Notification

×

Iklan

Iklan

Araujo Mengajari Kita: Iman Sejati Bukan Emergency Exit saat Karier Terancam Tamat!

Jumat, 12 Desember 2025 | 10.47 WIB Last Updated 2025-12-12T03:48:57Z

Foto: Ahmad Husnul Yakin Mahasantri Ma'had Aly Lirboyo
OPINI.CO Ronald Araujo, bek kekar milik Barcelona, ternyata punya jiwa yang rapuh. Setelah kartu merahnya di Liga Champions, ia memilih Yerusalem sebagai tempat pelarian, mengajari kita bahwa bahkan tembok pertahanan terkuat pun butuh kekuatan spiritual.


Saya ini pengamat bola, yang juga seorang manusia biasa. Sama seperti Anda, saya sering terkejut oleh drama di balik layar lapangan hijau. Kita sering melihat pemain bola seperti dewa: kuat, kaya, dan tak tersentuh. Padahal, mereka sama-sama rapuh. Terutama ketika tekanan yang datang bukan lagi dari lawan di kotak penalti, melainkan dari jutaan jari di media sosial.


Sebut saja Ronald Araujo. Bek asal Uruguay ini adalah representasi ideal bek modern: kekar, kuat duel, dan punya pride ala Amerika Latin. Bagi fans Barcelona, ia adalah harapan untuk melihat lini belakang yang kokoh pasca-era emas Puyol-Pique.


Namun, dua pekan lalu, sebuah kartu merah mahal di Liga Champions seperti meruntuhkan segalanya.


Kartu Merah yang Mengoyak Jiwa


Anda pasti tahu bagaimana rasanya membuat kesalahan besar di tempat kerja, di hadapan banyak orang. Rasa malu itu menjalar, membakar perut, dan membuat kita ingin menghilang. Bayangkan Araujo: kesalahan itu disaksikan seluruh dunia, berujung kekalahan tim, dan dibayar tuntas dengan caci maki tak berkesudahan dari penjuru internet.


Laporan terbaru mengatakan, Araujo mengalami masalah mental. Tekanan itu terlalu tinggi. Kritik tak hanya datang dari culés yang frustrasi, tapi juga dari media dan mungkin, bisikan di ruang ganti.


Ini adalah ironi yang menyedihkan: pria yang bertanggung jawab membangun tembok pertahanan, justru gagal membangun perisai bagi jiwanya sendiri. Mental Araujo down.


Lantas, apa yang dilakukan Araujo?


Alih-alih langsung meminta maaf dan berlatih dua kali lipat untuk membuktikan diri, Melansir Mundo Deportivo, Araujo malah ngambek (menepi) dari ingar bingar sepak bola dan terbang ke Yerusalem.


Konon, ia mencari kekuatan spiritual. Ia mengunjungi tempat-tempat suci, tempat di mana Yesus menghabiskan hari-hari-Nya. Tujuannya: menimba kekuatan dari iman.


Ini adalah pemandangan yang aneh dan agak menjengkelkan.


Kita, sebagai Muslim, mungkin bertanya-tanya: Kemana iman itu selama ini berada?


Apakah iman itu hanya dibutuhkan saat Anda sedang down, saat karier Anda di ujung tanduk, saat caci maki publik sudah terasa panas di telinga? Ketika semua baik-baik saja, ketika gaji mengalir deras dan Anda dipuji sebagai bek masa depan, apakah Araujo ingat untuk mencari kekuatan spiritual?


Mentalitas Lemah atau Mencari Kekuatan Tertinggi?


Melihat tingkah Araujo ini, kita justru mendapat pelajaran yang jauh lebih dalam, khususnya bagi kita yang beriman.


Araujo sedang mencontohkan Mentalitas Instant Healing. Begitu masalah datang, ia butuh quick fix, butuh tempat suci yang konon bisa memberikan kekuatan instan. Padahal, kekuatan sejati itu tidak instan. Kekuatan itu ditempa setiap hari, saat senang maupun susah.


Jujur saja, melihat ini, banyak orang mungkin akan mencibir. "Araujo gambaran tidak kuat mental," begitu mungkin batin kita. Kita dengan mudah membandingkannya dengan bek tangguh yang sudah kita analisis sebelumnya, Harry Maguire.


Maguire dicap "bek dungu" bertahun-tahun, diancam dibunuh, tapi memilih bertahan dan panen tepuk tangan. Di Barcelona sendiri, Araujo bisa menengok rekan setimnya, Raphinha, atau Ferran Torres, yang sempat dicemooh habis-habisan karena underperform tapi kini perlahan kembali dipercaya. Kita juga ingat nasib Gerrard Martin yang harus berjuang keras mengubah cemoohan menjadi sanjungan.


Kita diajari bahwa syukur dan sabar adalah dua sisi mata uang yang harus dipegang teguh. Syukur saat menang, sabar dan tawakal saat kalah atau dicerca. Iman itu seharusnya menjadi perisai sebelum, saat, dan sesudah masalah datang. Bukan menjadi emergency exit saat mental health sedang chaos.


Jika Araujo benar-benar kuat imannya, seharusnya salam atau tackle yang salah tidak akan merusak ketenangan batinnya. Ia akan melihatnya sebagai hal yang perlu diintrospeksi, dan langsung berjuang lagi.


Kembali dengan Perisai Baja


Bagaimana lagi, sudah kadung Araujo pergi ke Yerusalem sebagai korban tekanan, sebagai bek yang rapuh. Namun, kita berharap ia kembali dengan sesuatu yang jauh lebih kuat daripada otot kaki atau ketepatan tackle. Ia harus kembali dengan perisai baja yang ditempa oleh keyakinan dan iman.


Jika Maguire mengajarkan kita bahwa gigih bertahan adalah kunci resiliensi. Araujo menunjukkan bahwa ketika tekanan sudah mencapai titik didih, menarik diri sejenak untuk mencari makna dan kekuatan spiritual adalah bentuk ketahanan mental yang paling tulus.


Semoga kepulangannya dari Israel nanti tidak hanya membawa ketenangan sesaat, tapi juga kesadaran bahwa perjuangan mental itu harus dibangun setiap hari, bukan hanya saat kartu merah mengancam tamatnya karier di Barcelona. Jangan sampai Yerusalem hanya menjadi gimmick sementara, sebelum kartu merah berikutnya datang dan datang.


Penulis: Ahmad Husnul Yakin (Mahasantri Ma'had Aly Lirboyo & Alumni Pondok Pesantren Mancengan Darussalam Bangkalan)

 

×
Berita Terbaru Update