Notification

×

Iklan

Iklan

Menimbang Pernyataan Sri Mulyani, Meneguhkan Komitmen Negara terhadap Kesejahteraan Pendidik

Minggu, 10 Agustus 2025 | 14.00 WIB Last Updated 2025-08-10T07:12:28Z

Syaifuddin Ketua DPC GMNI Kabupaten Malang. (Dok. Ybs)
OPINI.CO.MALANG
- Pendidikan adalah hak fundamental setiap warga negara, sekaligus kewajiban negara untuk memenuhinya secara adil dan merata. Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan negara berkewajiban membiayainya dengan anggaran minimal 20% dari APBN maupun APBD. Dalam konteks inilah, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mempertanyakan apakah seluruh gaji guru dan dosen harus dibiayai oleh negara menimbulkan reaksi publik yang luas, terutama dari kalangan pendidik dan pemerhati pendidikan.


Sebagai Ketua DPC GMNI Kabupaten Malang, saya memandang isu ini tidak bisa sekadar dilihat dari sudut pandang teknokratis fiskal. Pernyataan tersebut menyentuh inti dari kontrak sosial kita sebagai bangsa: bahwa pendidikan, bersama para guru dan dosen yang menjadi garda depannya, adalah investasi strategis untuk membangun peradaban, bukan sekadar pos belanja dalam neraca keuangan negara.


1. Antara Realitas Fiskal dan Amanat Konstitusi


Memang benar, dalam pengelolaan anggaran negara, Menteri Keuangan menghadapi tantangan serius. Anggaran pendidikan yang besar—sekitar Rp 724,3 triliun pada 2025—sebagian besar terserap untuk belanja pegawai. Hal ini sering meninggalkan ruang yang sempit untuk inovasi, penguatan riset, dan peningkatan kualitas sarana prasarana pendidikan.


Namun, pendekatan murni efisiensi fiskal tidak boleh mengaburkan prinsip dasar bahwa kesejahteraan guru dan dosen adalah bagian tak terpisahkan dari kualitas pendidikan itu sendiri. Menganggap gaji pendidik semata-mata sebagai beban belanja, tanpa melihat dampak jangka panjangnya terhadap mutu pendidikan dan daya saing bangsa, adalah reduksi yang berbahaya.


2. Potensi Salah Persepsi dan Luka Sosial


Pernyataan Sri Mulyani menjadi viral bukan hanya karena substansinya, tetapi juga karena konteks psikologis dan sosial yang melingkupinya. Di tengah fakta bahwa banyak guru honorer menerima gaji jauh di bawah upah layak, ucapan yang terkesan mempertanyakan kewajiban negara dapat dianggap tidak sensitif.


Para guru dan dosen bukan hanya pegawai; mereka adalah agen perubahan sosial, penjaga akal sehat bangsa, dan pembentuk karakter generasi penerus. Ketika negara mempertanyakan kewajibannya terhadap mereka, maka muncul kesan bahwa kontribusi mereka tidak sepenuhnya diakui. Kesan inilah yang memicu reaksi emosional di publik.


3. Hak Pendidikan Tidak Boleh Dialihkan


Hak atas pendidikan, termasuk kesejahteraan tenaga pendidik, bukanlah hak yang bisa digantikan sepenuhnya oleh partisipasi masyarakat atau swasta. Memang, kolaborasi dengan sektor non-pemerintah penting untuk memperkuat ekosistem pendidikan, tetapi kolaborasi ini harus bersifat pelengkap, bukan pengganti.


Jika pembiayaan kesejahteraan guru terlalu diserahkan pada mekanisme pasar atau donasi, maka akan lahir ketimpangan struktural: sekolah-sekolah di wilayah kaya akan lebih mudah mendapatkan dukungan, sementara sekolah di daerah miskin akan semakin tertinggal. Hal ini jelas bertentangan dengan cita-cita pemerataan pendidikan yang menjadi mandat konstitusi.


4. Solusi: Efisiensi Anggaran tanpa Mengorbankan Hak Pendidik


Kita harus mengakui adanya kebutuhan reformasi dalam tata kelola anggaran pendidikan. Tidak jarang dana yang seharusnya untuk peningkatan mutu pembelajaran justru terbuang pada kegiatan administratif atau proyek fisik yang kurang relevan. Namun, solusi atas masalah ini tidak boleh ditempuh dengan mengurangi komitmen negara terhadap gaji guru dan dosen.


Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:


  1. Skema insentif berbasis kinerja – Memberikan penghargaan tambahan bagi guru dan dosen yang menunjukkan kinerja unggul dalam meningkatkan hasil belajar siswa atau menghasilkan karya ilmiah berkualitas.
  2. Penguatan dana abadi pendidikan – Menyisihkan sebagian anggaran tak terserap untuk memperkuat dana abadi, namun memastikan dana tersebut kembali ke sektor pendidikan dalam bentuk beasiswa, pelatihan, dan riset.
  3. Optimalisasi pengawasan anggaran – Mengintegrasikan sistem audit berbasis teknologi untuk memantau penggunaan anggaran sekolah dan kampus secara real time, sehingga kebocoran dapat ditekan.
  4. Penguatan peran daerah – Mendorong pemerintah daerah agar lebih proaktif mengalokasikan APBD untuk mendukung kesejahteraan guru non-PNS di wilayahnya.
  5. Meneguhkan Peran Strategis Pendidik dalam Pembangunan Bangsa


Pendidikan bukan hanya persoalan transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter, etika, dan kesadaran kebangsaan. Guru dan dosen adalah ujung tombak yang menentukan kualitas manusia Indonesia. Oleh karena itu, memandang kesejahteraan mereka sebagai investasi adalah langkah yang rasional, bahkan dalam logika ekonomi sekalipun.


Negara-negara maju menempatkan pendidik sebagai profesi strategis dengan penghargaan yang layak. Mereka memahami bahwa daya saing ekonomi di era global tidak lahir dari infrastruktur fisik semata, tetapi dari kualitas sumber daya manusia yang dibentuk oleh pendidikan yang bermutu.


Penutup: Keseimbangan antara Efisiensi dan Keadilan


Pernyataan Sri Mulyani seharusnya menjadi pintu masuk untuk membahas reformasi tata kelola anggaran pendidikan secara menyeluruh, bukan sekadar memicu perdebatan emosional. Kita perlu memastikan bahwa efisiensi fiskal berjalan seiring dengan pemenuhan hak konstitusional rakyat atas pendidikan.


Sebagai Ketua DPC GMNI Kabupaten Malang, saya menegaskan bahwa kesejahteraan guru dan dosen bukanlah pilihan, melainkan kewajiban negara. Dalam kerangka Marhaenisme yang kami yakini, negara harus berpihak pada kaum yang mengabdi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Efisiensi memang penting, tetapi tanpa keberpihakan, efisiensi hanya akan menjadi alat untuk menutupi ketidakadilan.


Kita boleh mencari cara baru, menggandeng pihak swasta, atau memperkuat partisipasi masyarakat. Namun, komitmen negara terhadap pendidik harus tetap menjadi fondasi yang kokoh. Sebab, tanpa pendidik yang sejahtera, cita-cita kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan tinggal menjadi retorika di atas kertas.

×
Berita Terbaru Update