![]() |
Buhori Instruktur ASWAJA dan Landasan Amaliyah NU PW GP Ansor Kalbar. (Dok.Istimewa) |
Secara umum, pemahaman yang
tersebar di tengah masyarakat mengenai Haji Akbar adalah ibadah haji
yang prosesi wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah bertepatan dengan hari
Jumat. Keyakinan ini berakar dari anggapan bahwa Nabi Muhammad ﷺ
ketika melaksanakan haji perpisahan (Hajjatul Wada’), melakukan wukuf di
Arafah yang bertepatan dengan hari Jumat. Oleh karena itu, wukuf pada hari Jum`at
diyakini mendatangkan pahala yang berlipat ganda dan bernilai jauh lebih besar.
Pemahaman ini salah satunya
disandarkan pada pernyataan Syekh al-Bahuti dalam kitab Kasyful Qina’ fi
Matnil Iqna’. Beliau menyatakan:
فَإِذَا
اجْتَمَعَ فَضْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَيَوْمِ عَرَفَةَ كَانَ لَهُمَا مَزِيَةٌ
عَلَى سَائِرِ الْأَيَّامِ قِيلَ: وَلِهَذَا اشْتَهَرَ وَصْفُ الْحَجِّ
بِالْأَكْبَرِ، إِذَا كَانَتِ الْوَقْفَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَلِأَنَّ فِيهَا
مُوَافَقَةَ حَجَّةِ النَّبِيِّ ﷺ، فَإِنَّ وَقْفَةَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ كَانَتْ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ
"Apabila keutamaan hari
Jumat dan hari Arafah berkumpul, maka keduanya memiliki keistimewaan atas
seluruh hari lainnya. Dikatakan: oleh karena itu terkenal penyebutan 'haji
akbar' ketika wukuf bertepatan dengan hari Jumat, karena sesuai dengan pelaksanaan
haji Nabi ﷺ,
yang waktu wukufnya bertepatan dengan hari Jumat." (Juz II, halaman 495)
Namun demikian, pemahaman ini
mendapat kritikan tajam dari ulama lain, salah satunya Syekh Abdurrahman
al-Mubarakfuri. Dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi, beliau menyatakan:
قَدْ اشْتَهَرَ
بَيْنَ الْعَوَّامِ أَنَّ يَوْمَ عَرَفَةَ إِذَا وَافَقَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ
الْحَجُّ حَجًّا أَكْبَرَ وَلَا أَصْلَ لَهُ...
"Telah tersebar di
kalangan masyarakat awam bahwa jika hari Arafah bertepatan dengan hari Jumat,
maka itu disebut haji akbar, padahal tidak ada asalnya." (Al-Mubarakfuri,
Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami‘ al-Tirmidzi, Juz IV, halaman 27).
Meski demikian, beliau tidak
menafikan keutamaan wukuf di hari Jumat, bahkan mengutip riwayat yang menyebut
bahwa wukuf di Arafah yang bertepatan dengan hari Jumat lebih utama daripada 70
kali haji yang dilakukan di hari lainnya. Hanya saja, ia mengkritisi penggunaan
istilah Haji Akbar yang tidak berdasar dalil.
نَعَمْ رَوَى
رَزِينٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ كرز أَرْسَلَهُ أَفْضَلُ
الْأَيَّامِ يَوْمُ عَرَفَةَ وَإِذَا وَافَقَ يَوْمَ جُمُعَةٍ فَهُوَ أَفْضَلُ
مِنْ سَبْعِينَ حَجَّةً فِي غَيْرِ يَوْمِ جُمُعَةٍ
Hakikat Haji Akbar dalam Al-Qur’an dan Hadis
Untuk memahami makna yang benar
tentang Haji Akbar, kita perlu merujuk langsung kepada sumber utama
Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis. Dalam Al-Qur’an, istilah Haji Akbar
disebutkan satu kali, yakni dalam Surah At-Taubah (9) ayat 3:
وَأَذَانٌۭ
مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦٓ إِلَى ٱلنَّاسِ يَوْمَ ٱلْحَجِّ ٱلْأَكْبَرِ أَنَّ
ٱللَّهَ بَرِىٓءٌۭ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُۥ...
(التوبة: 3)
Artinya: "Dan (ini adalah) suatu permakluman dari
Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari Haji Akbar, bahwa
sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrik..."
Terjadi perbedaan pandangan di
kalangan mufassirin mengenai makna dari klausa "يوم الحج الأكبر" (Hari Haji
Akbar) pada ayat di atas. Dalam tafsir Mafâtîḥ al-Ghayb (Juz 12 hal. 252),
Imam Fakhruddin ar-Razi mereportase perbedaan pandangan ini, tidak hanya
menyangkut waktu yang dimaksud dengan hari tersebut, tetapi juga alasan di
balik penamaannya sebagai "akbar" (yang lebih besar). Menurutnya,
perbedaan ini dapat dikalsifikasikan menjadi tiga kelompok besar;
Pertama pendapat bahwa
yang dimaksud dengan Haji Akbar adalah hari Arafah, tanggal 9
Dzulhijjah. Pendapat ini dinukil dari sejumlah sahabat terkemuka seperti Ibnu
Abbas dalam riwayat ‘Ikrimah, Umar bin al-Khattab, Sa’id bin al-Musayyib, Ibnu
az-Zubair, serta para tabi’in seperti Aṭā’, Ṭāwūs, dan Mujāhid. Bahkan dalam
salah satu riwayat dari al-Miswar bin Makhramah, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ
sendiri pernah menyampaikan khutbah pada sore hari Arafah dan bersabda:
فإن هذا يوم
الحج الأكبر
...Sesungguhnya hari ini adalah hari haji akbar."
