Notification

×

Iklan

Iklan

Haruskah Keadilan Menunggu Viral?

Minggu, 13 Juli 2025 | 23.17 WIB Last Updated 2025-07-13T16:17:03Z

Erlin Wulandari Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya. (Dok. Ybs)

OPINI.CO. SURABAYA - Di era digital yang serba cepat ini, hampir segalanya bisa menjadi sorotan dalam sekejap. Sebuah lagu bisa viral hanya dalam satu malam, makanan tradisional bisa mendadak hits berkat satu unggahan menarik, dan seseorang bisa dikenal luas hanya dari satu video yang mengundang simpati atau perhatian publik. Kehidupan kini dipengaruhi oleh algoritma media sosial yang menentukan apa yang pantas dikonsumsi publik.


Namun, yang menjadi pertanyaan besar: apakah sistem hukum kita juga kini ikut-ikutan tunduk pada logika viral? Apakah keadilan harus lebih dulu menjadi perbincangan massal agar proses hukum benar-benar berjalan?


Fenomena yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa banyak kasus baru memperoleh perhatian dari aparat penegak hukum setelah terlebih dahulu ramai dibicarakan di jagat maya. Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, hingga ketidakadilan terhadap kelompok marginal—semuanya seperti menunggu giliran untuk viral sebelum ditindaklanjuti secara serius. Kesannya, hukum baru berjalan ketika warganet sudah ribut, tagar-tagar protes muncul di Twitter, dan video singkat tersebar luas di berbagai media sosial.


Tak heran jika banyak yang mulai bertanya-tanya: apakah keadilan hanya berlaku bagi mereka yang bisa membuat kasusnya viral?


Saya teringat satu kisah yang mengharukan. Seorang ibu kehilangan anaknya karena dugaan kelalaian medis. Ia telah berupaya selama berbulan-bulan mencari kejelasan dari pihak rumah sakit maupun kepolisian, namun tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Proses penyelidikan pun berjalan lambat. Hingga suatu ketika, ia memutuskan menceritakan pengalamannya melalui TikTok. Kisahnya kemudian menyebar luas dan menarik perhatian publik. Tak lama setelah itu, pihak-pihak terkait mulai bereaksi. Bahkan media massa nasional turut mengangkat peristiwa ini.


Muncul kemudian pertanyaan dari banyak orang: “Jika cerita ini tidak viral, apakah aparat akan tetap bertindak?”


Kisah seperti ini bukan hal baru. Ia menunjukkan bagaimana sistem hukum kita kerap kali bereaksi bukan karena adanya laporan atau bukti kuat, tetapi karena adanya desakan publik. Padahal, dalam prinsip negara hukum yang ideal, penegakan hukum seharusnya dilakukan atas dasar fakta dan keadilan, bukan karena tekanan popularitas.


Kondisi ini memperlihatkan bahwa akses terhadap keadilan terasa tidak setara. Mereka yang memiliki pengaruh, kenalan, atau kemampuan menciptakan sorotan publik lebih mudah mendapatkan perlakuan hukum yang cepat dan serius. Sementara di sisi lain, mereka yang tidak punya suara atau platform, sering kali diabaikan meski kasus yang mereka hadapi sama seriusnya.


Masalah ini bukan semata soal prosedur hukum yang lamban, melainkan juga tentang krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Ketika masyarakat merasa hukum tak berpihak pada mereka, mereka pun mencari cara lain agar suara mereka terdengar. Dan salah satu cara yang paling ampuh saat ini adalah dengan memanfaatkan kekuatan media sosial. Netizen yang bersatu bisa menekan lembaga, membuka ruang diskusi, bahkan mendorong tindakan nyata dari aparat yang sebelumnya diam.


Namun, cara ini juga menyimpan bahaya tersendiri. Ketika keadilan hanya berlaku bagi mereka yang bisa viral, maka kasus-kasus penting yang tidak sempat menjadi sorotan publik bisa saja tenggelam dan terlupakan. Jika keadilan diukur dari jumlah views, likes, dan retweet, maka kita sedang membangun sistem yang tidak adil dan rawan timpang. Akibatnya, masyarakat dibagi dua: yang terdengar dan yang terabaikan.


Meski begitu, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan sistem hukum. Dalam banyak kasus, tekanan dari masyarakat memang menghasilkan langkah konkret. Media sosial telah menjadi ruang kontrol publik yang efektif, sekaligus alat advokasi yang memperkuat suara masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum di tengah masyarakat mulai tumbuh. Orang-orang mulai berani angkat bicara, mengawal proses hukum, dan menuntut transparansi.


Tetapi, kesadaran ini harus dibarengi dengan pengetahuan hukum yang memadai. Kita sebagai warga negara wajib memahami hak dan kewajiban dasar kita. Tak harus menjadi sarjana hukum, cukup tahu kapan dan bagaimana melapor, serta bagaimana menyampaikan kritik yang bijak dan bertanggung jawab. Tanpa bekal pengetahuan tersebut, media sosial justru bisa menjadi senjata yang salah arah: menimbulkan fitnah, menyebarkan informasi yang salah, atau merusak nama baik seseorang tanpa proses hukum yang jelas.


Sistem hukum yang ideal adalah yang berdiri tegak sejak awal, bukan karena tekanan warganet, tetapi karena keadilan itu sendiri memang harus ditegakkan. Bukan karena viral, tetapi karena adanya komitmen terhadap kebenaran. Bukan karena trending topic, tetapi karena adanya integritas dari aparat dan lembaga hukum.


Tentu kita semua mendambakan Indonesia yang adil bagi seluruh rakyatnya—baik mereka yang viral maupun yang tidak. Suara publik memang penting, tapi suara hukum harus lebih jernih dan lebih konsisten. Media sosial sebaiknya menjadi alat bantu, bukan satu-satunya jalan untuk mendapatkan keadilan.


Jika cita-cita kita adalah membangun negara hukum yang sejati, maka kita harus memastikan bahwa sistem hukum tidak tergantung pada keramaian, tetapi tegak karena kebenaran. Dan di sanalah keadilan sejati akan benar-benar terasa dan berpihak pada siapa pun yang membutuhkannya.

×
Berita Terbaru Update