![]() |
Muhammad Syahrul Fitrah Mahasiswa Universita Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat. (Dok. Ybs) |
Namaku Nathaniel, biasa dipanggil Nathan.
Aku lahir dari keluarga Kristen taat. Sejak kecil aku diajarkan untuk mencintai
sesama, bersyukur, dan hidup dalam kebaikan. Aku tidak pernah membayangkan
bahwa suatu hari, jalan hidupku akan berubah total—sampai aku mengenal Islam.
Perkenalan itu dimulai dari sesuatu yang sederhana: rasa
ingin tahu.
Awalnya karena teman sekantorku, seorang Muslim yang ramah,
sabar, dan selalu tenang dalam menghadapi tekanan pekerjaan. Namanya Fahri. Ia
tidak pernah memaksa, hanya menunjukkan keteladanan. Sholat tepat waktu, jujur,
dan tidak pernah bergosip.
“Apa yang membuatmu bisa setenang itu?” tanyaku suatu malam
saat lembur.
Fahri hanya tersenyum. “Karena aku percaya, hidup ini bukan
tempat tinggal… hanya tempat singgah.”
Aku tertarik. Aku mulai membaca Al-Qur'an terjemahan. Awalnya
hanya untuk membandingkan, tapi justru aku tenggelam dalam maknanya.
Ayat-ayatnya menyentuh hatiku lebih dalam daripada yang pernah kurasakan. Lalu
aku membaca tentang Nabi Muhammad, dan tentang tauhid. Dan malam-malamku mulai
berbeda.
Hati ini… mulai gelisah.
Setelah hampir dua tahun mencari, membaca, berdiskusi
diam-diam, dan berdoa sungguh-sungguh, aku memutuskan untuk masuk Islam.
Tangisku pecah saat mengucap kalimat itu. Ada rasa takut, tapi
juga kelegaan luar biasa. Aku seperti terlahir kembali.
Namun, jalan setelah itu… tidak mudah.
Keluargaku menolak. Ayahku murka. “Kamu mengkhianati darah kami!” katanya sambil membanting kursi.
Lebih buruk lagi, istriku yang sejak awal
mulai curiga, menggugat cerai. “Kamu memilih agama daripada keluarga. Silakan
hidup dengan keyakinan barumu.”
Anak-anakku ikut dengannya.
Tak lama setelah itu, aku diberhentikan dari kantor. Bukan
secara langsung, tapi karena ada “ketidaksesuaian nilai perusahaan” dengan
"arah spiritual" yang kuambil. Aku tahu maksud mereka.
Setiap malam aku menangis dalam sujud. Bukan menyesali
pilihan, tapi memohon kekuatan untuk menjalaninya. Dan pelan-pelan, aku mulai
menerima semuanya. Dengan ikhlas. Dengan sabar.
Aku mulai dari nol. Jadi penerjemah freelance, kadang buka
lapak makanan kecil-kecilan saat Ramadan. Aku juga ikut belajar mengaji,
belajar wudhu, bahkan belajar mengeja huruf hijaiyah dari dasar. Seperti
anak kecil yang baru belajar berbicara.
Tapi setiap langkah itu, meski sulit, membawa ketenangan
yang tak pernah kudapat sebelumnya.
Beberapa tahun berlalu.
“Ayah... boleh aku ikut ke masjid?”
Kini, aku hidup sederhana tapi tenang. Aku punya istri
baru—seorang mualaf juga, dari Filipina. Kami saling menguatkan dalam ibadah.
Allah mengganti duniaku yang hancur… dengan yang jauh lebih indah dan
berlipat ganda.
Dan yang paling penting:
Aku kehilangan masa laluku… tapi aku menemukan Allah.