Anis Nur Aini Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. (Dok. Ybs)
Mahasiswa bukan sekadar peserta
kuliah yang mengejar indeks prestasi. Ia adalah manusia berpikir,
berkehendak, dan bertindak dalam ruang sosial. Peran historis mahasiswa
sebagai oposisi moral (moral force) terhadap kekuasaan yang menyimpang
kini tampak kabur, tertutupi kabut pragmatisme dan individualisme. Banyak yang
lebih tertarik pada perlombaan mengejar CV, magang di korporasi, atau
sekadar eksis di media sosial, alih-alih mengasah kepekaan terhadap
ketimpangan yang nyata di sekitarnya. Kampus yang dahulu menjadi kawah candradimuka
para pemikir, kini menjelma menjadi pabrik pencetak pekerja siap pakai.
Fenomena ini bukan tanpa sebab.
Kapitalisme global yang merasuk ke setiap lini kehidupan telah mengubah wajah
pendidikan tinggi. Kampus dipaksa tunduk pada logika pasar: efisiensi, produktivitas,
dan kompetisi. Mahasiswa didorong menjadi komoditas: individu yang
dinilai dari sertifikat, prestasi akademik, dan kemampuan menjual diri
dalam pasar tenaga kerja. Tak heran jika ruang-ruang diskusi kritis makin
sepi, tergantikan oleh seminar pengembangan diri yang tak jarang berujung
pada glorifikasi diri.
Padahal, mahasiswa adalah agen
transformasi. Dalam dialektika perubahan sosial, mahasiswa memegang posisi
strategis: memiliki akses terhadap ilmu, tidak terikat kekuasaan, dan memiliki
kebebasan berpikir. Dengan ketiga modal itu, mahasiswa seharusnya menjadi
aktor penggerak, bukan penonton apatis. Saat petani digusur atas nama
pembangunan, saat buruh dibungkam dalam jerat regulasi eksploitatif, saat
hutan-hutan dirampas demi investasi, suara kampus seharusnya menggema
lantang. Diam adalah pengkhianatan.
Tentu, perjuangan mahasiswa hari
ini tidak bisa disamakan secara mentah dengan perjuangan masa lalu. Dulu,
musuh bersama begitu jelas: kolonialisme, rezim otoriter, atau korupsi yang
telanjang. Kini, wajah musuh itu lebih lihai: neoliberalisme berjubah
pembangunan, otoritarianisme digital yang membungkam lewat algoritma,
serta kooptasi gerakan mahasiswa oleh institusi kampus dan negara. Dalam
situasi ini, mahasiswa dituntut untuk memutakhirkan metode perjuangan.
Tidak cukup hanya turun ke jalan, tetapi juga perlu membangun ekosistem intelektual
yang kokoh: menulis, meneliti, membangun opini publik, dan merancang
strategi advokasi jangka panjang.
Kembali ke garis perjuangan bukan
berarti kembali ke romantisme demonstrasi semata. Garis perjuangan hari
ini harus lebih canggih dan terorganisir. Di era digital, mahasiswa bisa
membangun media alternatif, kanal edukasi politik, forum diskusi lintas kampus,
hingga jaringan solidaritas dengan komunitas akar rumput. Gerakan mahasiswa
harus hibrid: bersuara di dunia nyata dan dunia maya, bergerak di kampus
dan di masyarakat.
Selain itu, penting untuk merebut
kembali organisasi kemahasiswaan dari jerat birokratisasi dan kooptasi.
Organisasi intra kampus seperti BEM atau HIMPUNAN sering kali kehilangan
daya kritis karena terlalu sibuk menjadi "mitra kampus" daripada
menjadi oposisi moral. Mahasiswa harus menghidupkan kembali organisasi
sebagai ruang penggemblengan ideologis dan politik. Pendidikan kader
harus dikembalikan pada semangat pembebasan, bukan sekadar pelatihan
manajemen organisasi.
Di tengah krisis iklim,
ketimpangan sosial, intoleransi, dan kemunduran demokrasi, suara mahasiswa
dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Mahasiswa harus kembali mengafirmasi identitas
politiknya: sebagai intelektual organik yang berpihak pada rakyat. Kritis bukan
berarti sekadar nyinyir, melainkan mampu membongkar struktur ketidakadilan
dan menawarkan alternatif.
Kampus tidak boleh menjadi menara
gading yang angkuh, terpisah dari denyut nadi masyarakat. Ia harus menjadi
ruang subversif tempat lahirnya gagasan-gagasan progresif. Dan mahasiswa,
sebagai penghuni kampus, harus menjadi subjek perubahan. Mereka bukan
hanya calon pekerja, tetapi calon pemimpin peradaban.
Kini, saatnya kampus bersuara
agar negara bergema. Saatnya mahasiswa keluar dari kubangan apatisme dan
kembali ke garis perjuangan. Bukan demi heroisme semu, tetapi demi masa depan
bangsa yang lebih adil, setara, dan bermartabat.
Karena jika kampus terus diam,
maka negara akan terus tuli.