Notification

×

Iklan

Iklan

Tesis, Antitesis dan Sintesis; Membaca Polemik Nasab Ba`Alawi dengan Perspektif Hegelian

Sabtu, 31 Mei 2025 | 16.14 WIB Last Updated 2025-05-31T09:14:53Z

Buhori Mahasiswa Doktoral UIN Malang, Awardee BIB-LPDP Kemenag Angkatan Pertama. (Dok. Istimewa)

OPINI.CO. PONTIANAK - Polemik tentang nasab Ba ‘Alawi di Indonesia tampaknya tak kunjung usai. Sekitar tiga tahun terakhir, isu ini terus menjadi perbincangan hangat di ruang-ruang publik, baik di dunia nyata maupun jagat maya. Bahkan tak jarang, perbincangan yang muncul berujung pada perdebatan panas. Setiap kali redup, selalu ada percikan baru yang membuatnya menyala kembali, entah dalam bentuk tulisan panjang di media sosial, diskusi panas di YouTube, atau perdebatan antar pendukung dan penentang di kolom komentar. Isunya tetap sama: benarkah para habaib yang mengaku sebagai dzurriyah Nabi Muhammad SAW. benar-benar memiliki silsilah yang otentik dan tersambung secara historis? Seperti biasa, respons masyarakat pun terbelah menjadi dua kubu besar: pro dan kontra. Masing-masing memiliki pendukung fanatik, tak ubahnya suporter klub sepak bola. Bahkan, mereka sampai saling memberi julukan satu sama lain. Sebutan “Mukibbin” dilekatkan pada kelompok yang setia membela Ba ‘Alawi, sedangkan “Mukimad” ditujukan bagi para pendukung gagasan Kiai Imad.

 

Di tengah keseriusan menulis laporan penelitian yang masih menyisakan kekurangan data di beberapa bagian, saya mencoba mengambil jeda dengan melakukan “istirahat aktif” melalui penulisan catatan ringan mengenai polemik nasab yang cukup menarik perhatian. Sekilas, tema yang diangkat dalam tulisan ini mungkin terkesan serius, bahkan cenderung akademis, apalagi dengan menyelipkan perspektif Hegelian, pemikiran seorang filsuf Jerman abad ke-19. Namun demikian, pembaca tidak perlu merasa terintimidasi oleh judul atau istilah yang digunakan, nyantai saja dan tak perlu terlalu serius. Tulisan ini juga saya rancang berseri, meskipun saya sendiri belum dapat memastikan akan berapa panjang serinya. Bisa satu dua bagian saja, atau mungkin berlanjut tergantung situasi dan inspirasi. Secara pribadi, saya tidak memposisikan diri secara kaku dalam perdebatan dua kubu yang  terus berseteru; -antara mukibbin dan mukimad-. Saya lebih nyaman menjadi seorang mukmin yang mencintai seorang mukminat; sebuah posisi yang, menurut saya, cukup aman dan menenangkan.

 

Klan Ba ‘Alawi yang menjadi sorotan di sini adalah kelompok keturunan dari jalur Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir, yang berasal dari Hadhramaut, Yaman, dan telah menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam—termasuk Indonesia. Di Indonesia, mereka kerap disebut sebagai habib (bentuk jamaknya: habaib), atau syarif/syarifah dan sayyid/sayyidah. Pada sebagian komunitas muslim, kelompok ini kerap diposisikan sebagai orang-orang yang dimuliakan karena dianggap membawa “darah” Nabi. Penghormatan terhadap mereka tidak hanya hadir dalam konteks spiritual dan sosial, tetapi juga dalam ranah otoritas keagamaan dan bahkan—dalam beberapa kasus— dalam ranah politik.

