status quo di atas, bahwa “Nasab Ba ‘Alawi tidak muttasil kepada Nabi; tidak sahih secara sanad, dan merupakan hasil konstruksi historis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sintesis, yang masih dalam proses terbentuk, adalah upaya
masyarakat untuk mencari jalan tengah: bisa jadi dengan menghargai warisan
sejarah dan kontribusi para habib, namun sekaligus menolak pola-pola feodalisme
nasab yang bertentangan dengan prinsip egalitarianisme Islam. Hegel
sendiri tidak menganggap sintesis sebagai titik akhir. Sintesis itu kelak bisa
menjadi tesis baru, yang kemudian akan dikritik lagi, dan melahirkan sintesis
baru berikutnya. Artinya, polemik Ba ‘Alawi ini tidak akan “selesai” dalam arti
mutlak—tapi akan terus berkembang dalam ruang diskursus yang lebih dewasa.
Dengan demikian, dalam perspektif Hegelian, ide-ide dan pemikiran Kiyai
Imaduddin terkait keabsahan nasab Ba `Alawi bukanlah disebut dengan tesis,
melainkan lebih tepat disebut sebagai antitesis. Pemikiran kiyai Imad ini bukanlah
“ide mapan”, tapi gagasan kontroversial dan subversif terhadap status quo. Ia
membongkar legitimasi yang telah diterima luas dan karena itu menimbulkan
reaksi keras dari komunitas yang merasa diserang. Namun demikian dalam konteks
akademik atau debat ilmiah biasa, kita sah-sah saja menyebut pandangan Kiyai
Imaduddin tersebut sebagai “tesis penelitian” karena ia membawa proposisi baru.
Tapi dalam kerangka dialektika Hegel, yang selalu dimulai dari kondisi sosial
yang mapan, gagasan pembongkaran terhadap status quo adalah antitesis.
Jadi jika ada kelompok atau orang-orang yang masih mempertanyakan,
apakah tulisan atau karya kiyai Imad yang menentang status quo itu layak
disebut “tesis” ?, kalau disebut tesis, siapa pembimbing dan siapa pengujiya ?
maka bisa dipastikan bahwa emahaman mereka tentang tesis masih sebatas tesis
sebagai tugas akhir di jenjang Strata 2, dan mereka belum berselancar jauh dan
belum berkenalan dengan dialektika Hegel.
Bersambung