Notification

×

Iklan

Iklan

Menggugat Wakil Rakyat : Representasi Politik di Tengah Kompromi Kekuasaan

Senin, 23 Juni 2025 | 12.06 WIB Last Updated 2025-06-23T05:06:25Z

Anis Nur Aini Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Program Studi Ilmu Politik. (Dok. Istimewa)
OPINI.CO. SURABAYA - Demokrasi Indonesia, yang semestinya berakar pada kehendak rakyat, tampaknya terus bergeser ke arah oligarkis. Di tengah gempuran kompromi politik yang sarat kepentingan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan suara public justru kerap tersandera dalam transaksi kekuasaan yang membungkam amanat konstituen. Representasi politik, yang seyogianya menjadi sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat, menjelma menjadi panggung kompromi yang melahirkan produk legislasi elitis dan kering dari kepentingan publik. Esai ini akan membedah bagaimana wajah DPR Indonesia telah terjerumus dalam paradoks representasi: hadir secara formal sebagai wakil rakyat, tetapi substantifnya tunduk pada logika kekuasaan. Di balik parlemen yang megah dan jargon-jargon populis, terselip praktik kompromistis yang melemahkan kontrol sosial dan demokrasi substantif. Maka, menggugat wakil rakyat adalah langkah etis dan politis yang urgen dilakukan demi menagih kembali ruh demokrasi yang telah lama tercerabut dari akarnya.

 

Representasi Politik: Antara Ilusi dan Realitas. Representasi politik pada hakikatnya adalah mekanisme demokratis yang menjamin bahwa suara rakyat tetap hidup dalam proses pembuatan kebijakan. Namun dalam konteks Indonesia, realitas tersebut seringkali hanya menjadi mitos konstitusional yang dikumandangkan setiap menjelang pemilu, lalu dilupakan ketika kekuasaan telah direngkuh. Banyak anggota DPR tidak lagi memosisikan dirinya sebagai agen perubahan, melainkan sebagai agen transaksi. Representasi berubah menjadi simbolik belaka hadir secara struktural tetapi kosong secara substantif. Mereka yang duduk di kursi parlemen tidak lagi merasa perlu untuk mendengar aspirasi konstituen, karena kekuatan elektoral lebih banyak ditentukan oleh kekuatan modal, bukan oleh rekam jejak pengabdian kepada publik. Ketika representasi kehilangan esensinya, yang tersisa hanyalah politik prosedural yang didikte oleh kepentingan elite. Pemilih menjadi objek pasif dalam sirkus demokrasi lima tahunan, sementara wakil yang mereka pilih menjadi bagian dari aristokrasi baru yang lebih sibuk membangun aliansi dengan kekuasaan ketimbang memperjuangkan nasib rakyat.

 

Kompromi Kekuasaan: Strategi Politik atau Pengkhianatan?

 

Kompromi dalam politik sejatinya bukanlah sesuatu yang keliru. Ia merupakan bagian tak terelakkan dari proses demokrasi deliberatif. Namun yang menjadi problem adalah ketika kompromi itu tidak lagi bersandar pada kepentingan publik, melainkan berorientasi pada konsolidasi kekuasaan. Kompromi semacam ini menjelma menjadi pengkhianatan politik karena mencabut legitimasi moral dan etis seorang wakil rakyat.

 

Lihat saja bagaimana sejumlah undang-undang strategis disahkan dengan tergesa-gesa tanpa partisipasi publik yang berarti Omnibus Law, UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, hingga revisi UU Penyiaran. Produk legislasi tersebut diwarnai dengan proses kompromistis yang mengabaikan suara kritis masyarakat sipil dan akademisi. DPR tidak lagi menjadi forum deliberatif yang mencerminkan pluralitas kepentingan rakyat, tetapi berubah menjadi ruang tertutup tempat elite menyusun agenda berdasarkan pertukaran kepentingan. Kompromi politik menjadi alat untuk melanggengkan status quo, membungkam oposisi, dan melemahkan fungsi checks and balances. Bahkan, banyak anggota DPR yang secara terang-terangan menjadikan posisinya sebagai alat tawar dalam negosiasi politik dengan kekuasaan eksekutif demi mendapatkan jabatan, proyek, atau kekuasaan tambahan. Dalam situasi ini, representasi tidak hanya kehilangan makna, tetapi juga menjadi senjata yang menikam rakyat dari belakang.

 

DPR dan Erosi Etika Politik

 

Salah satu dimensi yang luput dari perhatian publik adalah krisis etika yang melanda lembaga legislatif. DPR, yang mestinya menjadi teladan integritas dan keberpihakan pada rakyat, justru menjadi sarang pelanggaran etik dan korupsi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa DPR menjadi lembaga dengan jumlah tersangka korupsi terbanyak dalam dua dekade terakhir.

 

Fenomena ini memperlihatkan bahwa krisis representasi bukan hanya bersifat struktural, tetapi juga kultural. Budaya politik transaksional telah merasuki setiap lapisan parlemen, dari pusat hingga daerah. Kinerja diukur bukan dari seberapa kuat anggota DPR memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi dari seberapa besar mereka mampu mengamankan "jatah" dari kekuasaan. Legislator menjadi pelobi anggaran, bukan pelayan publik. Rakyat menjadi penonton dalam drama politik yang absurd dan memuakkan. Ketika etika tidak lagi menjadi pijakan, maka setiap kompromi politik akan berujung pada pengkhianatan. Itulah yang terjadi ketika wakil rakyat ikut menyusun undang-undang yang jelas-jelas merugikan buruh, petani, mahasiswa, dan masyarakat adat. Mereka tidak hanya gagal menjalankan fungsi representasi, tetapi juga aktif terlibat dalam pemiskinan struktural yang dilegalisasi lewat kebijakan negara.

