![]() |
As'ad Fauzuddin Khunaifi Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya. (Dok. Ybs) |
Lihat saja Sahdan
Arya Maulana. Umurnya belum genap dua puluh tapi sudah dipercaya memimpin
sebagai Ketua RT di Rawa Badak Selatan Jakarta Utara. Dan bukan sekadar jadi
simbolisasi anak muda dalam struktur warga. Ia betulan kerja. Jalan rusak
sepanjang seratus meter dicor. Sumber dana dari kas RT dan gotong royong. Tak
ada drama panjang. Tak perlu tunggu undangan musyawarah atau konfirmasi ke
kelurahan. Ada masalah langsung tangani. Sahdan dan tim kecil Gen Z-nya
membuktikan bahwa kepemimpinan tidak harus ditunggu sampai uban datang. Kadang
ia datang bersama rasa peduli dan keberanian mengeksekusi yang selama ini
langka.
Tapi ya Sahdan
belum bisa jadi Kepala Desa. Bukan karena belum pengalaman atau belum tahu
medan. Tapi karena KTP-nya belum menunjukkan angka dua puluh lima. Padahal jadi
perangkat desa boleh dari usia dua puluh tahun. Menikah silakan. Dipenjara
bisa. Tapi jadi kepala desa belum cukup umur katanya. Seakan kemampuan memimpin
itu akan tiba-tiba muncul persis ketika ulang tahun ke dua puluh lima seolah
angka itu adalah tongkat sihir.
Yang lebih absurd
untuk jadi anggota DPR RI lembaga tinggi yang bisa mengatur negara mengesahkan
undang-undang dan menyetujui anggaran triliunan seseorang cukup berusia dua
puluh satu tahun. Tapi untuk mengurus desa kecil yang bahkan penduduknya bisa
dihitung pakai jemari satu kelas daring Universitas Terbuka harus menunggu usia
dua puluh lima. Alasannya karena tanggung jawabnya besar. Kadang saya curiga
jangan-jangan negara ini memang lebih takut pada pemimpin muda daripada
keputusan politik yang salah arah.
Anak muda sering
dicap manja pemalas atau tidak tahan banting. Tapi yang sering luput dipahami
mereka hanya berpikir beda. Mereka melihat proses yang lambat dan bertanya
kenapa harus begini terus. Mereka bukan tidak mau ikut berjuang. Mereka hanya
mempertanyakan kenapa jalan yang tersedia begitu sempit lambat dan penuh syarat
yang tidak masuk akal.
Sayangnya cara
pikir seperti ini sering dianggap tidak sopan terhadap aturan main. Padahal
justru dari pertanyaan-pertanyaan itulah inovasi bisa muncul. Tapi tetap saja
mereka sering dianggap belum cukup layak untuk memimpin.
Kalau begini terus
jangan heran kalau anak muda menjauh dari ruang-ruang formal pengabdian. Bukan
karena tidak peduli tapi karena terlalu sering disuruh tunggu dulu. Dibilang
belum cukup matang belum kenyang pengalaman. Padahal yang tua-tua juga sering salah
langkah. Bedanya mereka melakukannya dengan tenang dan stempel resmi.
Sahdan adalah satu
dari sedikit contoh bahwa kepemimpinan bisa datang lebih awal dari yang
dibayangkan. Tapi sistem belum siap. Kita masih lebih sibuk mengukur usia
ketimbang keberanian. Kita lebih takut pemimpin muda gagal ketimbang membiarkan
sistem lama yang jelas-jelas stagnan tetap berjalan.
Dan kalau semua ini
dibiarkan jangan salahkan kalau anak muda akhirnya memilih jalan lain. Bukan
karena mereka lari tapi karena mereka tidak diberi ruang untuk berdiri.