Penulis As'ad Fauzuddin Khunaifi Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya. (Dok.Ybs)
Namun, seiring berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa rumah yang disebut "keluarga" ini memiliki banyak sekali kamar-kamar kecil dengan pintu yang terkunci. Di dalamnya, terbentuk kelompok-kelompok eksklusif. Ada sekat-sekat tak kasat mata yang memisahkan. Kita menamainya irisan, faksi, atau dalam bahasa yang lebih modern, circle.
Tentu, tidak semua kedekatan itu keliru. Ada yang lahir dari kesamaan
frekuensi kerja dan terbukti menunjang produktivitas. Tetapi, kita lebih sering
dihadapkan pada jenis circle yang lain. Jenis yang
perlahan-lahan menjadi sumber dari retakan-retakan halus di fondasi organisasi.
1. Energi yang Terkuras pada Gesekan-Gesekan Minor
Pernahkah Anda berada dalam sebuah rapat yang menghabiskan waktu berjam-jam
hanya untuk memperdebatkan hal-hal trivial yang tidak menyentuh substansi? Atau
merasakan ketegangan di dalam grup percakapan hanya karena kesalahpahaman kecil
antar-individu dari kelompok yang berbeda? Inilah gejala pertamanya.
Ketika sekat-sekat itu sudah terlalu tebal, fokus kolektif pun bergeser.
Energi yang seharusnya digunakan untuk melahirkan program kerja visioner,
justru terkuras habis untuk merespons gesekan-gesekan minor. Isu-isu sepele
sengaja diperpanjang, bukan untuk mencari solusi, melainkan sebagai ajang
pembuktian eksistensi dan ego kelompok. Visi besar organisasi boleh terabaikan,
yang terpenting, marwah kelompok kecilnya tetap terjaga.
2. Rasionalitas yang Tunduk pada Solidaritas Semu
Ini adalah penyakit turunannya. Sebuah gagasan yang cemerlang dapat dengan
mudah dimentahkan, bukan karena analisis yang lemah, melainkan karena ia lahir
dari "pihak yang salah". Sebaliknya, usulan yang paling tidak masuk
akal pun bisa disetujui, selama ia datang dari kelompok mayoritas atau yang
sedang berkuasa.
Di titik ini, objektivitas dan rasionalitas dipaksa untuk tunduk pada
solidaritas semu. Dialog tidak lagi bertujuan mencari kebenaran konstruktif,
melainkan menjadi arena pertarungan "kami" versus "mereka".
Risalah rapat pun sering kali lebih terbaca sebagai justifikasi kemenangan satu
pihak atas pihak yang lain, ketimbang sebuah keputusan bersama.
3. Keengganan Kolektif Menghadapi Peluang Besar
Lalu, apa yang terjadi ketika sebuah tantangan zaman atau peluang emas
muncul di depan mata? Organisasi yang dipenuhi sekat-sekat ini sering kali
memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Ada jeda panjang yang diisi dengan
saling menunggu, saling curiga, hingga akhirnya kesempatan itu menguap begitu
saja.
Mengapa? Karena untuk menaklukkan tantangan besar, dibutuhkan persatuan
sejati. Dibutuhkan kolaborasi tulus yang melintasi batas-batas circle.
Dan itu, saudara-saudara, adalah sebuah kemewahan. Jauh lebih mudah dan aman
untuk tetap berada dalam zona nyaman perdebatan internal, daripada mengambil
risiko untuk melangkah maju bersama-sama. Hasilnya, organisasi menjadi mandul,
minim karya besar, dan hanya terlihat gagah dari dalam.
4. Musim Kontestasi: Panggung Miniatur Politik
Praktis
"Jika sudah masuk musim pemilihan, dinamikanya tak kalah dengan
politik di Senayan."
Anda mungkin pernah tersenyum miris mendengar kalimat itu. Musim kontestasi
untuk memilih pemimpin adalah puncak dari segala ironi. Di sinilah kita bisa
menyaksikan miniatur politik praktis dalam skala paling intens, namun dengan
anggaran paling minimalis.
Lobi-lobi senyap, janji-janji pembagian posisi, hingga manuver-manuver yang
mencederai substansi demokrasi. Koalisi dibangun bukan atas kesamaan visi
jangka panjang, melainkan atas dasar kepentingan sesaat: "yang penting
bukan dia yang menang". Calon dengan kapasitas terbaik sering kali harus
tersingkir oleh calon yang paling mahir bermanuver di antara sekat-sekat yang
ada.
Pada akhirnya, slogan "satu ikatan" dan "kita adalah
keluarga" itu terdengar seperti sebuah mantra hampa. Sebuah lagu pengantar
tidur agar kita semua merasa baik-baik saja, padahal di baliknya ada banyak
hati yang lelah dan terluka karena intrik internal.
Organisasi yang seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk belajar dan
bertumbuh, malah menjadi cerminan dari segala penyakit masyarakat dalam skala
yang lebih kecil. Mungkin memang sudah menjadi watak kita. Entahlah. Yang
jelas, kita memang masih satu ikatan. Sebuah ikatan tali yang sudah terlanjur
ruwet dan sulit sekali diurai.