Notification

×

Iklan

Iklan

PKC PMII Kalbar Lakukan Bedah Putusan MK Terkait Pemisahan Pemilu dengan Dialog Interaktif

Minggu, 06 Juli 2025 | 18.58 WIB Last Updated 2025-07-06T12:23:35Z

Dialog Interaktif PKC PMII Kalimantan Barat. (Dok. Istimewa)
OPINI.CO. PONTIANAK – Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Kalimantan Barat menggelar forum diskusi bertajuk “Membedah Putusan MK: Pemisah Pemilu, Solusi atau Masalah Baru?” yang diselenggarakan di Warkop Aming Podomoro, Sabtu (5/7/2025).


Kegiatan ini menjadi wadah pertemuan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari penyelenggara pemilu, kalangan akademisi, hingga praktisi hukum, guna membahas dampak dan konsekuensi dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan daerah.


Empat narasumber terlibat dalam dialog ini, yakni Komisioner Bawaslu Kalbar Faisal Riza, Anggota KPU Kalbar Suryadi, Pengamat Politik Dr. Syf. Ema Rahmaniah, dan Praktisi Hukum Kalbar Khairuddin Zacky.


Faisal Riza dalam pemaparannya mengungkapkan pentingnya diskusi semacam ini untuk mengedukasi masyarakat dan membuka ruang evaluasi terhadap dasar dan konsekuensi dari putusan MK. Ia menilai bahwa keterlibatan publik dalam memahami putusan hukum sangat diperlukan.


“Kami ingin masyarakat memperoleh pemahaman mendalam terkait alasan, dasar hukum, serta potensi dampak yang timbul akibat pemisahan pemilu ini,” terang Faisal.


Suryadi selaku anggota KPU Kalbar menilai putusan MK ini membawa angin segar bagi penyelenggara pemilu. Menurutnya, pemisahan pelaksanaan pemilu akan memberikan ruang yang lebih memadai untuk menyusun regulasi serta mempersiapkan teknis pelaksanaan.


“Dengan adanya jarak waktu yang cukup, proses teknis dan regulatif bisa dirancang secara sistematis, sehingga pelaksanaan pemilu dapat berjalan lebih optimal,” jelasnya.


Sementara itu, Dr. Ema Rahmaniah menekankan pentingnya kontrol kritis dari kalangan mahasiswa terhadap kebijakan politik nasional. Ia menyoroti perlunya perbaikan menyeluruh di bidang literasi pemilu, pembiayaan politik, rekrutmen penyelenggara, serta peran aktif partai politik dalam mendidik pemilih, termasuk memperjuangkan keterwakilan perempuan secara proporsional.


Dari sudut pandang hukum, Khairuddin Zacky menilai bahwa perubahan sistem pemilu ini harus segera diikuti dengan langkah hukum yang terstruktur. Ia menyarankan revisi mendesak terhadap UU Pemilu dan Pilkada, penyusunan regulasi transisi bagi penjabat kepala daerah, serta skema pendanaan yang jelas.


“Penyelarasan antara putusan MK dengan Pasal 22E UUD 1945 sangat penting agar tidak memunculkan tumpang tindih norma atau pasal yang multitafsir,” ujar Zacky.


Ia juga menekankan bahwa proses perumusan aturan transisi harus dilakukan secara hati-hati, melibatkan publik, serta mempertimbangkan prinsip judicial restraint agar demokrasi tetap terjaga secara substantif dan konstitusional.


“Pemerintah bersama DPR RI kini berada dalam posisi strategis untuk merumuskan arah reformasi pemilu yang komprehensif, inklusif, dan berorientasi masa depan,” pungkasnya.


Dialog ini menjadi refleksi dan ruang strategis dalam mengawal demokrasi ke depan. PMII Kalbar berharap inisiatif ini dapat menjadi kontribusi intelektual mahasiswa dalam memperkuat kesadaran hukum dan politik masyarakat.

×
Berita Terbaru Update