![]() |
Naila Mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Nahdlatul Ulama Kalbar. (Dok. Ybs) |
Apakah anak muda sekarang
masih peduli dengan budaya lokal?
Kalau kita lihat
sepintas, memang terlihat kalau minat anak muda terhadap budaya daerah mulai
berkurang. Misalnya saja, banyak yang merasa malu memakai baju adat karena
dianggap kuno. Ada juga yang merasa tidak penting untuk belajar bahasa daerah
karena lebih sering pakai bahasa Indonesia campur Inggris. Belum lagi kalau
disuruh menari tarian tradisional, kebanyakan langsung minder dan menolak
karena merasa itu bukan bagian dari dunia mereka. Semua ini jadi alasan kenapa
banyak orang berfikir bahwa generasi muda mulai menjauh dari budayanya sendiri.
Tapi, kalau di lihat
lebih dalam, sebenarnya tidak sesederhana itu. Anak muda masa kini bukan tidak
peduli, mereka cuma punya cara sendiri dalam mengekspresikan kepeduliannya.
Mereka tetap tertarik sama budaya lokal, tapi ingin mengenalnya dengan cara
yang lebih dekat dengan keseharian mereka yang cepat, kreatif, dan relevan
dengan dunia digital.
Contohnya banyak sekali.
Sekarang banyak konten budaya yang di bikin oleh anak muda dan viral di media
sosial. Ada yang bikin video tutorial menari tradisional dengan iringan lagu
remix, ada yang bahas filosofi batik sambil nge-vlog, bahkan ada juga yang
bikin konten mukbang makanan tradisional sambil cerita sejarahnya. Mereka
menggunakan platform kekinian seperti TikTok, Instagram, dan YouTube untuk
menyampaikan pesan budaya dengan cara yang menyenangkan. Jadi, budaya lokal
tetap bisa dikenal dan dicintai tanpa harus terasa berat atau membosankan.
Di luar dunia maya,
banyak juga komunitas seni yang digerakkan oleh anak muda. Di sekolah atau
kampus, masih banyak siswa dan mahasiswa yang ikut sanggar tari, gamelan,
teater tradisional, bahkan komunitas pelestari bahasa daerah. Mereka ini aktif
latihan, tampil di berbagai acara, bahkan ada yang ikut festival budaya sampai
ke luar negeri. Jadi jangan salah, meskipun kelihatan lebih modern, mereka
tetap punya semangat untuk menjaga budaya sendiri.
Sayangnya, semua usaha
itu sering kali nggak didukung secara maksimal. Pelajaran tentang budaya lokal
di sekolah kadang cuma jadi pelengkap, bukan yang utama. Media massa juga lebih
sering menayangkan budaya luar dibanding mengenalkan budaya sendiri. Pemerintah
pun belum terlalu banyak memberi ruang kreatif buat anak muda yang ingin
mengembangkan budaya daerahnya. Padahal kalau mereka diberi fasilitas,
pelatihan, dan apresiasi, pasti semangat mereka bisa lebih besar lagi.
Kita juga harus sadar
kalau budaya itu bukan sesuatu yang harus selalu kaku atau tetap seperti dulu.
Justru budaya akan terus hidup kalau bisa beradaptasi dengan perkembangan
zaman. Anak muda bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Dengan kreativitas
mereka, budaya lokal bisa dikemas ulang menjadi lebih menarik, tanpa harus
kehilangan nilai aslinya. Misalnya, membuat desain baju adat yang bisa dipakai
sehari-hari, menciptakan musik moderen dengan alat tradisional, atau
menceritakan legenda daerah dalam bentuk film pendek animasi.
Jadi, kuncinya bukan
sekadar bertanya apakah anak muda peduli atau tidak. Tapi bagaimana semua pihak
sekolah, keluarga, pemerintah, hingga media bisa menciptakan suasana yang
mendukung anak muda untuk mengenal dan mencintai budaya lokalnya. Anak muda itu
punya energi dan ide-ide luar biasa, tinggal bagaimana cara kita mengarahkan
dan menemani mereka dalam mengenali jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.