Notification

×

Iklan

Iklan

Islamisme, Nasionalisme, dan Kapitalisme: Tiga Wajah Ideologi dalam Satu Negara

Rabu, 04 Juni 2025 | 14.56 WIB Last Updated 2025-06-04T07:56:16Z

Anis Nur Aini Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Program Studi Ilmu Politik. (Dok. Istimewa)

OPINI.CO. SURABAYA Ketika negara menjadi medan ideologi dalam lanskap politik kontemporer, negara bukanlah entitas netral yang berdiri di atas semua kepentingan. Ia adalah ruang penuh pertarungan, tempat berbagai ideologi saling mendesak untuk mendominasi arah peradaban. Dalam konteks Indonesia, tiga ideologi besar terus berebut ruang legitimasi: Islamisme, nasionalisme, dan kapitalisme. Ketiganya tidak hanya hadir sebagai pandangan dunia yang berbeda, tetapi sebagai kekuatan yang membentuk realitas politik, ekonomi, hingga budaya masyarakat. 

 

Islamisme menawarkan visi masyarakat ilahiah, nasionalisme memelihara identitas keindonesiaan yang plural, sementara kapitalisme melandasi relasi sosial dengan logika pasar. Pertanyaannya kemudian:  mungkinkah ketiganya berdamai dalam satu negara, atau justru kita sedang menyaksikan pertarungan panjang yang tidak pernah usai. 

 

Islamisme: Jalan Ketuhanan yang Menjadi Alat Kekuasaan 

 

Islamisme, berbeda dengan Islam sebagai agama, adalah ekspresi politik dari ajaran Islam. Ia bukan  semata soal keimanan, melainkan proyek ideologis yang hendak membangun sistem politik berdasarkan  hukum dan nilai-nilai Islam. Dalam praktiknya, Islamisme di Indonesia menjelma dalam berbagai  bentuk dari partai-partai Islam, organisasi keagamaan, hingga gerakan dakwah yang membawa aspirasi  formalisasi syariat dalam kebijakan negara. 

 

Namun, persoalan krusialnya adalah ketika Islamisme menjelma menjadi alat politik. Dalam banyak momen, isu-isu keagamaan dikomodifikasi untuk membentuk citra moral calon pemimpin, untuk menyerang lawan politik, atau bahkan untuk memobilisasi massa demi kepentingan elektoral. Fenomena “politik identitas” yang berbasis agama menjelma menjadi senjata yang memecah belah masyarakat, bukan lagi sebagai spirit moral yang mempersatukan. Lebih jauh, Islamisme dalam ruang publik seringkali berbenturan dengan prinsip demokrasi. Ketika logika ideologi agama menuntut kebenaran tunggal, ia sulit berdampingan dengan prinsip pluralisme dan perbedaan yang menjadi fondasi demokrasi. Negara kemudian terjebak dalam dilema: antara melindungi kebebasan beragama dan mencegah politisasi agama yang mengarah pada eksklusivisme. 

 

Nasionalisme: Wacana Kultural yang Terkikis oleh Pragmatisme 

 

Nasionalisme, sebagai ideologi kebangsaan, lahir dari rahim kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan.  Ia adalah semangat untuk menyatukan keragaman dalam satu ikatan politik yang bernama bangsa. Di Indonesia, nasionalisme menjadi fondasi ideologis sejak awal: dari Sumpah Pemuda hingga Pancasila, dari proklamasi kemerdekaan hingga konstitusi. 

 

Namun, nasionalisme hari ini sedang mengalami dekadensi. Ia direduksi menjadi slogan-slogan kosong  dalam pidato pejabat, tanpa akar praksis yang membela rakyat. Yang lebih menyedihkan, nasionalisme  tidak jarang dipakai untuk menjustifikasi tindakan represif negara terhadap kelompok kritis dengan  dalih menjaga “keutuhan bangsa”. Rakyat yang menuntut keadilan dianggap mengganggu stabilitas  nasional. Nasionalisme juga tampak gagap dalam menghadapi tantangan globalisasi dan kapitalisme.  Ketika pasar bebas mendikte arah kebijakan ekonomi, dan ketika kekuatan modal melampaui batas negara, nasionalisme kehilangan daya tawarnya. Ia terancam menjadi mitos tua yang tak relevan dalam arsitektur dunia yang dipimpin oleh kapital. 

 

Kapitalisme: Ideologi Tanpa Nama yang Mengendalikan Segalanya 

 

Berbeda dengan Islamisme dan nasionalisme yang hadir dalam bentuk simbolik dan naratif, kapitalisme menyusup diam-diam. Ia tidak membutuhkan propaganda. Ia tidak membutuhkan legitimasi moral. Ia bekerja secara sistemik: melalui logika pasar, kompetisi, dan akumulasi modal. 

