Notification

×

Iklan

Iklan

Sekat Tak Kasat Mata di Rumah Bernama Organisasi

Rabu, 18 Juni 2025 | 18.32 WIB Last Updated 2025-06-18T11:32:29Z

Penulis As'ad Fauzuddin Khunaifi Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya. (Dok.Ybs)

OPINI.CO. SURABAYA - Adakah kalimat yang lebih sering terdengar dalam sebuah pertemuan awal organisasi selain, "Kita di sini sudah seperti keluarga"? Rasanya tidak ada. Sebuah kalimat sakti yang diucapkan dengan wajah paling tulus, yang disambut dengan anggukan penuh harapan oleh para anggota baru. Terdengar begitu hangat dan ideal, bukan?


Namun, seiring berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa rumah yang disebut "keluarga" ini memiliki banyak sekali kamar-kamar kecil dengan pintu yang terkunci. Di dalamnya, terbentuk kelompok-kelompok eksklusif. Ada sekat-sekat tak kasat mata yang memisahkan. Kita menamainya irisan, faksi, atau dalam bahasa yang lebih modern, circle.

 

Tentu, tidak semua kedekatan itu keliru. Ada yang lahir dari kesamaan frekuensi kerja dan terbukti menunjang produktivitas. Tetapi, kita lebih sering dihadapkan pada jenis circle yang lain. Jenis yang perlahan-lahan menjadi sumber dari retakan-retakan halus di fondasi organisasi.

 

1. Energi yang Terkuras pada Gesekan-Gesekan Minor

 

Pernahkah Anda berada dalam sebuah rapat yang menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk memperdebatkan hal-hal trivial yang tidak menyentuh substansi? Atau merasakan ketegangan di dalam grup percakapan hanya karena kesalahpahaman kecil antar-individu dari kelompok yang berbeda? Inilah gejala pertamanya.

 

Ketika sekat-sekat itu sudah terlalu tebal, fokus kolektif pun bergeser. Energi yang seharusnya digunakan untuk melahirkan program kerja visioner, justru terkuras habis untuk merespons gesekan-gesekan minor. Isu-isu sepele sengaja diperpanjang, bukan untuk mencari solusi, melainkan sebagai ajang pembuktian eksistensi dan ego kelompok. Visi besar organisasi boleh terabaikan, yang terpenting, marwah kelompok kecilnya tetap terjaga.

 

2. Rasionalitas yang Tunduk pada Solidaritas Semu

 

Ini adalah penyakit turunannya. Sebuah gagasan yang cemerlang dapat dengan mudah dimentahkan, bukan karena analisis yang lemah, melainkan karena ia lahir dari "pihak yang salah". Sebaliknya, usulan yang paling tidak masuk akal pun bisa disetujui, selama ia datang dari kelompok mayoritas atau yang sedang berkuasa.

 

Di titik ini, objektivitas dan rasionalitas dipaksa untuk tunduk pada solidaritas semu. Dialog tidak lagi bertujuan mencari kebenaran konstruktif, melainkan menjadi arena pertarungan "kami" versus "mereka". Risalah rapat pun sering kali lebih terbaca sebagai justifikasi kemenangan satu pihak atas pihak yang lain, ketimbang sebuah keputusan bersama.

 

3. Keengganan Kolektif Menghadapi Peluang Besar

 

Lalu, apa yang terjadi ketika sebuah tantangan zaman atau peluang emas muncul di depan mata? Organisasi yang dipenuhi sekat-sekat ini sering kali memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Ada jeda panjang yang diisi dengan saling menunggu, saling curiga, hingga akhirnya kesempatan itu menguap begitu saja.

 

Mengapa? Karena untuk menaklukkan tantangan besar, dibutuhkan persatuan sejati. Dibutuhkan kolaborasi tulus yang melintasi batas-batas circle. Dan itu, saudara-saudara, adalah sebuah kemewahan. Jauh lebih mudah dan aman untuk tetap berada dalam zona nyaman perdebatan internal, daripada mengambil risiko untuk melangkah maju bersama-sama. Hasilnya, organisasi menjadi mandul, minim karya besar, dan hanya terlihat gagah dari dalam.

 

4. Musim Kontestasi: Panggung Miniatur Politik Praktis

 

"Jika sudah masuk musim pemilihan, dinamikanya tak kalah dengan politik di Senayan."

 

Anda mungkin pernah tersenyum miris mendengar kalimat itu. Musim kontestasi untuk memilih pemimpin adalah puncak dari segala ironi. Di sinilah kita bisa menyaksikan miniatur politik praktis dalam skala paling intens, namun dengan anggaran paling minimalis.

 

Lobi-lobi senyap, janji-janji pembagian posisi, hingga manuver-manuver yang mencederai substansi demokrasi. Koalisi dibangun bukan atas kesamaan visi jangka panjang, melainkan atas dasar kepentingan sesaat: "yang penting bukan dia yang menang". Calon dengan kapasitas terbaik sering kali harus tersingkir oleh calon yang paling mahir bermanuver di antara sekat-sekat yang ada.

 

Pada akhirnya, slogan "satu ikatan" dan "kita adalah keluarga" itu terdengar seperti sebuah mantra hampa. Sebuah lagu pengantar tidur agar kita semua merasa baik-baik saja, padahal di baliknya ada banyak hati yang lelah dan terluka karena intrik internal.

 

Organisasi yang seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk belajar dan bertumbuh, malah menjadi cerminan dari segala penyakit masyarakat dalam skala yang lebih kecil. Mungkin memang sudah menjadi watak kita. Entahlah. Yang jelas, kita memang masih satu ikatan. Sebuah ikatan tali yang sudah terlanjur ruwet dan sulit sekali diurai. 


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini minimal 500 kata maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.
×
Berita Terbaru Update