Notification

×

Iklan

Iklan

Kampus Bersuara, Negara Bergema: Mengangkat Peran Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan Sosial dan Politik

Sabtu, 24 Mei 2025 | 14.29 WIB Last Updated 2025-05-24T07:33:02Z

Anis Nur Aini Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. (Dok. Ybs)

OPINI.CO. SURABAYA - Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, mahasiswa selalu hadir sebagai lokomotif  perubahan. Sejak era kolonial, masa Orde Lama, hingga Reformasi 1998, suara mahasiswa bergema menembus dinding kekuasaan yang beku. Namun kini, gema itu perlahan meredup di antara tembok-tembok kampus yang lebih sering diramaikan oleh euforia akademik semu, lomba-lomba tak bernas, dan budaya hedonistik yang dikemas apik dalam narasi "self development" tanpa orientasi sosial. Di tengah kompleksitas krisis multidimensi yang melanda negeri ini, pertanyaan paling mendasar perlu diajukan ulang: di manakah posisi mahasiswa hari ini? Apakah kampus masih menjadi ruang lahirnya nalar kritis dan keberpihakan? 

 

Mahasiswa bukan sekadar peserta kuliah yang mengejar indeks prestasi. Ia adalah manusia  berpikir, berkehendak, dan bertindak dalam ruang sosial. Peran historis mahasiswa sebagai oposisi moral (moral force) terhadap kekuasaan yang menyimpang kini tampak kabur, tertutupi kabut pragmatisme dan individualisme. Banyak yang lebih tertarik pada perlombaan mengejar CV, magang di korporasi, atau sekadar eksis di media sosial, alih-alih mengasah kepekaan terhadap ketimpangan yang nyata di sekitarnya. Kampus yang dahulu menjadi kawah candradimuka para pemikir, kini menjelma menjadi pabrik pencetak pekerja siap pakai. 

 

Fenomena ini bukan tanpa sebab. Kapitalisme global yang merasuk ke setiap lini kehidupan telah mengubah wajah pendidikan tinggi. Kampus dipaksa tunduk pada logika pasar: efisiensi, produktivitas, dan kompetisi. Mahasiswa didorong menjadi komoditas: individu yang dinilai dari sertifikat, prestasi akademik, dan kemampuan menjual diri dalam pasar tenaga kerja. Tak heran jika ruang-ruang diskusi kritis makin sepi, tergantikan oleh seminar pengembangan diri yang tak jarang berujung pada glorifikasi diri. 

 

Padahal, mahasiswa adalah agen transformasi. Dalam dialektika perubahan sosial, mahasiswa memegang posisi strategis: memiliki akses terhadap ilmu, tidak terikat kekuasaan, dan memiliki kebebasan berpikir. Dengan ketiga modal itu, mahasiswa seharusnya menjadi aktor penggerak, bukan penonton apatis. Saat petani digusur atas nama pembangunan, saat buruh dibungkam dalam jerat regulasi eksploitatif, saat hutan-hutan dirampas demi investasi, suara kampus seharusnya menggema lantang. Diam adalah pengkhianatan. 

 

Tentu, perjuangan mahasiswa hari ini tidak bisa disamakan secara mentah dengan perjuangan masa lalu. Dulu, musuh bersama begitu jelas: kolonialisme, rezim otoriter, atau korupsi yang telanjang. Kini, wajah musuh itu lebih lihai: neoliberalisme berjubah pembangunan, otoritarianisme digital yang membungkam lewat algoritma, serta kooptasi gerakan mahasiswa oleh institusi kampus dan negara. Dalam situasi ini, mahasiswa dituntut untuk memutakhirkan metode perjuangan. Tidak cukup hanya turun ke jalan, tetapi juga perlu membangun ekosistem intelektual yang kokoh: menulis, meneliti, membangun opini publik, dan merancang strategi advokasi jangka panjang. 

 

Kembali ke garis perjuangan bukan berarti kembali ke romantisme demonstrasi semata. Garis perjuangan hari ini harus lebih canggih dan terorganisir. Di era digital, mahasiswa bisa  membangun media alternatif, kanal edukasi politik, forum diskusi lintas kampus, hingga  jaringan solidaritas dengan komunitas akar rumput. Gerakan mahasiswa harus hibrid: bersuara  di dunia nyata dan dunia maya, bergerak di kampus dan di masyarakat. 

 

Selain itu, penting untuk merebut kembali organisasi kemahasiswaan dari jerat birokratisasi dan  kooptasi. Organisasi intra kampus seperti BEM atau HIMPUNAN sering kali kehilangan daya kritis karena terlalu sibuk menjadi "mitra kampus" daripada menjadi oposisi moral. Mahasiswa  harus menghidupkan kembali organisasi sebagai ruang penggemblengan ideologis dan politik.  Pendidikan kader harus dikembalikan pada semangat pembebasan, bukan sekadar pelatihan  manajemen organisasi. 

 

Di tengah krisis iklim, ketimpangan sosial, intoleransi, dan kemunduran demokrasi, suara mahasiswa dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Mahasiswa harus kembali mengafirmasi identitas politiknya: sebagai intelektual organik yang berpihak pada rakyat. Kritis bukan berarti sekadar nyinyir, melainkan mampu membongkar struktur ketidakadilan dan menawarkan alternatif. 

 

Kampus tidak boleh menjadi menara gading yang angkuh, terpisah dari denyut nadi masyarakat. Ia harus menjadi ruang subversif tempat lahirnya gagasan-gagasan progresif. Dan mahasiswa, sebagai penghuni kampus, harus menjadi subjek perubahan. Mereka bukan hanya  calon pekerja, tetapi calon pemimpin peradaban. 

 

Kini, saatnya kampus bersuara agar negara bergema. Saatnya mahasiswa keluar dari kubangan apatisme dan kembali ke garis perjuangan. Bukan demi heroisme semu, tetapi demi masa depan bangsa yang lebih adil, setara, dan bermartabat. 

 

Karena jika kampus terus diam, maka negara akan terus tuli.


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.

 

×
Berita Terbaru Update