OPINI.CO. SURABAYA - Demokrasi Indonesia, yang
semestinya berakar pada kehendak rakyat, tampaknya terus bergeser ke arah
oligarkis. Di tengah gempuran kompromi politik yang sarat kepentingan, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan suara public
justru kerap tersandera dalam transaksi kekuasaan yang membungkam amanat
konstituen. Representasi politik, yang seyogianya menjadi sarana untuk
menyalurkan aspirasi rakyat, menjelma menjadi panggung kompromi yang melahirkan
produk legislasi elitis dan kering dari kepentingan publik. Esai ini akan
membedah bagaimana wajah DPR Indonesia telah terjerumus dalam paradoks
representasi: hadir secara formal sebagai wakil rakyat, tetapi substantifnya
tunduk pada logika kekuasaan. Di balik parlemen yang megah dan jargon-jargon
populis, terselip praktik kompromistis yang melemahkan kontrol sosial dan
demokrasi substantif. Maka, menggugat wakil rakyat adalah langkah etis dan
politis yang urgen dilakukan demi menagih kembali ruh demokrasi yang telah lama
tercerabut dari akarnya.Anis Nur Aini Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Program Studi Ilmu Politik. (Dok. Istimewa)
Representasi Politik: Antara
Ilusi dan Realitas. Representasi politik pada hakikatnya adalah mekanisme
demokratis yang menjamin bahwa suara rakyat tetap hidup dalam proses pembuatan
kebijakan. Namun dalam konteks Indonesia, realitas tersebut seringkali hanya
menjadi mitos konstitusional yang dikumandangkan setiap menjelang pemilu, lalu
dilupakan ketika kekuasaan telah direngkuh. Banyak anggota DPR tidak lagi
memosisikan dirinya sebagai agen perubahan, melainkan sebagai agen transaksi.
Representasi berubah menjadi simbolik belaka hadir secara struktural tetapi
kosong secara substantif. Mereka yang duduk di kursi parlemen tidak lagi merasa
perlu untuk mendengar aspirasi konstituen, karena kekuatan elektoral lebih
banyak ditentukan oleh kekuatan modal, bukan oleh rekam jejak pengabdian kepada
publik. Ketika representasi kehilangan esensinya, yang tersisa hanyalah politik
prosedural yang didikte oleh kepentingan elite. Pemilih menjadi objek pasif
dalam sirkus demokrasi lima tahunan, sementara wakil yang mereka pilih menjadi
bagian dari aristokrasi baru yang lebih sibuk membangun aliansi dengan
kekuasaan ketimbang memperjuangkan nasib rakyat.
Kompromi Kekuasaan: Strategi
Politik atau Pengkhianatan?
Kompromi dalam politik sejatinya
bukanlah sesuatu yang keliru. Ia merupakan bagian tak terelakkan dari proses
demokrasi deliberatif. Namun yang menjadi problem adalah ketika kompromi itu
tidak lagi bersandar pada kepentingan publik, melainkan berorientasi pada
konsolidasi kekuasaan. Kompromi semacam ini menjelma menjadi pengkhianatan
politik karena mencabut legitimasi moral dan etis seorang wakil rakyat.
Lihat saja bagaimana sejumlah
undang-undang strategis disahkan dengan tergesa-gesa tanpa partisipasi publik
yang berarti Omnibus Law, UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, hingga revisi UU
Penyiaran. Produk legislasi tersebut diwarnai dengan proses kompromistis yang
mengabaikan suara kritis masyarakat sipil dan akademisi. DPR tidak lagi menjadi
forum deliberatif yang mencerminkan pluralitas kepentingan rakyat, tetapi
berubah menjadi ruang tertutup tempat elite menyusun agenda berdasarkan
pertukaran kepentingan. Kompromi politik menjadi alat untuk melanggengkan
status quo, membungkam oposisi, dan melemahkan fungsi checks and balances.
Bahkan, banyak anggota DPR yang secara terang-terangan menjadikan posisinya
sebagai alat tawar dalam negosiasi politik dengan kekuasaan eksekutif demi
mendapatkan jabatan, proyek, atau kekuasaan tambahan. Dalam situasi ini,
representasi tidak hanya kehilangan makna, tetapi juga menjadi senjata yang
menikam rakyat dari belakang.
DPR dan Erosi Etika Politik
Salah satu dimensi yang luput
dari perhatian publik adalah krisis etika yang melanda lembaga legislatif. DPR,
yang mestinya menjadi teladan integritas dan keberpihakan pada rakyat, justru
menjadi sarang pelanggaran etik dan korupsi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menunjukkan bahwa DPR menjadi lembaga dengan jumlah tersangka korupsi
terbanyak dalam dua dekade terakhir.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa
krisis representasi bukan hanya bersifat struktural, tetapi juga kultural.
Budaya politik transaksional telah merasuki setiap lapisan parlemen, dari pusat
hingga daerah. Kinerja diukur bukan dari seberapa kuat anggota DPR
memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi dari seberapa besar mereka mampu
mengamankan "jatah" dari kekuasaan. Legislator menjadi pelobi
anggaran, bukan pelayan publik. Rakyat menjadi penonton dalam drama politik
yang absurd dan memuakkan. Ketika etika tidak lagi menjadi pijakan, maka setiap
kompromi politik akan berujung pada pengkhianatan. Itulah yang terjadi ketika
wakil rakyat ikut menyusun undang-undang yang jelas-jelas merugikan buruh,
petani, mahasiswa, dan masyarakat adat. Mereka tidak hanya gagal menjalankan
fungsi representasi, tetapi juga aktif terlibat dalam pemiskinan struktural
yang dilegalisasi lewat kebijakan negara.
