![]() |
Faris Sullaily Kader PMII Kalimantan Barat. (Dok. Istimewa) |
Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ
تَعَالَى بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً
“Barang siapa yang mengusap kepala anak yatim pada hari
Asyura, maka Allah akan mengangkat derajatnya untuk setiap helai rambut yang
disentuh tangannya.” Ini bukan sekadar janji pahala, tetapi juga simbol dari
kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama yang telah kehilangan figur ayah
atau orang tua sebagai pelindung utama dalam hidup mereka.
Namun perlu diingat bahwa mengusap kepala anak yatim tidak
hanya memiliki makna harfiah, tetapi juga kinayah atau kiasan tentang kasih
sayang dan sikap lembut terhadap anak yatim. Beberapa ulama seperti Ibnu Hajar
al-Haitami dan Syeikh Abu Thayyib menyatakan bahwa mengusap kepala anak yatim
dapat berarti menghargai, mengasihi, dan menunjukkan cinta kasih kepada mereka
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan
individualistik, kepedulian terhadap anak yatim seringkali hanya menjadi wacana
musiman. Padahal, dalam Islam, menyantuni anak yatim bukanlah pilihan, tetapi
perintah moral dan sosial. Bahkan dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah mengecam
keras orang-orang yang mengabaikan hak-hak anak yatim, seperti dalam surah
Al-Ma’un:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ
“Tahukah kau orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim” (QS. Al-Ma’un: 1-2)
10 Muharram mengajarkan kita bahwa keimanan tidak hanya
diukur dari seberapa khusyuk ibadah, tetapi juga dari sejauh mana kita peduli
terhadap mereka yang lemah, terutama anak-anak yatim. Dalam konteks ini,
menyantuni anak yatim bukan hanya memberi makan atau uang, tetapi juga memberi
kasih sayang, pendidikan, dan perhatian yang berkelanjutan.
Hari Asyura juga harus menjadi panggilan nurani bagi
masyarakat, lembaga keagamaan, dan pemerintah untuk memperkuat sistem
perlindungan sosial terhadap anak-anak yatim. Banyak dari mereka yang hidup
dalam kondisi serba kekurangan, berjuang sendiri meniti masa depan tanpa
bimbingan dan perhatian yang layak. Di sinilah umat Islam harus hadir, tidak
sekadar sebagai pemberi sedekah tahunan, tetapi sebagai pelindung yang hadir
setiap waktu.
Momentum 10 Muharram harus menjadi titik balik perubahan
paradigma. Tidak cukup hanya menyantuni, tetapi juga membina. Tidak cukup hanya
memberi, tetapi juga menemani dan membimbing mereka agar tumbuh sebagai
generasi kuat yang tidak merasa menjadi korban dari nasib.
Menjadikan 10 Muharram sebagai hari kepedulian terhadap anak
yatim secara nasional atau komunitas adalah langkah konkret yang bisa diambil.
Aksi nyata seperti beasiswa yatim, program pendampingan, dan pembinaan
spiritual bisa menjadi wujud cinta yang diridhai Allah.
Akhirnya, menyantuni anak yatim di hari Asyura bukan sekadar
ritual, tetapi panggilan hati dan bukti nyata cinta kepada sesama. Karena di
balik tangan kecil mereka yang kita ulurkan bantuan, terdapat pintu-pintu surga
yang Allah buka lebar bagi siapa saja yang dengan ikhlas menyentuh hidup
mereka.
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku dan orang yang
menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisya