![]() |
Faris Sullaily Kader PMII Kalimantan Barat. (Dok.Ybs) |
1. Jumlah besar, kesempatan minim
Bonus demografi membuka potensi besar, namun lowongan pekerjaan formal tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja baru. Banyak lulusan harus menghadapi persaingan ketat untuk posisi entry-level yang jumlahnya terbatas.
2. Mismatched skills: jurusan kuliah bukan jaminan kerja
Sebagian besar jurusan perguruan tinggi ternyata tidak sejalan dengan kebutuhan industri. Lulusan generasi Z yang masa kuliahnya sudah didominasi digital ternyata masih terkendala oleh skill problem-solving dan keterampilan praktis rendah .
3. Pembiayaan pendidikan vs hasil kerja nyata
Kebijakan anggaran seperti program “Dark Indonesia” menunjukkan bahwa dana dialihkan dari pendidikan tinggi yang dianggap kunci akses kerja ke hal lain, sehingga pendanaan untuk beasiswa dan pelatihan menurun drastis, memukul harapan lulusan mencari pekerjaan .
4. Ekspektasi vs realita kultur kerja
Hukum pasar mencatat banyak HR dan perusahaan yang menetapkan syarat pengalaman 1–2 tahun bagi fresh graduate, padahal pengalaman itu bisa didapat hanya lewat magang. Hal ini menciptakan paradoks: "ingin magang harus punya pengalaman, ingin kerja formal harus magang dulu" .
5. Persaingan global & disrupsi teknologi
Otomatisasi dan digitalisasi mempersempit kesempatan di sektor tradisional. Menurut berbagai analis, teknologi menggantikan tenaga kerja per sektor manufaktur dan pertanian .
Menatap Solusi: Apa yang Bisa Dilakukan?
1. Reformasi kurikulum & kolaborasi industri
Perguruan tinggi perlu menguatkan kerjasama dengan dunia industri, menyediakan magang dan project based learning, serta memperbaiki kurikulum vokasi agar relevan dengan skill pasar.
2. Fokus pada pendidikan STEM dan entrepreneurship
Pemerintah dan kampus perlu memperluas dukungan dalam program STEM, digital literacy, dan kewirausahaan, supaya lulusan tidak hanya mencari pekerjaan, tapi juga bisa menciptakan lapangan kerja baru.
3. Kebijakan anggaran yang berpihak pada kualitas lulusan
Peninjauan ulang alokasi anggaran sangat penting. Dana untuk pendidikan tinggi, pelatihan vokasi, dan beasiswa harus dijaga, jangan sampai digeser ke program lain yang berpotensi malah melemahkan kualitas lulusan.
4. Mendorong budaya magang sejak dini
Mahasiswa perlu diarahkan untuk mulai bermagang sejak semester awal, agar memiliki pengalaman nyata dan meningkatkan peluang untuk terjun ke dunia profesional.
5. Program dukungan karier dan akses pasar kerja
Universitas wajib menyediakan bursa kerja, pelatihan soft skills, dan mentoring karier untuk membantu transisi mahasiswa dari kampus ke dunia kerja.
Kesimpulan
Masalah lulusan yang kesulitan mencari kerja bukan sekadar masalah individu, melainkan indikator kegagalan sistemik antara pendidikan, pasar kerja, dan kebijakan publik. Dengan angka pengangguran yang tinggi, terutama di kalangan generasi muda, Indonesia dihadapkan pada tantangan serius. Untuk itu, kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan sektor swasta menjadi sangat vital—bukan hanya untuk menyerap tenaga kerja, tapi juga untuk menciptakan peluang-peluang baru yang lebih banyak dan relevan.
Hanya melalui sinergi sistemik, kita bisa memanfaatkan bonus demografi dan menuntaskan jumawa angka pengangguran. Tanpa itu, potensi besar angkatan kerja muda bisa menjadi celah ekonomi yang sia-sia.
Saya harap opini ini memberikan gambaran tajam mengenai akar masalah dan solusi nyata.