Ruang Sipil yang Mengecil, Suara
Rakyat yang Dibelokkan, Salah satu dampak paling nyata dari kompromi kekuasaan
yang melibatkan DPR adalah semakin sempitnya ruang partisipasi publik.
Alih-alih memperkuat mekanisme demokrasi partisipatif, DPR justru memproduksi
aturan yang membungkam kritik dan mempersempit kebebasan sipil. RUU Penyiaran,
misalnya, hendak mengatur ruang redaksi media dan konten jurnalisme
investigasi. Ini adalah bentuk represif yang dibungkus dalam bingkai legal.
Alih-alih menyerap aspirasi masyarakat, DPR sering kali menciptakan kebijakan
yang justru bertabrakan dengan kepentingan publik. Dialog publik dikerdilkan
menjadi formalitas, sementara substansi perdebatan dikunci dalam ruang-ruang
elitis. Parlemen menjadi menara gading yang jauh dari rakyat, dan lebih mirip
klub kekuasaan yang hanya peduli pada kelangsungan politikus itu sendiri. Di
sinilah pentingnya menggugat representasi politik secara kritis. Demokrasi
tidak boleh berhenti pada prosedur pemilu. Ia harus terus hidup dalam bentuk partisipasi
aktif, pengawasan, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang melenceng. Dan tugas
DPR adalah memperluas ruang partisipasi itu, bukan malah mempersempitnya.
Menggugat Representasi: Bukan
Antipolitik, Tapi Etika Perlawanan. Menggugat wakil rakyat bukanlah tindakan
anti-politik, melainkan ekspresi dari politik etis. Ini adalah bentuk
perlawanan terhadap banalitas kekuasaan yang menempatkan rakyat hanya sebagai
legitimasi formal. Gugatan ini lahir dari kekecewaan, tetapi juga dari harapan
bahwa demokrasi masih bisa diselamatkan. Kita harus mengembalikan fungsi DPR
sebagai wakil rakyat yang sejati bukan wakil partai, bukan wakil oligarki,
bukan wakil kekuasaan. Itu hanya mungkin terwujud jika sistem politik kita
dirombak secara struktural dan kultural. Sistem pemilu yang mengandalkan suara
terbanyak tanpa kualitas harus dikaji ulang. Partai politik harus direformasi
agar tidak lagi menjadi mesin kekuasaan, tetapi menjadi ruang pembelajaran
politik rakyat. Selain itu, perlu dibangun mekanisme recall atau penarikan
mandat bagi anggota DPR yang tidak menjalankan tugas representatifnya. Rakyat
harus diberi hak untuk mengevaluasi dan mencabut mandat yang telah mereka berikan
jika wakil yang mereka pilih terbukti mengkhianati amanat. Ini adalah bentuk
demokrasi partisipatif yang sesungguhnya.
Harapan di Tengah Kejumudan:
Ruang Kritis yang Tetap Menyala. Di tengah kekecewaan publik terhadap DPR, kita
masih melihat secercah harapan. Munculnya gerakan masyarakat sipil, mahasiswa,
jurnalis, hingga kelompok marjinal yang terus bersuara menunjukkan bahwa
demokrasi belum sepenuhnya mati. Mereka menjadi penjaga akal sehat bangsa yang
menolak tunduk pada kompromi kekuasaan yang merusak.
Kita juga melihat beberapa
anggota DPR yang tetap konsisten memperjuangkan aspirasi rakyat meski harus
melawan arus partai dan tekanan kekuasaan. Mereka adalah pengecualian, tetapi
penting untuk menunjukkan bahwa jalan perubahan itu masih mungkin. Kuncinya
terletak pada rakyat apakah kita memilih untuk diam, atau bersuara. Partisipasi
politik harus diperluas, bukan hanya di kotak suara, tetapi juga dalam
diskursus publik, ruang akademik, dan media sosial. Demokrasi tidak bisa hidup
hanya dengan pemilu. Ia harus disertai dengan kontrol, kritik, dan kesadaran
kolektif bahwa kekuasaan yang tak diawasi adalah sumber dari segala bentuk
penindasan.
Menagih Kembali Janji
Representasi
Sudah saatnya kita menggugat
kembali konsep wakil rakyat. Apakah mereka benar-benar mewakili kita? Apakah
mereka hadir untuk memperjuangkan kepentingan rakyat atau sekadar memperpanjang
masa tinggal dalam lingkar kekuasaan? Gugatan ini bukan bentuk kebencian
terhadap institusi, tetapi bentuk kecintaan terhadap demokrasi itu sendiri.
Representasi politik harus dikembalikan ke khitahnya menjadi alat perjuangan
rakyat, bukan alat kompromi elite. Dan DPR, sebagai lembaga legislatif
tertinggi, harus menjadi cermin dari keragaman dan aspirasi masyarakat, bukan
boneka kekuasaan yang kehilangan roh demokratisnya. Kita tidak butuh wakil yang
hanya pandai bersilat lidah di forum parlemen. Kita butuh wakil yang berani
bersuara ketika rakyat dibungkam, berani menolak ketika kebijakan merugikan
publik, dan berani mundur ketika tidak lagi mampu menjalankan amanat. Karena
menjadi wakil rakyat bukan soal jabatan, tetapi soal tanggung jawab sejarah.
Dan sejarah tak akan mencatat mereka yang diam dalam ketidakadilan.