Notification

×

Iklan

Iklan

Gen Z dan Kursi Kekuasaan: Ketika Kepemimpinan Diukur dari Angka, Bukan Aksi

Kamis, 31 Juli 2025 | 15.33 WIB Last Updated 2025-07-31T08:33:14Z

As'ad Fauzuddin Khunaifi Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya. (Dok. Ybs)
OPINI.CO. SURABAYA - Di negeri ini umur bukan sekadar angka. Ia bisa menjelma jadi gerbang yang terbuka lebar atau pagar tinggi yang rapatnya minta ampun. Ia bisa jadi syarat administratif, bisa juga jadi alasan halus untuk menolak tanpa menyakiti. Kalau kamu masih muda, pintar, dan berani ambil inisiatif, hati-hati. Sebab di banyak tempat yang kamu bawa itu belum cukup. Kadang satu-satunya hal yang bisa membuatmu dianggap serius adalah usia. Entah itu cukup tua, cukup lelah, atau cukup sering ikut rapat tanpa perlu paham isinya.

Lihat saja Sahdan Arya Maulana. Umurnya belum genap dua puluh tapi sudah dipercaya memimpin sebagai Ketua RT di Rawa Badak Selatan Jakarta Utara. Dan bukan sekadar jadi simbolisasi anak muda dalam struktur warga. Ia betulan kerja. Jalan rusak sepanjang seratus meter dicor. Sumber dana dari kas RT dan gotong royong. Tak ada drama panjang. Tak perlu tunggu undangan musyawarah atau konfirmasi ke kelurahan. Ada masalah langsung tangani. Sahdan dan tim kecil Gen Z-nya membuktikan bahwa kepemimpinan tidak harus ditunggu sampai uban datang. Kadang ia datang bersama rasa peduli dan keberanian mengeksekusi yang selama ini langka.


Tapi ya Sahdan belum bisa jadi Kepala Desa. Bukan karena belum pengalaman atau belum tahu medan. Tapi karena KTP-nya belum menunjukkan angka dua puluh lima. Padahal jadi perangkat desa boleh dari usia dua puluh tahun. Menikah silakan. Dipenjara bisa. Tapi jadi kepala desa belum cukup umur katanya. Seakan kemampuan memimpin itu akan tiba-tiba muncul persis ketika ulang tahun ke dua puluh lima seolah angka itu adalah tongkat sihir.


Yang lebih absurd untuk jadi anggota DPR RI lembaga tinggi yang bisa mengatur negara mengesahkan undang-undang dan menyetujui anggaran triliunan seseorang cukup berusia dua puluh satu tahun. Tapi untuk mengurus desa kecil yang bahkan penduduknya bisa dihitung pakai jemari satu kelas daring Universitas Terbuka harus menunggu usia dua puluh lima. Alasannya karena tanggung jawabnya besar. Kadang saya curiga jangan-jangan negara ini memang lebih takut pada pemimpin muda daripada keputusan politik yang salah arah.


Anak muda sering dicap manja pemalas atau tidak tahan banting. Tapi yang sering luput dipahami mereka hanya berpikir beda. Mereka melihat proses yang lambat dan bertanya kenapa harus begini terus. Mereka bukan tidak mau ikut berjuang. Mereka hanya mempertanyakan kenapa jalan yang tersedia begitu sempit lambat dan penuh syarat yang tidak masuk akal.


Sayangnya cara pikir seperti ini sering dianggap tidak sopan terhadap aturan main. Padahal justru dari pertanyaan-pertanyaan itulah inovasi bisa muncul. Tapi tetap saja mereka sering dianggap belum cukup layak untuk memimpin.


Kalau begini terus jangan heran kalau anak muda menjauh dari ruang-ruang formal pengabdian. Bukan karena tidak peduli tapi karena terlalu sering disuruh tunggu dulu. Dibilang belum cukup matang belum kenyang pengalaman. Padahal yang tua-tua juga sering salah langkah. Bedanya mereka melakukannya dengan tenang dan stempel resmi.


Sahdan adalah satu dari sedikit contoh bahwa kepemimpinan bisa datang lebih awal dari yang dibayangkan. Tapi sistem belum siap. Kita masih lebih sibuk mengukur usia ketimbang keberanian. Kita lebih takut pemimpin muda gagal ketimbang membiarkan sistem lama yang jelas-jelas stagnan tetap berjalan.


Dan kalau semua ini dibiarkan jangan salahkan kalau anak muda akhirnya memilih jalan lain. Bukan karena mereka lari tapi karena mereka tidak diberi ruang untuk berdiri.

 

 

 

×
Berita Terbaru Update