Anis Nur Aini Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Program Studi Ilmu Politik. (Dok. Istimewa)
Islamisme
menawarkan visi masyarakat ilahiah, nasionalisme memelihara identitas
keindonesiaan yang plural, sementara kapitalisme melandasi relasi sosial
dengan logika pasar. Pertanyaannya kemudian: mungkinkah ketiganya
berdamai dalam satu negara, atau justru kita sedang menyaksikan pertarungan
panjang yang tidak pernah usai.
Islamisme:
Jalan Ketuhanan yang Menjadi Alat Kekuasaan
Islamisme,
berbeda dengan Islam sebagai agama, adalah ekspresi politik dari ajaran Islam.
Ia bukan semata soal keimanan, melainkan proyek ideologis yang hendak
membangun sistem politik berdasarkan hukum dan nilai-nilai Islam. Dalam
praktiknya, Islamisme di Indonesia menjelma dalam berbagai bentuk dari
partai-partai Islam, organisasi keagamaan, hingga gerakan dakwah yang membawa
aspirasi formalisasi syariat dalam kebijakan negara.
Namun,
persoalan krusialnya adalah ketika Islamisme menjelma menjadi alat politik.
Dalam banyak momen, isu-isu keagamaan dikomodifikasi untuk membentuk citra
moral calon pemimpin, untuk menyerang lawan politik, atau bahkan untuk
memobilisasi massa demi kepentingan elektoral. Fenomena “politik
identitas” yang berbasis agama menjelma menjadi senjata yang memecah belah
masyarakat, bukan lagi sebagai spirit moral yang mempersatukan. Lebih
jauh, Islamisme dalam ruang publik seringkali berbenturan dengan prinsip
demokrasi. Ketika logika ideologi agama menuntut kebenaran tunggal, ia sulit
berdampingan dengan prinsip pluralisme dan perbedaan yang menjadi fondasi
demokrasi. Negara kemudian terjebak dalam dilema: antara melindungi kebebasan
beragama dan mencegah politisasi agama yang mengarah pada eksklusivisme.
Nasionalisme:
Wacana Kultural yang Terkikis oleh Pragmatisme
Nasionalisme,
sebagai ideologi kebangsaan, lahir dari rahim kolonialisme dan perjuangan
kemerdekaan. Ia adalah semangat untuk menyatukan keragaman dalam satu
ikatan politik yang bernama bangsa. Di Indonesia, nasionalisme menjadi
fondasi ideologis sejak awal: dari Sumpah Pemuda hingga Pancasila, dari
proklamasi kemerdekaan hingga konstitusi.
Namun,
nasionalisme hari ini sedang mengalami dekadensi. Ia direduksi menjadi
slogan-slogan kosong dalam pidato pejabat, tanpa akar praksis yang
membela rakyat. Yang lebih menyedihkan, nasionalisme tidak jarang dipakai
untuk menjustifikasi tindakan represif negara terhadap kelompok kritis
dengan dalih menjaga “keutuhan bangsa”. Rakyat yang menuntut keadilan
dianggap mengganggu stabilitas nasional. Nasionalisme juga tampak gagap
dalam menghadapi tantangan globalisasi dan kapitalisme. Ketika pasar
bebas mendikte arah kebijakan ekonomi, dan ketika kekuatan modal melampaui
batas negara, nasionalisme kehilangan daya tawarnya. Ia terancam menjadi
mitos tua yang tak relevan dalam arsitektur dunia yang dipimpin oleh
kapital.
Kapitalisme:
Ideologi Tanpa Nama yang Mengendalikan Segalanya
Berbeda
dengan Islamisme dan nasionalisme yang hadir dalam bentuk simbolik dan naratif,
kapitalisme menyusup diam-diam. Ia tidak membutuhkan propaganda. Ia tidak
membutuhkan legitimasi moral. Ia bekerja secara sistemik: melalui logika
pasar, kompetisi, dan akumulasi modal.
Kapitalisme
mengubah negara dari pelindung rakyat menjadi fasilitator investasi. Dalam
struktur ini, negara tidak lagi menjadi wasit yang netral, melainkan
menjadi aktor aktif dalam reproduksi ketimpangan. Kebijakan pembangunan
tidak ditentukan oleh kebutuhan rakyat, tetapi oleh kalkulasi
ekonomi
pasar global. Infrastruktur dibangun bukan untuk membuka akses rakyat,
melainkan untuk memperlancar aliran komoditas dan modal. Kapitalisme juga
mengubah relasi sosial menjadi relasi transaksional. Solidaritas
digantikan oleh kompetisi. Pendidikan tidak lagi membentuk manusia merdeka,
melainkan buruh korporasi. Media tidak lagi mengabdi pada kebenaran, tetapi
pada trafik dan iklan. Dalam iklim ini, manusia dipaksa menjadi konsumen,
bukan warga negara.