 

Ruang Sipil yang Mengecil, Suara Rakyat yang Dibelokkan, Salah satu dampak paling nyata dari kompromi kekuasaan yang melibatkan DPR adalah semakin sempitnya ruang partisipasi publik. Alih-alih memperkuat mekanisme demokrasi partisipatif, DPR justru memproduksi aturan yang membungkam kritik dan mempersempit kebebasan sipil. RUU Penyiaran, misalnya, hendak mengatur ruang redaksi media dan konten jurnalisme investigasi. Ini adalah bentuk represif yang dibungkus dalam bingkai legal. Alih-alih menyerap aspirasi masyarakat, DPR sering kali menciptakan kebijakan yang justru bertabrakan dengan kepentingan publik. Dialog publik dikerdilkan menjadi formalitas, sementara substansi perdebatan dikunci dalam ruang-ruang elitis. Parlemen menjadi menara gading yang jauh dari rakyat, dan lebih mirip klub kekuasaan yang hanya peduli pada kelangsungan politikus itu sendiri. Di sinilah pentingnya menggugat representasi politik secara kritis. Demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedur pemilu. Ia harus terus hidup dalam bentuk partisipasi aktif, pengawasan, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang melenceng. Dan tugas DPR adalah memperluas ruang partisipasi itu, bukan malah mempersempitnya.

 

Menggugat Representasi: Bukan Antipolitik, Tapi Etika Perlawanan. Menggugat wakil rakyat bukanlah tindakan anti-politik, melainkan ekspresi dari politik etis. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap banalitas kekuasaan yang menempatkan rakyat hanya sebagai legitimasi formal. Gugatan ini lahir dari kekecewaan, tetapi juga dari harapan bahwa demokrasi masih bisa diselamatkan. Kita harus mengembalikan fungsi DPR sebagai wakil rakyat yang sejati bukan wakil partai, bukan wakil oligarki, bukan wakil kekuasaan. Itu hanya mungkin terwujud jika sistem politik kita dirombak secara struktural dan kultural. Sistem pemilu yang mengandalkan suara terbanyak tanpa kualitas harus dikaji ulang. Partai politik harus direformasi agar tidak lagi menjadi mesin kekuasaan, tetapi menjadi ruang pembelajaran politik rakyat. Selain itu, perlu dibangun mekanisme recall atau penarikan mandat bagi anggota DPR yang tidak menjalankan tugas representatifnya. Rakyat harus diberi hak untuk mengevaluasi dan mencabut mandat yang telah mereka berikan jika wakil yang mereka pilih terbukti mengkhianati amanat. Ini adalah bentuk demokrasi partisipatif yang sesungguhnya.

 

Harapan di Tengah Kejumudan: Ruang Kritis yang Tetap Menyala. Di tengah kekecewaan publik terhadap DPR, kita masih melihat secercah harapan. Munculnya gerakan masyarakat sipil, mahasiswa, jurnalis, hingga kelompok marjinal yang terus bersuara menunjukkan bahwa demokrasi belum sepenuhnya mati. Mereka menjadi penjaga akal sehat bangsa yang menolak tunduk pada kompromi kekuasaan yang merusak.

 

Kita juga melihat beberapa anggota DPR yang tetap konsisten memperjuangkan aspirasi rakyat meski harus melawan arus partai dan tekanan kekuasaan. Mereka adalah pengecualian, tetapi penting untuk menunjukkan bahwa jalan perubahan itu masih mungkin. Kuncinya terletak pada rakyat apakah kita memilih untuk diam, atau bersuara. Partisipasi politik harus diperluas, bukan hanya di kotak suara, tetapi juga dalam diskursus publik, ruang akademik, dan media sosial. Demokrasi tidak bisa hidup hanya dengan pemilu. Ia harus disertai dengan kontrol, kritik, dan kesadaran kolektif bahwa kekuasaan yang tak diawasi adalah sumber dari segala bentuk penindasan.

 

Menagih Kembali Janji Representasi

 

Sudah saatnya kita menggugat kembali konsep wakil rakyat. Apakah mereka benar-benar mewakili kita? Apakah mereka hadir untuk memperjuangkan kepentingan rakyat atau sekadar memperpanjang masa tinggal dalam lingkar kekuasaan? Gugatan ini bukan bentuk kebencian terhadap institusi, tetapi bentuk kecintaan terhadap demokrasi itu sendiri. Representasi politik harus dikembalikan ke khitahnya menjadi alat perjuangan rakyat, bukan alat kompromi elite. Dan DPR, sebagai lembaga legislatif tertinggi, harus menjadi cermin dari keragaman dan aspirasi masyarakat, bukan boneka kekuasaan yang kehilangan roh demokratisnya. Kita tidak butuh wakil yang hanya pandai bersilat lidah di forum parlemen. Kita butuh wakil yang berani bersuara ketika rakyat dibungkam, berani menolak ketika kebijakan merugikan publik, dan berani mundur ketika tidak lagi mampu menjalankan amanat. Karena menjadi wakil rakyat bukan soal jabatan, tetapi soal tanggung jawab sejarah. Dan sejarah tak akan mencatat mereka yang diam dalam ketidakadilan.


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini minimal 500 kata maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.
×
Berita Terbaru Update