Erlin Wulandari Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya. (Dok. Ybs)
Namun, yang menjadi pertanyaan besar: apakah sistem hukum kita juga kini ikut-ikutan tunduk pada logika viral? Apakah keadilan harus lebih dulu menjadi perbincangan massal agar proses hukum benar-benar berjalan?
Fenomena
yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa banyak kasus baru memperoleh
perhatian dari aparat penegak hukum setelah terlebih dahulu ramai dibicarakan
di jagat maya. Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual,
hingga ketidakadilan terhadap kelompok marginal—semuanya seperti menunggu
giliran untuk viral sebelum ditindaklanjuti secara serius. Kesannya, hukum baru
berjalan ketika warganet sudah ribut, tagar-tagar protes muncul di Twitter, dan
video singkat tersebar luas di berbagai media sosial.
Tak
heran jika banyak yang mulai bertanya-tanya: apakah keadilan hanya berlaku bagi
mereka yang bisa membuat kasusnya viral?
Saya
teringat satu kisah yang mengharukan. Seorang ibu kehilangan anaknya karena
dugaan kelalaian medis. Ia telah berupaya selama berbulan-bulan mencari
kejelasan dari pihak rumah sakit maupun kepolisian, namun tidak mendapat
jawaban yang memuaskan. Proses penyelidikan pun berjalan lambat. Hingga suatu
ketika, ia memutuskan menceritakan pengalamannya melalui TikTok. Kisahnya
kemudian menyebar luas dan menarik perhatian publik. Tak lama setelah itu,
pihak-pihak terkait mulai bereaksi. Bahkan media massa nasional turut
mengangkat peristiwa ini.
Muncul
kemudian pertanyaan dari banyak orang: “Jika cerita ini tidak viral, apakah
aparat akan tetap bertindak?”
Kisah
seperti ini bukan hal baru. Ia menunjukkan bagaimana sistem hukum kita kerap
kali bereaksi bukan karena adanya laporan atau bukti kuat, tetapi karena adanya
desakan publik. Padahal, dalam prinsip negara hukum yang ideal, penegakan hukum
seharusnya dilakukan atas dasar fakta dan keadilan, bukan karena tekanan
popularitas.
Kondisi
ini memperlihatkan bahwa akses terhadap keadilan terasa tidak setara. Mereka
yang memiliki pengaruh, kenalan, atau kemampuan menciptakan sorotan publik
lebih mudah mendapatkan perlakuan hukum yang cepat dan serius. Sementara di
sisi lain, mereka yang tidak punya suara atau platform, sering kali diabaikan
meski kasus yang mereka hadapi sama seriusnya.
Masalah
ini bukan semata soal prosedur hukum yang lamban, melainkan juga tentang krisis
kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Ketika masyarakat merasa hukum
tak berpihak pada mereka, mereka pun mencari cara lain agar suara mereka
terdengar. Dan salah satu cara yang paling ampuh saat ini adalah dengan
memanfaatkan kekuatan media sosial. Netizen yang bersatu bisa menekan lembaga,
membuka ruang diskusi, bahkan mendorong tindakan nyata dari aparat yang
sebelumnya diam.
Namun,
cara ini juga menyimpan bahaya tersendiri. Ketika keadilan hanya berlaku bagi
mereka yang bisa viral, maka kasus-kasus penting yang tidak sempat menjadi
sorotan publik bisa saja tenggelam dan terlupakan. Jika keadilan diukur dari
jumlah views, likes, dan retweet, maka kita sedang membangun sistem yang tidak
adil dan rawan timpang. Akibatnya, masyarakat dibagi dua: yang terdengar dan
yang terabaikan.
Meski
begitu, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan sistem hukum. Dalam banyak kasus,
tekanan dari masyarakat memang menghasilkan langkah konkret. Media sosial telah
menjadi ruang kontrol publik yang efektif, sekaligus alat advokasi yang
memperkuat suara masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum di
tengah masyarakat mulai tumbuh. Orang-orang mulai berani angkat bicara,
mengawal proses hukum, dan menuntut transparansi.
Tetapi,
kesadaran ini harus dibarengi dengan pengetahuan hukum yang memadai. Kita
sebagai warga negara wajib memahami hak dan kewajiban dasar kita. Tak harus
menjadi sarjana hukum, cukup tahu kapan dan bagaimana melapor, serta bagaimana
menyampaikan kritik yang bijak dan bertanggung jawab. Tanpa bekal pengetahuan
tersebut, media sosial justru bisa menjadi senjata yang salah arah: menimbulkan
fitnah, menyebarkan informasi yang salah, atau merusak nama baik seseorang
tanpa proses hukum yang jelas.
Sistem
hukum yang ideal adalah yang berdiri tegak sejak awal, bukan karena tekanan
warganet, tetapi karena keadilan itu sendiri memang harus ditegakkan. Bukan
karena viral, tetapi karena adanya komitmen terhadap kebenaran. Bukan karena
trending topic, tetapi karena adanya integritas dari aparat dan lembaga hukum.
Tentu
kita semua mendambakan Indonesia yang adil bagi seluruh rakyatnya—baik mereka
yang viral maupun yang tidak. Suara publik memang penting, tapi suara hukum
harus lebih jernih dan lebih konsisten. Media sosial sebaiknya menjadi alat
bantu, bukan satu-satunya jalan untuk mendapatkan keadilan.
Jika
cita-cita kita adalah membangun negara hukum yang sejati, maka kita harus
memastikan bahwa sistem hukum tidak tergantung pada keramaian, tetapi tegak
karena kebenaran. Dan di sanalah keadilan sejati akan benar-benar terasa dan
berpihak pada siapa pun yang membutuhkannya.