Kedua, Hari Haji Akbar
adalah hari Nahr (10 Dzulhijjah), yaitu hari penyembelihan hewan kurban.
Ini adalah riwayat lain dari Ibnu Abbas melalui Aṭā’, dan merupakan pendapat
dari para tokoh seperti asy-Sya’bi, an-Nakha’i, as-Suddī, serta sebagian
riwayat dari Ali bin Abi Thalib. Al-Mughīrah bin Syu’bah dan Sa’id bin Jubair
juga berpegang pada pendapat ini.
Ketiga, datang dari
Mujāhid yang meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan Hari Haji Akbar adalah seluruh
hari-hari Mina, yaitu tanggal 11 hingga 13 Dzulhijjah. Pendapat ini juga
diikuti oleh Sufyān ats-Tsaurī, yang menyatakan bahwa hari-hari tersebut secara
keseluruhan mencakup pelaksanaan manasik haji yang utama, dan oleh karena itu
disebut sebagai Haji Akbar.
Dari tiga pendapat di atas, tidak
ada satupun yang menyatakan bahwa Haji Akbar adalah haji yang proses wuquf di
Arafah bertepatan dengan hari Jum`at, seperti pemahaman awam di masyarakat.
Selain itu, Imam ar-Razi juga
mengulas latar belakang penamaan "Haji Akbar". Ia menyebutkan
beberapa alasan yang dikemukakan para ulama. Sebagian menyatakan bahwa haji
disebut "akbar" (lebih besar) karena dibandingkan dengan umrah yang
disebut sebagai "الحج
الأصغر" (haji kecil). Ada juga yang menegaskan bahwa penyebutan
"akbar" merujuk pada wukuf di Arafah, karena wukuf adalah
rukun utama dalam ibadah haji yang bila ditinggalkan maka hajinya batal.
Pendapat lain mengatakan bahwa hari itu disebut Haji Akbar karena merupakan
saat bertemunya kaum Muslimin dan musyrikin dalam satu waktu, khususnya
pada tahun ketika pelarangan bagi kaum musyrik untuk berhaji belum diumumkan.
Haji Akbar dalam Pandangan Ulama Fiqih
Ulama Fiqih juga berbeda
pandangan dalam menentukan hari yang dimaksud sebagai Hari Haji Akbar. Imam
An-Nawawi menjelaskan dalam Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadhdhab (8/223, cet.
Dār al-Fikr):
اختلف العلماء
في يوم الحج الأكبر متى هو؛ فقيل: يوم عرفة، والصحيح الذي قاله الشافعي وأصحابنا
وجماهير العلماء وتظاهرت عليه الأحاديث الصحيحة: أنه يوم النحر، وإنما قيل: الحج
الأكبر؛ للاحتراز من الحج الأصغر، وهو العمرة
"Para ulama berbeda
pendapat mengenai kapan Hari Haji Akbar itu; sebagian mengatakan: hari Arafah.
Namun, pendapat yang benar—yang dikatakan oleh Imam Syafi'i, para pengikutnya,
mayoritas ulama, dan didukung oleh hadis-hadis sahih—adalah bahwa Hari Haji
Akbar itu adalah hari Nahr (10 Dzulhijjah). Disebut sebagai Haji Akbar
untuk membedakannya dari Haji Asghar (haji kecil), yaitu umrah."
Selain itu, Ibnu ‘Ābidīn dari
mazhab Hanafi dalam kitab Radd al-Muḥtār (2/622) juga menjelaskan perbedaan
pandangan tersebut dengan menambahkan bahwa ada pula yang mengatakan bahwa Haji
Akbar adalah seluruh hari-hari Mina (11–13 Dzulhijjah), dan ini adalah
pendapatnya Mujāhid dan Sufyān ats-Tsaurī. Mujāhid juga berkata: Haji Akbar
adalah haji qirān (menggabungkan haji dan umrah), dan Haji Asghar
adalah ifrād (haji saja). Sedangkan az-Zuhrī, asy-Sya‘bī, dan ‘Aṭā’
mengatakan: Haji Akbar adalah haji, sedangkan Haji Asghar adalah
umrah.”
Penutup
Mengacu
panda uraian di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan pandangan di
kalangan ulama tafsir, ahli hadis dan ulama fiqih dalam menentukan makna dari
term “Haji Akbar”. Ada yang memahaminya sebagai hari `arafah (9 Dzulhijjah),
ada pula yang memaknainya sebagai hari nahr (10 Dzulhijjah) dan ada
sebagian kecil yang menganggapnya adalah seluruh hari-hari Mina (11–13
Dzulhijjah). Namun menurut jumhur ulama,
haji akbar adalah hari Nahr (10 Dzulhijjah). Penyebutan “haji akbar”
bukan karena wuquf bertepatan hari Jumat, sebagaimana keyakinan sebagian orang,
tetapi karena keutamaan dan keagungan amalan yang terkandung dalam haji itu
sendiri.