Notification

×

Iklan

Iklan

Tuhan Menuntunku ke Cahaya

Sabtu, 28 Juni 2025 | 16.02 WIB Last Updated 2025-06-28T09:03:12Z

Muhammad Syahrul Fitrah Mahasiswa Universita Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat. (Dok. Ybs)

OPINI.CO. PONTIANAK - “Dulu aku memanggil-Nya Tuhan... sekarang aku mengenal-Nya sebagai Allah.”


Namaku Nathaniel, biasa dipanggil Nathan.


Aku lahir dari keluarga Kristen taat. Sejak kecil aku diajarkan untuk mencintai sesama, bersyukur, dan hidup dalam kebaikan. Aku tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari, jalan hidupku akan berubah total—sampai aku mengenal Islam.


Perkenalan itu dimulai dari sesuatu yang sederhana: rasa ingin tahu.


Awalnya karena teman sekantorku, seorang Muslim yang ramah, sabar, dan selalu tenang dalam menghadapi tekanan pekerjaan. Namanya Fahri. Ia tidak pernah memaksa, hanya menunjukkan keteladanan. Sholat tepat waktu, jujur, dan tidak pernah bergosip.


“Apa yang membuatmu bisa setenang itu?” tanyaku suatu malam saat lembur.


Fahri hanya tersenyum. “Karena aku percaya, hidup ini bukan tempat tinggal… hanya tempat singgah.”


Aku tertarik. Aku mulai membaca Al-Qur'an terjemahan. Awalnya hanya untuk membandingkan, tapi justru aku tenggelam dalam maknanya. Ayat-ayatnya menyentuh hatiku lebih dalam daripada yang pernah kurasakan. Lalu aku membaca tentang Nabi Muhammad, dan tentang tauhid. Dan malam-malamku mulai berbeda.


Hati ini… mulai gelisah.


Setelah hampir dua tahun mencari, membaca, berdiskusi diam-diam, dan berdoa sungguh-sungguh, aku memutuskan untuk masuk Islam.


Hari itu aku datang diam-diam ke masjid kecil. Tidak ada keramaian. Hanya aku, imam, dan dua saksi.
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”


Tangisku pecah saat mengucap kalimat itu. Ada rasa takut, tapi juga kelegaan luar biasa. Aku seperti terlahir kembali.

 

Namun, jalan setelah itu… tidak mudah.


Keluargaku menolak. Ayahku murka. “Kamu mengkhianati darah kami!” katanya sambil membanting kursi.


Ibuku menangis berhari-hari. Kakakku memblokir nomorku.


Lebih buruk lagi, istriku yang sejak awal mulai curiga, menggugat cerai. “Kamu memilih agama daripada keluarga. Silakan hidup dengan keyakinan barumu.”


Anak-anakku ikut dengannya.


Aku tinggal sendiri. Rumah kosong. Hati hancur.
Semua yang aku cintai—hilang. Tapi aku tahu… aku memilih ini bukan karena dunia. Aku memilih ini karena kebenaran yang kutemukan setelah bertahun-tahun mencari.


Tak lama setelah itu, aku diberhentikan dari kantor. Bukan secara langsung, tapi karena ada “ketidaksesuaian nilai perusahaan” dengan "arah spiritual" yang kuambil. Aku tahu maksud mereka.


Aku kehilangan segalanya.
Hanya satu yang tak hilang: Allah.


Setiap malam aku menangis dalam sujud. Bukan menyesali pilihan, tapi memohon kekuatan untuk menjalaninya. Dan pelan-pelan, aku mulai menerima semuanya. Dengan ikhlas. Dengan sabar.


Aku mulai dari nol. Jadi penerjemah freelance, kadang buka lapak makanan kecil-kecilan saat Ramadan. Aku juga ikut belajar mengaji, belajar wudhu, bahkan belajar mengeja huruf hijaiyah dari dasar. Seperti anak kecil yang baru belajar berbicara.


Tapi setiap langkah itu, meski sulit, membawa ketenangan yang tak pernah kudapat sebelumnya.


Beberapa tahun berlalu.


Allah mengubah luka menjadi ladang pahala.
Usahaku berkembang. Aku membuka lembaga kecil penerjemahan Islami. Aku sering diundang untuk bercerita tentang hijrahku. Dan yang paling menggetarkan… suatu hari, anak perempuanku datang ke rumah dengan mata berkaca.


“Ayah... boleh aku ikut ke masjid?”


Hatiku seperti meledak.
Tak ada kata-kata yang cukup. Hanya air mata dan sujud syukur malam itu yang bisa mewakili semuanya.


Kini, aku hidup sederhana tapi tenang. Aku punya istri baru—seorang mualaf juga, dari Filipina. Kami saling menguatkan dalam ibadah. Allah mengganti duniaku yang hancur… dengan yang jauh lebih indah dan berlipat ganda.


Aku kehilangan keluarga? Kini aku punya keluarga seiman.
Aku kehilangan anak-anakku? Kini mereka perlahan mendekat, dan insya Allah, Allah yang membukakan hati mereka.


Aku kehilangan pekerjaan? Kini aku punya usaha sendiri yang lebih berkah.


Dan yang paling penting:


Aku kehilangan masa laluku… tapi aku menemukan Allah.


“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”
(QS. At-Talaq: 2-3)

 

×
Berita Terbaru Update