Notification

×

Iklan

Iklan

ODOL: Ketika Negara Menyasar Roda Terlemah dalam Sistem Transportasi

Jumat, 20 Juni 2025 | 06.49 WIB Last Updated 2025-06-19T23:49:07Z

Dok. Istimewa
OPINI.CO. MALANG - Ratusan sopir truk muatan berat memblokir Jalur Lingkar Barat (Jalibar) Kepanjen, Kabupaten Malang pada Kamis, 19 Juni 2025. Jalan Raya Ir. Soekarno lumpuh total oleh protes spontan yang menggambarkan betapa jenuh dan terhimpitnya para pekerja lapangan ini akibat kebijakan Over Dimension Over Load (ODOL). Aksi ini bukan sekadar penolakan teknis terhadap aturan, tetapi seruan perlawanan atas ketimpangan struktural yang terus berlangsung.


Kebijakan ODOL, yang seharusnya bertujuan mulia untuk menjaga infrastruktur dan keselamatan, dalam pelaksanaannya justru menempatkan sopir truk sebagai sasaran utama dari masalah yang jauh lebih kompleks dan sistemik. Padahal, jika kita melihat lebih jernih, para sopir bukan pelaku utama dalam pelanggaran ODOL, melainkan korban dari skema distribusi dan produksi industri logistik yang tidak adil.


Sopir truk hanya menjalankan perintah. Mereka tidak mendesain dimensi truk. Mereka tidak menentukan volume muatan. Mereka pun tidak mengendalikan sistem distribusi yang menuntut kecepatan dan efisiensi tinggi, sering kali tanpa memperhitungkan kapasitas legal kendaraan. Namun, ketika regulasi ditegakkan secara keras, yang pertama kali diseret ke meja hukuman adalah sopir.


Sebagai Ketua DPC Caretaker GMNI Kabupaten Malang, saya menyatakan bahwa penerapan kebijakan ODOL hari ini adalah bentuk kriminalisasi terselubung terhadap rakyat pekerja. Negara abai pada realitas lapangan. Korporasi lepas tangan. Regulasi diterapkan tanpa empati. Dan pada akhirnya, sopir truk dijadikan kambing hitam dari sistem yang gagal.


Mari kita telaah lebih dalam: bagaimana mungkin negara mengharuskan sopir untuk menaati dimensi dan batas muatan truk, sementara karoseri—perusahaan pembuat bodi kendaraan—masih bebas memproduksi truk-truk over dimension atas pesanan perusahaan logistik besar? Di mana pengawasan terhadap praktik ini? Mengapa negara tidak mulai dari hulu, dari perizinan produksi kendaraan dan kontrol terhadap perusahaan pemilik armada?


Hal yang lebih menyakitkan adalah, saat terjadi pelanggaran, sopir yang menanggung semua akibatnya: denda, tilang, bahkan kehilangan pekerjaan. Sementara pemilik modal, distributor, dan pengusaha logistik tetap untung di balik layar.


Narasi keselamatan dan perlindungan infrastruktur sering kali dijadikan tameng untuk menjustifikasi penindakan terhadap ODOL. Namun narasi itu menjadi kosong jika tidak diiringi dengan reformasi menyeluruh dari sistem logistik nasional. Regulasi tanpa keberpihakan pada rakyat pekerja hanya akan melahirkan frustrasi sosial. Dan protes Jalibar adalah bentuk nyata dari akumulasi ketidakadilan tersebut.


Banyak sopir truk harus mengganti kerusakan barang jika hujan turun karena muatan beras atau paket tidak terlindungi. Dalam kondisi cuaca ekstrem, mereka tidak memiliki pilihan. Jika barang rusak, mereka bisa dipotong gajinya. Jika tidak memenuhi target pengiriman, mereka bisa kehilangan rit dan pendapatan. Maka, ketika negara tiba-tiba memaksakan aturan ODOL tanpa ada mekanisme adaptasi yang adil, mereka bukan sekadar tidak siap—mereka benar-benar terdorong ke jurang krisis ekonomi.


Dalam situasi ini, GMNI Kabupaten Malang dengan tegas menyerukan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menghentikan praktik penghukuman sepihak terhadap sopir truk. Kebijakan ODOL harus dikaji ulang dengan melibatkan semua pihak yang terdampak, terutama sopir sebagai aktor paling bawah dalam rantai logistik. Tanpa itu, ODOL akan terus menjadi simbol arogansi negara terhadap rakyat kecil.


Lebih dari itu, kami menyerukan pembentukan forum dialog nasional antara regulator, pengusaha logistik, karoseri, dan perwakilan sopir yang difasilitasi secara terbuka. Pemerintah wajib menghadirkan keadilan regulatif yang tidak hanya menyentuh kulit, tetapi akar masalah.


Dan apabila tidak ada iktikad baik dari pemerintah untuk mendengarkan jeritan sopir dan mengoreksi pendekatannya, maka kami dari GMNI Kabupaten Malang menyatakan siap turun ke jalan dan berdiri di barisan paling depan bersama para sopir truk, memperjuangkan keadilan yang selama ini mereka idamkan.


Kami percaya, bahwa keadilan sosial tidak akan tercipta dari kebijakan yang hanya berbicara tentang teknis, tanpa melihat manusia di dalamnya. Keadilan adalah tentang keberpihakan—dan dalam kasus ODOL ini, jelas negara belum berpihak kepada sopir truk.


Sudah saatnya negara menyadari, bahwa mereka yang mengantar logistik dari pelabuhan ke pelosok desa adalah pejuang kehidupan. Mereka bukan pelanggar hukum, tapi korban dari sistem distribusi ekonomi yang terlalu lama dibiarkan tidak tersentuh reformasi. Maka, jangan jadikan mereka korban berikutnya dari kesalahan kolektif yang diciptakan oleh negara dan korporasi.



Pewarta: Syaifudin Zuhri, S.Pd

×
Berita Terbaru Update