 

Kapitalisme mengubah negara dari pelindung rakyat menjadi fasilitator investasi. Dalam struktur ini, negara tidak lagi menjadi wasit yang netral, melainkan menjadi aktor aktif dalam reproduksi ketimpangan. Kebijakan pembangunan tidak ditentukan oleh kebutuhan rakyat, tetapi oleh kalkulasi 

 

ekonomi pasar global. Infrastruktur dibangun bukan untuk membuka akses rakyat, melainkan untuk memperlancar aliran komoditas dan modal. Kapitalisme juga mengubah relasi sosial menjadi relasi transaksional. Solidaritas digantikan oleh kompetisi. Pendidikan tidak lagi membentuk manusia merdeka, melainkan buruh korporasi. Media tidak lagi mengabdi pada kebenaran, tetapi pada trafik dan iklan. Dalam iklim ini, manusia dipaksa menjadi konsumen, bukan warga negara. 

 

Yang paling menakutkan dari kapitalisme adalah ia tidak terlihat. Tidak ada “partai kapitalis” atau “organisasi kapitalis”. Tapi ia bekerja melalui seluruh struktur kehidupan: dari kampus, media, birokrasi, hingga institusi agama. Kapitalisme adalah ideologi yang menyamar sebagai keniscayaan. 

 

Pertarungan atau Simbiosis? 

 

Ketika tiga ideologi ini hidup berdampingan dalam satu negara, muncul dua kemungkinan: pertarungan atau simbiosis. Di satu sisi, Islamisme, nasionalisme, dan kapitalisme saling bertentangan dalam nilai dasar. Islamisme menolak sekularisme yang menjadi fondasi kapitalisme. Kapitalisme menggerus nilai nilai kebersamaan yang menjadi dasar nasionalisme. Nasionalisme mencurigai dominasi simbol-simbol keagamaan yang mengancam kohesi kebangsaan. Namun, dalam praktiknya, ketiganya juga bisa saling menopang. Partai nasionalis bisa memanfaatkan Islamisme untuk menggaet suara pemilih konservatif.  Korporasi kapitalis bisa menyuntik dana ke politisi Islamis untuk mendapat perlindungan hukum.  Negara bisa menjadikan agama sebagai alat kontrol moral, sementara membiarkan pasar bekerja tanpa batas. Yang terjadi adalah simbiosis penuh kepentingan, bukan perjuangan ideologis sejati. 

 

Masyarakat sebagai Korban Pertarungan Ideologi 

 

Dalam realitas seperti ini, masyarakat menjadi korban utama. Ketika Islamisme digunakan untuk membungkam kritik, ketika nasionalisme digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, dan ketika kapitalisme digunakan untuk menghisap sumber daya publik, maka rakyat kehilangan agensi politiknya.  Mereka dipaksa memilih antara identitas agama, kebangsaan, atau dompet. Rakyat miskin yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan kesehatan tidak peduli pada jargon ideologi. Bagi mereka, yang penting adalah keadilan konkret. Tapi ideologi-ideologi besar ini justru sering menjauhkan mereka dari keadilan itu. Dalam banyak kasus, mereka hanya menjadi alat mobilisasi, bukan subjek perubahan. 

 

Untuk menuju Politik yang Membebaskan: Refleksi Kritis Maka, yang kita perlukan bukanlah dominasi salah satu ideologi, melainkan kritik terhadap ketiganya. Islamisme perlu dikritik ketika berubah menjadi eksklusif dan antidemokrasi. Nasionalisme harus ditolak ketika menjelma menjadi alat represi.  Kapitalisme harus ditentang ketika melanggengkan eksploitasi dan ketimpangan. 

 

Kita perlu membayangkan politik yang membebaskan. Politik yang tidak didasarkan pada transaksi  kekuasaan, bukan pada simbol agama, bukan pada manipulasi identitas, tapi pada keberpihakan terhadap rakyat. Ideologi seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan belenggu baru. 

 

Negara dan Tiga Wajahnya 

 

Indonesia hari ini adalah potret negara dengan tiga wajah ideologi. Islamisme, nasionalisme, dan kapitalisme hidup berdampingan, saling melengkapi sekaligus saling menegasikan. Di tengah pertarungan itu, rakyat menjadi penonton yang dipaksa memilih wajah mana yang paling “benar”. Namun, politik sejati tidak hadir dari wajah-wajah ideologis itu. Ia hadir dari akar: dari suara rakyat, dari perlawanan terhadap ketidakadilan, dari keberanian untuk membayangkan dunia yang lebih adil dan manusiawi. Maka tugas kita bukan sekadar memilih wajah mana yang dominan, tetapi membongkar topeng-topeng ideologis yang justru menutup mata kita dari kenyataan.


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.

 

×
Berita Terbaru Update