![]() |
| Foto: Ahmad Husnul Yakin Mahasantri Ma'had Aly Lirboyo |
Saya ini pengamat bola, yang juga
seorang manusia biasa. Sama seperti Anda, saya sering terkejut oleh drama di
balik layar lapangan hijau. Kita sering melihat pemain bola seperti dewa: kuat,
kaya, dan tak tersentuh. Padahal, mereka sama-sama rapuh. Terutama ketika
tekanan yang datang bukan lagi dari lawan di kotak penalti, melainkan dari
jutaan jari di media sosial.
Sebut saja Ronald Araujo. Bek asal
Uruguay ini adalah representasi ideal bek modern: kekar, kuat duel, dan punya pride ala Amerika Latin. Bagi
fans Barcelona, ia adalah harapan untuk melihat lini belakang yang kokoh
pasca-era emas Puyol-Pique.
Namun, dua pekan lalu, sebuah kartu
merah mahal di Liga Champions seperti meruntuhkan segalanya.
Kartu
Merah yang Mengoyak Jiwa
Anda pasti tahu bagaimana rasanya
membuat kesalahan besar di tempat kerja, di hadapan banyak orang. Rasa malu itu
menjalar, membakar perut, dan membuat kita ingin menghilang. Bayangkan Araujo:
kesalahan itu disaksikan seluruh dunia, berujung kekalahan tim, dan dibayar
tuntas dengan caci maki tak berkesudahan dari penjuru internet.
Laporan terbaru mengatakan, Araujo
mengalami masalah mental. Tekanan itu terlalu tinggi. Kritik tak hanya datang
dari culés yang frustrasi, tapi juga dari media dan mungkin, bisikan di
ruang ganti.
Ini adalah ironi yang menyedihkan:
pria yang bertanggung jawab membangun tembok pertahanan, justru gagal membangun
perisai bagi jiwanya sendiri. Mental Araujo down.
Lantas, apa yang dilakukan Araujo?
Alih-alih langsung meminta maaf dan
berlatih dua kali lipat untuk membuktikan diri, Melansir Mundo Deportivo,
Araujo malah ngambek (menepi) dari ingar bingar sepak bola dan terbang
ke Yerusalem.
Konon, ia mencari kekuatan
spiritual. Ia mengunjungi tempat-tempat suci, tempat di mana Yesus menghabiskan
hari-hari-Nya. Tujuannya: menimba kekuatan dari iman.
Ini adalah pemandangan yang aneh dan
agak menjengkelkan.
Kita, sebagai Muslim, mungkin
bertanya-tanya: Kemana iman itu selama ini berada?
Apakah iman itu hanya dibutuhkan
saat Anda sedang down, saat karier Anda di ujung tanduk, saat caci maki
publik sudah terasa panas di telinga? Ketika semua baik-baik saja, ketika gaji
mengalir deras dan Anda dipuji sebagai bek masa depan, apakah Araujo ingat
untuk mencari kekuatan spiritual?
Mentalitas
Lemah atau Mencari Kekuatan Tertinggi?
Melihat tingkah Araujo ini, kita justru mendapat pelajaran
yang jauh lebih dalam, khususnya bagi kita yang beriman.
Araujo sedang mencontohkan Mentalitas Instant Healing.
Begitu masalah datang, ia butuh quick fix, butuh tempat suci yang konon
bisa memberikan kekuatan instan. Padahal, kekuatan sejati itu tidak instan.
Kekuatan itu ditempa setiap hari, saat senang maupun susah.
Jujur saja, melihat ini, banyak
orang mungkin akan mencibir. "Araujo gambaran tidak kuat mental,"
begitu mungkin batin kita. Kita dengan mudah membandingkannya dengan bek
tangguh yang sudah kita analisis sebelumnya, Harry Maguire.
Maguire dicap "bek dungu"
bertahun-tahun, diancam dibunuh, tapi memilih bertahan dan panen tepuk tangan.
Di Barcelona sendiri, Araujo bisa menengok rekan setimnya, Raphinha, atau
Ferran Torres, yang sempat dicemooh habis-habisan karena underperform
tapi kini perlahan kembali dipercaya. Kita juga ingat nasib Gerrard Martin yang
harus berjuang keras mengubah cemoohan menjadi sanjungan.
Kita diajari bahwa syukur dan sabar adalah dua sisi mata
uang yang harus dipegang teguh. Syukur saat menang, sabar dan tawakal saat
kalah atau dicerca. Iman itu seharusnya menjadi perisai sebelum, saat, dan
sesudah masalah datang. Bukan menjadi emergency exit saat mental
health sedang chaos.
Jika Araujo benar-benar kuat imannya, seharusnya salam
atau tackle yang salah tidak akan merusak ketenangan batinnya. Ia akan
melihatnya sebagai hal yang
perlu diintrospeksi, dan langsung berjuang lagi.
Kembali
dengan Perisai Baja
Bagaimana lagi,
sudah kadung Araujo pergi
ke Yerusalem sebagai korban tekanan, sebagai bek yang rapuh. Namun, kita
berharap ia kembali dengan sesuatu yang jauh lebih kuat daripada otot kaki atau
ketepatan tackle. Ia harus kembali dengan perisai baja yang ditempa oleh
keyakinan dan iman.
Jika Maguire mengajarkan kita bahwa
gigih bertahan adalah kunci resiliensi. Araujo menunjukkan bahwa ketika tekanan
sudah mencapai titik didih, menarik diri sejenak untuk mencari makna dan
kekuatan spiritual adalah bentuk ketahanan mental yang paling tulus.
Semoga
kepulangannya dari Israel nanti tidak hanya membawa ketenangan sesaat, tapi
juga kesadaran bahwa perjuangan mental itu harus dibangun setiap hari, bukan
hanya saat kartu merah mengancam tamatnya karier di Barcelona. Jangan sampai
Yerusalem hanya menjadi gimmick sementara, sebelum kartu merah
berikutnya datang dan datang.
Penulis: Ahmad Husnul Yakin (Mahasantri Ma'had Aly Lirboyo & Alumni Pondok Pesantren Mancengan Darussalam Bangkalan)
