Notification

×

Iklan

Iklan

Berikut Teori Psikologi Attachment Mengurai Persoalan Rasa “Takut Kehilangan”

Selasa, 09 Desember 2025 | 16.24 WIB Last Updated 2025-12-09T09:24:22Z

Penulis: Nuraini Rahayu Nasution Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta. 

OPINI.CO.SURAKARTA - Di zaman yang serba cepat ini, kehilangan seseorang bukan lagi sebuah hal yang besar. Cukup “dilhat” tanpa dibalas, dan kita mulai bertanya-tanya bahkan menyalahkan diri sendiri. Kini, hubungan kita dengan orang lain terasa cepat berubah, terkadang kita merasa paling dekat namun bisa juga merasa paling jauh dan berjarak. Mungkin karena tanpa kita sadari, kita masih membawa cara lama dari masa kecil, mulai dari bagaimana kita belajar mencintai, berusaha tetap aman dan bertahan sendiri dari rasa takut kehilangan.

 

Psikologi menyebutnya sebagai teori gaya keterikatan (attachment style theory) yang dikembangkan oleh John Bowlby dan Mary Ainsworth pada tahun 1960an. Mereka menemukan bahwa pola asuh di masa kecil sangat membentuk cara kita menjaga hubungan interpersonal di masa dewasa. Jika sejak kecil kita merasa aman dan diterima, kita cenderung memiliki secure attachment, rasa percaya bahwa cinta disekitar bisa stabil. Sebaliknya, jika sering diabaikan atau kehilangan kehangtan, kita bisa tumbuh dengan anxious tipe yang selalu khawatir ditinggalkan atau bahkan avoidant tipe yang terlalu takut untuk mendekat.

 

Masalahnya, dunia modern ini tidak memberikan ruang bagi rasa aman tersebut. Kita hidup dalam budaya yang “fast respon”, di mana perhatian digital adalah ukuran cinta. Balasan terhadap sebuah pesan menjadi validasi, dan putusnya komunikasi seringkali dianggap sebuah penolakan. Dari pemikiran tersebut, muncullah generasi yang was-was jika pesannya tidak segera dibalas, yang menganggap diam sebagai kehilangan. Secara neurologis, otak kita meresponsnya seperti ancaman, melepaskan hormone stress, membuat jantung berdebar, dan pikiran panik. Tak heran jika “ghosting” terasa seperti luka kecil yang sulit dijelaskan, ringan di permukaan, namun menyentuh lapisan terdalam kebutuhan manusia akan penerimaan. 

 

Lalu, ada orang yang terkesan tangguh dan mandiri. Mereka yang jarang menunjukkan emosinya cenderung lebih suka meninggalkan situasi sebelum mendapat luka. Dalam dunia psikologi, perilaku ini dikenal dengan istilah avoidant attachment yaitu strategi bertahan yang dibangun dari pengalaman keyakinan bahwa kedekatan sering berujung pada luka. Mereka bukan tidak ingin dekat, hanya saja mereka tidak tahu bagaimana tetap merasa aman saat dekat dalam suatu keterikatan.

 

Dunia digital membawa pola-pola hubungan ini semakin nyata dan keseharian kita. Media sosial dapat secara tidak sengaja membuat kita tanpa sadar terus membandingkan hubungan diri sendiri dengan kebahagiaan orang lain. Di satu sisi, kita haus akan kedekatan dan validasi dan di sisi lain kita pasti takut akan kehilangan kendali atas diri sendiri. Beberapa penelitian di Indoensia menyatakan bahwa lebih dari 30% sebagian Gen Z mengalami tantangan psikologis yang berpengaruh pada kualitas hubungan interpersonal mereka. Dunia maya mengajarkan cara menampilkan kasih, tapi tidak mengajarkan cara merasa aman dalam kasih itu sendiri.

 

Namun kabar baiknya, pola-pola ini bisa bukan bersifat permanen. Dalam psikologi modern, ada istilah earned secure attachment sebuah istilah yang diperkenalkan oleh para peneliti seperti Mary Main dan Judith Solomon untuk menggambarkan kemampuan seseorang dalam membangun rasa aman baru lewat kesadaran diri dan pengalaman hubungan yang sehat. Di mana prosesnya dimulai dari kejujuran atau kesadaran diri: “apakah aku marah karena takut dilupakan? Atau karena takut kecewa?” dari pengenalan kecil seperti ini, kita belajar untuk tenang, memberikan jarak yang sehat, dan memahami bahwa cinta tidak selalu diukur dari seberapa cepat seseorang membalas perhatian yang kita berikan.

 

Mungkin, tugas kita saat ini bukan lagi mencari seseorang yang akan bertahan selamanya, tapi belajar untuk tenang saat orang lain memilih jalan yang berbeda. Rasa aman bukan datang dari kepastian orang lain, melainkan dari kemampuan menerima di dalam diri kita bahwa cinta bisa hadir, bisa juga berubah bentuk dan tetap nyata.

 

“Karena pada akhirnya, kita tidak benar-benar takut ditinggalkan. Kita hanya takut tak diingat tak meninggalkan jejak pada hati seseorang di tengah dunia yang bergerak terlalu cepat”.

 

Penulis: Nuraini Rahayu Nasution Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta. 

×
Berita Terbaru Update