Notification

×

Iklan

Iklan

Kritik atas Kebijakan Pemblokiran Rekening Tidak Aktif oleh PPATK

Kamis, 31 Juli 2025 | 16.09 WIB Last Updated 2025-07-31T09:09:45Z

Syaifudin Zuhri Ketua DPC GMNI Kabupaten Malang. (Dok. Ybs)
OPINI.CO. MALANG - Belakangan, publik kembali dihadapkan pada sebuah kebijakan yang menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat, yaitu pemblokiran rekening bank tidak aktif yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kebijakan ini diklaim bertujuan untuk mencegah praktik pencucian uang, pendanaan terorisme, serta penyalahgunaan rekening tidur untuk aktivitas ilegal lainnya. Namun, di balik maksud baik tersebut, muncul sejumlah persoalan fundamental yang patut kita kritisi secara serius.


Sebagai Ketua DPC GMNI Kabupaten Malang, saya memandang kebijakan ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi formalitas pemberantasan tindak kejahatan keuangan. Kebijakan ini harus dikaji secara menyeluruh agar tidak menimbulkan korban baru dari kalangan masyarakat, khususnya mereka yang secara tidak sengaja menjadi terdampak.


Transparansi yang Dipertanyakan


Masalah mendasar yang muncul dari kebijakan ini adalah rendahnya transparansi. Hingga kini, tidak ada penjelasan detail kepada publik mengenai parameter apa saja yang digunakan untuk menetapkan sebuah rekening sebagai “tidak aktif.” Apakah semata karena tidak ada transaksi dalam periode tertentu? Ataukah ada faktor lain yang menjadi pertimbangan? Ketidakjelasan ini membuat masyarakat bingung dan khawatir, apalagi ketika rekening mereka tiba-tiba diblokir tanpa pemberitahuan yang memadai.


Bank, sebagai institusi yang seharusnya melindungi dan melayani nasabah, kerap hanya menyampaikan informasi setelah pemblokiran terjadi. Kondisi ini jelas merugikan nasabah. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengantisipasi jika tidak ada pemberitahuan sebelumnya? Padahal, rekening bank adalah salah satu sarana utama masyarakat dalam mengelola aset, menabung hasil kerja keras, dan bahkan menerima bantuan sosial dari pemerintah.


Potensi Merugikan Masyarakat Kecil


Yang lebih ironis, kebijakan ini justru berpotensi paling merugikan kelompok masyarakat kecil. Banyak warga yang membuka rekening hanya untuk keperluan tertentu, seperti menerima bantuan sosial, beasiswa, atau pembayaran hasil kerja proyek. Mereka mungkin tidak melakukan transaksi rutin setiap bulan. Dalam logika PPATK, rekening semacam ini bisa saja dianggap tidak aktif dan otomatis diblokir.


Alih-alih memukul sindikat kriminal yang menggunakan rekening fiktif, kebijakan ini justru bisa menekan masyarakat kecil yang sama sekali tidak terlibat dalam tindak pidana keuangan. Akibatnya, rasa ketidakadilan akan semakin menguat dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan bisa terkikis.


Hak Nasabah yang Terabaikan


Kebijakan pemblokiran ini juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai perlindungan hak nasabah. Dalam negara hukum, setiap warga negara berhak atas kepastian hukum dan perlindungan atas kepemilikannya. Rekening bank adalah salah satu bentuk kepemilikan yang sah. Pemblokiran tanpa prosedur yang jelas dan mekanisme keberatan yang efektif bisa dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang.


Seyogianya, PPATK bersama otoritas perbankan menyediakan sistem notifikasi yang jelas, termasuk pemberitahuan jauh-jauh hari sebelum pemblokiran dilakukan. Selain itu, harus ada jalur keberatan yang mudah diakses oleh nasabah untuk membuktikan bahwa rekening mereka tidak digunakan untuk tindak kriminal. Tanpa itu semua, kebijakan ini cenderung represif dan tidak menjunjung tinggi prinsip keadilan.


Konsekuensi terhadap Kepercayaan Publik


Kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan merupakan modal penting dalam menjaga stabilitas sistem ekonomi nasional. Jika kebijakan ini dijalankan secara terburu-buru tanpa memperhatikan aspek keadilan dan transparansi, masyarakat bisa kehilangan keyakinan terhadap dunia perbankan. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi kecenderungan masyarakat menyimpan uang di luar sistem perbankan karena takut rekening mereka diblokir sewaktu-waktu.


Hal ini tentu kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam mendorong inklusi keuangan. Bagaimana mungkin kita ingin meningkatkan jumlah masyarakat yang melek perbankan, sementara kebijakan yang ada justru menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran?


Perlunya Keseimbangan antara Keamanan dan Keadilan


Saya memahami bahwa pencegahan tindak kejahatan keuangan memang mendesak dilakukan. Akan tetapi, pendekatan yang digunakan harus seimbang. Jangan sampai kebijakan yang lahir atas nama pemberantasan pencucian uang justru melanggar hak-hak dasar warga negara.


PPATK bersama pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ini dengan melibatkan masyarakat sipil, akademisi, serta lembaga perlindungan konsumen. Standar “rekening tidak aktif” harus dibuat lebih rasional dan mempertimbangkan realitas sosial-ekonomi masyarakat. Prosedur notifikasi, tenggat waktu yang wajar, serta mekanisme banding harus dijalankan agar nasabah memiliki ruang pembelaan diri.


Selain itu, pendekatan berbasis teknologi dapat digunakan untuk membedakan antara rekening tidur yang berpotensi disalahgunakan dengan rekening yang hanya jarang bertransaksi. Analisis berbasis risiko (risk-based approach) akan jauh lebih adil dibandingkan pendekatan pukul rata seperti sekarang.


Penutup


Kebijakan pemblokiran rekening tidak aktif oleh PPATK adalah sebuah langkah yang di atas kertas tampak menjanjikan untuk memberantas kejahatan keuangan. Namun dalam praktiknya, tanpa transparansi, tanpa perlindungan hak nasabah, dan tanpa mekanisme keberatan yang jelas, kebijakan ini hanya akan menambah daftar panjang keresahan masyarakat terhadap sistem perbankan.


Sebagai Ketua DPC GMNI Kabupaten Malang, saya menegaskan bahwa kebijakan publik, sekecil apa pun dampaknya, harus selalu berpijak pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika tidak, maka cita-cita untuk membangun sistem keuangan yang sehat, aman, dan inklusif hanyalah ilusi belaka.

×
Berita Terbaru Update