OPINI.CO. MALANG - Polemik wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kembali mencuat dan menimbulkan perdebatan tajam di ruang publik. Sebagai generasi muda yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan semangat kerakyatan, saya menilai bahwa langkah tersebut merupakan kekeliruan besar, baik secara moral, historis, maupun konstitusional.
Syaifudin Zuhri Ketua DPC GMNI Kabupaten Malang. (Foto: Dokpri)
Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tidak dapat dilepaskan dari praktik kekuasaan yang otoriter dan terpusat. Padahal, sila keempat Pancasila mengamanatkan penyelenggaraan negara yang berdasarkan “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Namun, yang terjadi justru sebaliknya: rakyat dibungkam, oposisi disingkirkan, dan kebebasan berpendapat dipasung.
Lebih jauh, Orde Baru juga gagal mewujudkan sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan ekonomi pada masa itu cenderung elitis dan berpihak pada konglomerat, bukan rakyat kecil. Petani, buruh, dan nelayan hidup dalam kesenjangan yang tajam, sementara tanah serta sumber daya alam dikuasai segelintir kelompok ekonomi kuat. Ketimpangan sosial yang diwariskan dari masa itu masih terasa hingga kini.
Dari sisi kemanusiaan, rezim Soeharto juga menyisakan luka sejarah yang mendalam. Sejumlah peristiwa kelam seperti tragedi 1965, Talangsari 1989, penembakan misterius (Petrus) pada dekade 1980-an, hingga tragedi kemanusiaan Mei 1998, menjadi bukti nyata pelanggaran terhadap sila kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab. Ribuan nyawa melayang, ribuan lainnya hilang tanpa jejak — dan hingga kini, banyak korban yang belum mendapat keadilan.
Karena itu, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan hanya bentuk amnesia sejarah, tetapi juga pengkhianatan terhadap cita-cita luhur bangsa yang diperjuangkan oleh para pendiri republik. Gelar pahlawan adalah penghargaan tertinggi yang semestinya diberikan kepada mereka yang memperjuangkan keadilan, kemanusiaan, dan kebebasan — bukan kepada sosok yang justru menodai nilai-nilai tersebut.
Pancasila bukan alat legitimasi kekuasaan, melainkan pedoman moral dan ideologis bangsa. Maka, ketika rezim Orde Baru terbukti mengaburkan makna Pancasila demi kepentingan politiknya, kita wajib menolak segala upaya pemutihan sejarah atas nama penghormatan.
Dengan tegas saya katakan, langkah untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah bentuk kekeliruan historis yang harus dihentikan. Penghargaan semacam itu justru akan melukai nurani rakyat dan menistakan mereka yang menjadi korban ketidakadilan di masa lalu.
Pahlawan sejati bukan mereka yang memerintah dengan tangan besi, melainkan yang berjuang untuk membebaskan manusia dari penindasan.