Yang paling
menakutkan dari kapitalisme adalah ia tidak terlihat. Tidak ada “partai
kapitalis” atau “organisasi kapitalis”. Tapi ia bekerja melalui seluruh
struktur kehidupan: dari kampus, media, birokrasi, hingga institusi agama.
Kapitalisme adalah ideologi yang menyamar sebagai keniscayaan.
Pertarungan
atau Simbiosis?
Ketika tiga
ideologi ini hidup berdampingan dalam satu negara, muncul dua kemungkinan:
pertarungan atau simbiosis. Di satu sisi, Islamisme, nasionalisme, dan
kapitalisme saling bertentangan dalam nilai dasar. Islamisme menolak
sekularisme yang menjadi fondasi kapitalisme. Kapitalisme menggerus nilai nilai
kebersamaan yang menjadi dasar nasionalisme. Nasionalisme mencurigai dominasi
simbol-simbol keagamaan yang mengancam kohesi kebangsaan. Namun, dalam
praktiknya, ketiganya juga bisa saling menopang. Partai nasionalis bisa
memanfaatkan Islamisme untuk menggaet suara pemilih konservatif.
Korporasi kapitalis bisa menyuntik dana ke politisi Islamis untuk mendapat
perlindungan hukum. Negara bisa menjadikan agama sebagai alat kontrol
moral, sementara membiarkan pasar bekerja tanpa batas. Yang terjadi adalah
simbiosis penuh kepentingan, bukan perjuangan ideologis sejati.
Masyarakat
sebagai Korban Pertarungan Ideologi
Dalam
realitas seperti ini, masyarakat menjadi korban utama. Ketika Islamisme
digunakan untuk membungkam kritik, ketika nasionalisme digunakan untuk
melanggengkan kekuasaan, dan ketika kapitalisme digunakan untuk menghisap
sumber daya publik, maka rakyat kehilangan agensi politiknya. Mereka
dipaksa memilih antara identitas agama, kebangsaan, atau dompet. Rakyat miskin
yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan kesehatan tidak peduli pada
jargon ideologi. Bagi mereka, yang penting adalah keadilan konkret. Tapi
ideologi-ideologi besar ini justru sering menjauhkan mereka dari keadilan
itu. Dalam banyak kasus, mereka hanya menjadi alat mobilisasi, bukan subjek
perubahan.
Untuk
menuju Politik yang Membebaskan: Refleksi Kritis Maka, yang kita perlukan
bukanlah dominasi salah satu ideologi, melainkan kritik terhadap
ketiganya. Islamisme perlu dikritik ketika berubah menjadi eksklusif dan
antidemokrasi. Nasionalisme harus ditolak ketika menjelma menjadi alat
represi. Kapitalisme harus ditentang ketika melanggengkan eksploitasi dan
ketimpangan.
Kita perlu
membayangkan politik yang membebaskan. Politik yang tidak didasarkan pada
transaksi kekuasaan, bukan pada simbol agama, bukan pada manipulasi
identitas, tapi pada keberpihakan terhadap rakyat. Ideologi seharusnya
menjadi alat pembebasan, bukan belenggu baru.
Negara dan
Tiga Wajahnya
Indonesia
hari ini adalah potret negara dengan tiga wajah ideologi. Islamisme,
nasionalisme, dan kapitalisme hidup berdampingan, saling melengkapi
sekaligus saling menegasikan. Di tengah pertarungan itu, rakyat menjadi
penonton yang dipaksa memilih wajah mana yang paling “benar”. Namun, politik
sejati tidak hadir dari wajah-wajah ideologis itu. Ia hadir dari akar: dari
suara rakyat, dari perlawanan terhadap ketidakadilan, dari keberanian
untuk membayangkan dunia yang lebih adil dan manusiawi. Maka tugas kita
bukan sekadar memilih wajah mana yang dominan, tetapi membongkar topeng-topeng
ideologis yang justru menutup mata kita dari kenyataan.