
Penulis: Nuraini Rahayu Nasution Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta.
Psikologi
menyebutnya sebagai teori gaya keterikatan (attachment style theory)
yang dikembangkan oleh John Bowlby dan Mary Ainsworth pada tahun 1960an. Mereka
menemukan bahwa pola asuh di masa kecil sangat membentuk cara kita menjaga
hubungan interpersonal di masa dewasa. Jika sejak kecil kita merasa aman dan
diterima, kita cenderung memiliki secure attachment, rasa percaya bahwa
cinta disekitar bisa stabil. Sebaliknya, jika sering diabaikan atau kehilangan
kehangtan, kita bisa tumbuh dengan anxious tipe yang selalu khawatir
ditinggalkan atau bahkan avoidant tipe yang terlalu takut untuk
mendekat.
Masalahnya,
dunia modern ini tidak memberikan ruang bagi rasa aman tersebut. Kita hidup
dalam budaya yang “fast respon”, di mana perhatian digital adalah ukuran
cinta. Balasan terhadap sebuah pesan menjadi validasi, dan putusnya komunikasi
seringkali dianggap sebuah penolakan. Dari pemikiran tersebut, muncullah
generasi yang was-was jika pesannya tidak segera dibalas, yang menganggap diam
sebagai kehilangan. Secara neurologis, otak kita meresponsnya seperti ancaman, melepaskan
hormone stress, membuat jantung berdebar, dan pikiran panik. Tak heran jika “ghosting”
terasa seperti luka kecil yang sulit dijelaskan, ringan di permukaan, namun
menyentuh lapisan terdalam kebutuhan manusia akan penerimaan.
Lalu,
ada orang yang terkesan tangguh dan mandiri. Mereka yang jarang menunjukkan
emosinya cenderung lebih suka meninggalkan situasi sebelum mendapat luka. Dalam
dunia psikologi, perilaku ini dikenal dengan istilah avoidant attachment
yaitu strategi bertahan yang dibangun dari pengalaman keyakinan bahwa kedekatan
sering berujung pada luka. Mereka bukan tidak ingin dekat, hanya saja mereka
tidak tahu bagaimana tetap merasa aman saat dekat dalam suatu keterikatan.
Dunia
digital membawa pola-pola hubungan ini semakin nyata dan keseharian kita. Media
sosial dapat secara tidak sengaja membuat kita tanpa sadar terus membandingkan
hubungan diri sendiri dengan kebahagiaan orang lain. Di satu sisi, kita haus
akan kedekatan dan validasi dan di sisi lain kita pasti takut akan kehilangan
kendali atas diri sendiri. Beberapa penelitian di Indoensia menyatakan bahwa
lebih dari 30% sebagian Gen Z mengalami tantangan psikologis yang berpengaruh
pada kualitas hubungan interpersonal mereka. Dunia maya mengajarkan cara
menampilkan kasih, tapi tidak mengajarkan cara merasa aman dalam kasih itu
sendiri.
Namun
kabar baiknya, pola-pola ini bisa bukan bersifat permanen. Dalam psikologi
modern, ada istilah earned secure attachment sebuah istilah yang diperkenalkan
oleh para peneliti seperti Mary Main dan Judith Solomon untuk menggambarkan
kemampuan seseorang dalam membangun rasa aman baru lewat kesadaran diri dan
pengalaman hubungan yang sehat. Di mana prosesnya dimulai dari kejujuran atau
kesadaran diri: “apakah aku marah karena takut dilupakan? Atau karena takut
kecewa?” dari pengenalan kecil seperti ini, kita belajar untuk tenang, memberikan
jarak yang sehat, dan memahami bahwa cinta tidak selalu diukur dari seberapa
cepat seseorang membalas perhatian yang kita berikan.
Mungkin,
tugas kita saat ini bukan lagi mencari seseorang yang akan bertahan selamanya, tapi
belajar untuk tenang saat orang lain memilih jalan yang berbeda. Rasa aman bukan
datang dari kepastian orang lain, melainkan dari kemampuan menerima di dalam
diri kita bahwa cinta bisa hadir, bisa juga berubah bentuk dan tetap nyata.
“Karena
pada akhirnya, kita tidak benar-benar takut ditinggalkan. Kita hanya takut tak
diingat tak meninggalkan jejak pada hati seseorang di tengah dunia yang
bergerak terlalu cepat”.