  

Awal Kemunculan Polemik Nasab

 

Polemik mengenai nasab Ba ‘Alawi di Indonesia mencuat ke publik pasca-munculnya sebuah “tesis” yang mengguncang keyakinan lama. Di Indonesia, tesis tersebut pertama kali diperkenalkan oleh KH. Imaduddin Al-Bantani melalui bukunya yang berjudul Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia, yang mulai tersebar sejak tahun 2022. Pada tahun 2023, Kiai Imaduddin kembali menerbitkan buku dengan judul yang lebih tegas, Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam berbagai tulisan, baik buku, opini, maupun artikel yang dipublikasikan di media online dan media sosial, ia mengklaim bahwa nasab Ba ‘Alawi tidak valid dan bahkan tidak bersambung kepada Nabi Muhammad SAW.

 

Menurut Kiai Imaduddin, tidak ada satu pun kitab nasab dari abad ke-5 hingga ke-7 Hijriyah yang mereposrtase nama Ubaidillah -ayah dari ‘Alawi (leluhur para habaib di Indonesia)-, dan menyebutnya sebagai putra Ahmad bin Isa al-Muhājir. Klaim bahwa Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa—dan bahwa ‘Alawi adalah cucunya—baru muncul pada abad ke-8 Hijriyah, tepatnya dalam kitab Al-Sulūk fī Ṭabaqāt al-‘Ulamā’ wa al-Mulūk karya Al-Qadhi Abu Abdillah Bahauddin Muhammad bin Yusuf bin Ya’qub (w. 730/731–732 H), dan yang menarik, nama yang digunakan adalah Abdullah, bukan Ubaidillah.

 

Lebih jauh lagi, nama Ubaidillah sebagai putra Ahmad bin Isa secara eksplisit baru tercatat dalam literatur abad ke-9 Hijriyah, khususnya dalam kitab Al-Burqatul Musyīqoh karya Habib Ali bin Abu Bakar as-Syakrān (w. 895 H), yaitu sekitar 650 tahun setelah wafatnya Ahmad bin Isa. Kiai Imaduddin menilai fakta ini sebagai konstruksi historis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sanad karena tidak muttasil (bersambung). Baginya, klaim nasab Ba ‘Alawi lebih mirip rekonstruksi belakangan yang bersifat politik dan sosial, bukan historis.

 

Namun, penting untuk dicatat bahwa secara pribadi saya berkeyakinan bahwa gagasan Kiai Imaduddin bukanlah pemikiran orisinal sepenuhnya. Ia sebenarnya merefleksikan resonansi kritik-kritik yang sebelumnya sudah muncul dari tokoh-tokoh seperti Syaikh Murad Sykri dan Syaikh Muqbil al-Wad`iy, yang juga mempertanyakan legitimasi nasab para habaib Ba ‘Alawi. Keterkaitan pemikiran ini dapat ditemukan dalam tulisan mereka yang tersebar di berbagai media, termasuk buku karya Syaikh Murad Syukri, Al-Ithāf dan Quraish Fi al-Urdun. Kedua buku tersebut sudah lama beredar jauh sebelum polemik nasab merebak di Indonesia, dan dalam tulisan-tulisan itu kita dapat menemukan titik temu dengan pemikiran Kiai Imaduddin.

 

Terlepas dari orisinalitas ide dan data yang disajikan, saya menilai bahwa munculnya polemik nasab ini sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkelindan satu sama lain, baik faktor sosial, politik, maupun keagamaan. Pada seri berikutnya, saya akan mencoba “menerka-nerka” faktor-faktor tersebut dengan pendekatan dan teori-teori sosial yang relevan untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif.

