Notification

×

Iklan

Iklan

Pancasila 1 Juni: Warisan Soekarno untuk Masa Depan Bangsa

Minggu, 01 Juni 2025 | 11.45 WIB Last Updated 2025-06-01T07:48:36Z

Syaifudin Zuhri, S.Pd. Ketua DPC Caretaker GMNI Kabupaten Malang. (Dok. Ybs)

OPINI.CO. MALANGSetiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, sebuah momentum historis yang tidak bisa dilepaskan dari sosok proklamator kita, Ir. Soekarno. Pada tanggal tersebut tahun 1945, Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyampaikan pidato monumental yang pertama kali menggagas lima prinsip dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Pancasila.


Pidato tersebut bukan sekadar untaian kata atau formalitas politis, melainkan hasil dari pergulatan panjang dan pemikiran mendalam mengenai masa depan bangsa Indonesia. Soekarno, dengan latar belakang pemimpin pergerakan nasional dan pemikir ideologis, tidak hanya melihat persoalan kemerdekaan sebagai pengusiran penjajah, tetapi juga sebagai momen mendirikan bangunan kebangsaan yang kokoh dan berakar kuat pada nilai-nilai luhur Nusantara.


Lima sila yang ia ajukan Kebangsaan, Internasionalisme (Peri-Kemanusiaan), Mufakat (Demokrasi), Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan—bukanlah hasil imitasi dari ideologi asing, melainkan sintesis dari realitas sosiokultural bangsa. Dalam pidatonya, Soekarno menyatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang majemuk, dan oleh karena itu membutuhkan dasar negara yang mampu merangkul seluruh anak bangsa tanpa memaksakan homogenitas.


Gagasan Pancasila lahir dari pengalaman sejarah dan keterlibatan langsung Soekarno dalam perjuangan rakyat. Ia belajar dari penderitaan kaum miskin, dari solidaritas antarumat beragama, dari tradisi gotong royong di desa-desa, serta dari semangat anti-kolonial yang menjalar ke seluruh penjuru Nusantara. Maka tak heran, jika dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menegaskan bahwa perjuangan bangsa Indonesia bukan sekadar mengganti penjajah, melainkan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, berdiri di atas kaki sendiri, dan memiliki kepribadian nasional.


Soekarno bukan hanya orator ulung, tetapi juga seorang visioner yang mampu melihat jauh ke depan. Dalam pidato 1 Juni, ia menyampaikan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi Trisila, bahkan Ekasila, yaitu Gotong Royong. Ini menunjukkan bahwa dasar negara Indonesia bukan bersifat kaku, tetapi dinamis dan hidup dalam denyut nadi rakyat. Gotong royong menjadi jiwa dari semangat kolektif, kerja sama, dan solidaritas sosial yang menjadi kekuatan utama bangsa Indonesia menghadapi berbagai tantangan zaman.


Kini, lebih dari tujuh dekade setelah proklamasi kemerdekaan, kita menyaksikan bahwa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks. Polarisasi politik, krisis moral, ketimpangan ekonomi, serta penetrasi budaya global yang tanpa filter menjadi ancaman nyata bagi jati diri bangsa. Dalam situasi inilah, aktualisasi nilai-nilai Pancasila menjadi sangat relevan dan mendesak.


Peringatan Hari Lahir Pancasila seharusnya tidak berhenti pada seremoni dan retorika belaka. Ia harus menjadi momentum reflektif bagi seluruh elemen bangsa—pemerintah, masyarakat sipil, lembaga pendidikan, hingga generasi muda—untuk kembali pada jati diri kebangsaan. Nilai-nilai Pancasila perlu dibumikan, tidak hanya dalam wacana formal, tetapi dalam praktik keseharian.


Misalnya sila pertama menegaskan pentingnya menghormati kebebasan beragama sekaligus menjaga toleransi. Dalam konteks kehidupan berbangsa yang plural, sila ini menjadi penyangga agar tidak terjebak pada sektarianisme yang memecah belah. Sila kedua menuntut empati dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, sesuatu yang kini sangat dibutuhkan dalam dinamika sosial yang penuh gesekan. Sila ketiga mengingatkan kita bahwa persatuan bukan hasil dari keseragaman, melainkan keragaman yang dikelola dengan bijak.


Sila keempat mendorong kita membangun demokrasi yang substansial, bukan sekadar prosedural, di mana rakyat dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan publik. Sementara sila kelima mengingatkan bahwa pembangunan tidak boleh hanya menguntungkan segelintir elit, tetapi harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama yang selama ini termarjinalkan.


Maka menghadirkan kembali Pancasila dalam ruang publik, baik dalam kebijakan negara maupun perilaku warga negara, adalah tugas bersama. Lembaga pendidikan harus menjadi ruang strategis untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila dengan pendekatan yang kontekstual dan dialogis. Pemerintah harus memberi teladan dalam menegakkan prinsip keadilan sosial dan menjamin hak-hak konstitusional rakyat. Media dan ruang digital juga harus diarahkan untuk menjadi arena diseminasi nilai kebangsaan yang konstruktif.


Pancasila bukanlah warisan masa lalu yang sudah usang. Ia adalah warisan yang terus hidup dan relevan untuk menjawab tantangan zaman. Dalam mengingat perjuangan Soekarno, kita seharusnya tidak berhenti pada pengagungan simbolik, melainkan meneladani semangatnya: berani berpikir merdeka, berdiri di atas nilai-nilai kebenaran, dan bekerja untuk kemaslahatan bangsa.


Pancasila adalah warisan, tetapi juga tugas. Ia adalah bekal untuk melangkah, tetapi juga arah untuk tidak tersesat.


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.

×
Berita Terbaru Update