![]() |
Faris Sullaily Alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. |
Napak Tilas Singkat Profil seorang Ulama Jawa Timur: KH. Muhibbul Aman Aly
KH Muhibbul Aman Aly (sering disapa Gus Muhib) adalah salah satu anggota dewan keluagra Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Besuk, Kejayan, Pasuruan, Jawa Timur. Beliau juga dikenal sebagai Rektor Ma’had Aly Pondok Pesantren Besuk.
Di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Muhibbul Aman Aly menjabat sebagai Rais Syuriyah. Dalam dunia akademik, KH Muhibbul Aman Aly merupakan Dosen Ma’had Aly di beberapa pesantren besar seperti PP Lirboyo Kediri, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo, PP Besuk Pasuruan. Beliau juga merupakan guru Madrasah Aliyah PP Sidogiri, Keraton, Pasuruan Jawa Timur dan PP Dalwa Raci.
Tidak hanya itu, Kiai Muhib juga diketahui telah menulis berbagai karya kitab. Adapun kitab-kitab berbahasa Arab yang pernah ditulis oleh Kiai Muhib diantaranya Mawahiburrohman, Adh Dhifa', Adh Dhowabid, Tashilul Wusul, dan Al Ghuror Al Bahiyah.
Kiai Muhib juga menulis karya lain seperti Awaja, Manajemen Wakaf, dan Panduan Zakat 4 Madzhab.
Ulama satu ini bukan hanya dikenal karena pemahaman agamanya yang kuat, tetapi juga karena keberaniannya menyampaikan kebenaran, bahkan ketika harus berseberangan dengan arus mayoritas. Ia adalah ulama yang tak hanya paham kitab kuning, tapi juga peka terhadap kerusakan sosial dan perubahan moral masyarakat.
Fatwa Haram Sound Horeg: Bukan Antibudaya, Tapi Bentuk Amar Ma’ruf
Beberapa waktu lalu, Kiai Muhibbul Amman Aly menyampaikan pernyataan keras terkait fenomena sound horeg, bahkan sampai menyatakan bahwa praktik tersebut haram hukumnya karena lebih banyak mengandung kemudaratan daripada manfaat. Fatwa ini sontak menimbulkan pro-kontra. Sebagian menuduh beliau terlalu keras, bahkan dianggap tak paham budaya.
Namun di balik kontroversi itu, sikap Kiai Muhibbul sesungguhnya adalah bentuk tanggung jawab moral dan agama atas apa yang beliau pandang sebagai kemerosotan akhlak dan kekacauan sosial yang ditimbulkan oleh sound horeg. Dalam banyak kasus, sound horeg tidak lagi menjadi sarana syukur, tapi berubah menjadi panggung maksiat: musik remang-remang, tarian erotis, mabuk-mabukan, hingga gangguan serius terhadap masyarakat sekitar.
Apakah ini masih pantas dibela sebagai “budaya”?
Membedakan Tradisi dan Penyimpangan
Apa yang difatwakan Kiai Muhibbul adalah seruan untuk menyadarkan umat agar tidak membenarkan semua yang mengatasnamakan budaya. Beliau tidak sedang memusuhi rakyat, tapi mengajak untuk kembali ke akar tradisi yang bersih, santun, dan religius. Dalam konteks banyak desa dan kota hari ini, sound horeg lebih sering menjadi ladang kerusakan moral ketimbang ekspresi budaya murni.
Jika hajatan berubah menjadi pesta malam hari yang memutar musik keras tanpa batas, yang membuat orang tua tidak bisa tidur, anak-anak meniru goyangan vulgar, dan remaja terpapar minuman keras—apakah kita masih bisa menyebut itu sebagai bagian dari "kearifan lokal"?
Kiai Muhibbul hanya ingin umat sadar: agama dan budaya tidak boleh dibiarkan bercampur hingga menodai kesucian syariat.
Keberanian yang Patut Dihargai
Di saat banyak tokoh diam karena takut kehilangan panggung, Kiai Muhibbul justru tampil berani, menyuarakan kebenaran yang mungkin pahit. Dalam sejarah ulama, fatwa yang melawan arus selalu hadir dari hati yang bersih dan komitmen kuat terhadap dakwah.
Membela Gus Muhib bukan berarti anti-hiburan atau anti-kesenangan. Justru kita perlu menyambut seruan beliau sebagai ajakan untuk kembali merayakan hidup dengan cara yang lebih beradab dan tidak merusak.
Penutup: Teguran Itu Bentuk Cinta
Fatwa haram terhadap sound horeg tidak lahir dari kebencian, tetapi dari kegelisahan seorang ulama yang melihat betapa cepatnya perayaan berubah menjadi pelanggaran. Dan dalam posisi beliau sebagai pewaris nabi, menegur umat adalah bentuk cinta paling sejati.
Bila masyarakat benar-benar mencintai tradisi, maka yang harus dijaga bukan hanya suaranya, tapi juga makna dan martabatnya. Kiai Muhibbul telah membuka mata kita: bahwa tidak semua yang dibiasakan itu benar, dan tidak semua kritik terhadap budaya adalah bentuk permusuhan.
Justru di sanalah kita menemukan hikmah dari seorang ulama yang memilih jalan amar ma’ruf nahi munkar, meskipun harus menanggung hujatan.