 

Dialektika Hegel: Tesis, Antitesis, dan Sintesis

 

Georg Wilhelm Friedrich Hegel, filsuf Jerman abad ke-19, meyakini bahwa segala realitas dan perkembangan pemikiran manusia bergerak melalui proses dialektika—yakni benturan antara ide awal (tesis) dengan ide penentang (antitesis), yang pada akhirnya melahirkan pemahaman baru (sintesis).  Tesis adalah ide awal atau kondisi dominan yang telah mapan dalam masyarakat atau sejarah. Ia adalah status quo, gagasan yang telah diterima secara luas, dianggap benar, dan membentuk struktur sosial dan pemahaman umum pada suatu masa. Antitesis adalah ide yang muncul untuk menantang tesis. Ia adalah respons kritis terhadap pemikiran dominan, yang sering kali dianggap “mengganggu” atau “membongkar tradisi. Sedangkan sintesis dalam dialektika Hegel adalah pemahaman baru yang melampaui benturan antara tesis dan antitesis. Ia bukan sekadar kompromi, melainkan penggabungan dan pengembangan gagasan baru yang lebih tinggi dari dua gagasan sebelumnya.

 

Bagaimana sebenarnya cara kerja dialektika Hegel ini jika diterapkan dalam konteks polemik nasab Ba ‘Alawi?  Secara sederhana, langkah-langkah kerjanya dapat digambarkan sebagai berikut:

 

Tesis dalam konteks ini adalah keyakinan kolektif yang telah mapan dalam masyarakat Muslim Indonesia (dan bahkan dunia Islam) bahwa kalangan Ba ‘Alawi (Habaib) adalah dzurriyah Nabi Muhammad SAW melalui jalur Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Keyakinan ini telah lama diterima tanpa banyak pertanyaan dan menjadi status quo. Ia dilembagakan melalui misalnya penggunaan gelar khusus (Habib/Syarif/Sayyid/Sayyid), praktik kafa’ah dalam pernikahan dan penghormatan dalam otoritas keagamaan.

 

Antitesis adalah pandangan Kiyai Imaduddin yang menentang status quo di atas, bahwa “Nasab Ba ‘Alawi tidak muttasil kepada Nabi; tidak sahih secara sanad, dan merupakan hasil konstruksi historis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

 

Sintesis, yang masih dalam proses terbentuk, adalah upaya masyarakat untuk mencari jalan tengah: bisa jadi dengan menghargai warisan sejarah dan kontribusi para habib, namun sekaligus menolak pola-pola feodalisme nasab yang bertentangan dengan prinsip egalitarianisme Islam. Hegel sendiri tidak menganggap sintesis sebagai titik akhir. Sintesis itu kelak bisa menjadi tesis baru, yang kemudian akan dikritik lagi, dan melahirkan sintesis baru berikutnya. Artinya, polemik Ba ‘Alawi ini tidak akan “selesai” dalam arti mutlak—tapi akan terus berkembang dalam ruang diskursus yang lebih dewasa.

 

Dengan demikian, dalam perspektif Hegelian, ide-ide dan pemikiran Kiyai Imaduddin terkait keabsahan nasab Ba `Alawi bukanlah disebut dengan tesis, melainkan lebih tepat disebut sebagai antitesis. Pemikiran kiyai Imad ini bukanlah “ide mapan”, tapi gagasan kontroversial dan subversif terhadap status quo. Ia membongkar legitimasi yang telah diterima luas dan karena itu menimbulkan reaksi keras dari komunitas yang merasa diserang. Namun demikian dalam konteks akademik atau debat ilmiah biasa, kita sah-sah saja menyebut pandangan Kiyai Imaduddin tersebut sebagai “tesis penelitian” karena ia membawa proposisi baru. Tapi dalam kerangka dialektika Hegel, yang selalu dimulai dari kondisi sosial yang mapan, gagasan pembongkaran terhadap status quo adalah antitesis.

 

Jadi jika ada kelompok atau orang-orang yang masih mempertanyakan, apakah tulisan atau karya kiyai Imad yang menentang status quo itu layak disebut “tesis” ?, kalau disebut tesis, siapa pembimbing dan siapa pengujiya ? maka bisa dipastikan bahwa emahaman mereka tentang tesis masih sebatas tesis sebagai tugas akhir di jenjang Strata 2, dan mereka belum berselancar jauh dan belum berkenalan dengan dialektika Hegel.

 

Bersambung

 

*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.

  

×
Berita Terbaru Update