As'ad Fauzuddin Khunaifi Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya. (Dok. Ybs)
Tapi, coba lihat deh sekarang. Mau milih ketua kelas, ketua OSIS, bahkan
sampai urusan penting di TV yang dilakukan para pejabat, kok kayaknya ada yang
beda ya? Tradisi ngobrol bareng alias musyawarah itu pelan-pelan mulai hilang.
Gantinya sekarang lebih sering pakai cara yang lebih cepet: voting atau
pemungutan suara.
Loh kenapa jadi begini? Apa kita sudah malas ngobrol bareng?
Alasan Utama: "Ribet, Kelamaan! Biar Cepet
Aja."
Ternyata, menurut banyak penelitian, alasan utamanya simpel banget:
musyawarah dianggap ribet dan makan waktu lama. Di lingkungan sekolah atau
kampus, misalnya, anak-anak muda lebih suka voting. Kata mereka, musyawarah itu
kelamaan, mending langsung angkat tangan, hitung suara, selesai! (Pratiwi &
Sunarso, 2018).
Kebiasaan pengen serba instan ini nggak cuma di kalangan anak muda. Di
lingkungan rumah kita juga sama. Mau nentuin jadwal siskamling atau acara
17-an, kadang susah banget ngumpulin semua warga buat rapat. Jalan paling
gampang? Sebarin kertas, suruh contreng, hitung suara terbanyak. Beres!
Kebiasaan Ini Nular Sampai ke Para Pejabat
Gaya hidup "sat-set" ini ternyata kebawa sampai ke para pemimpin
negara. Kalau lagi rapat penting terus beda pendapatnya tajam banget,
musyawarah sering kali jadi buntu. Akhirnya, jalan keluar tercepat ya voting
(Suhartono, 2019; Permatasari & Seftyono, 2014).
Voting seolah jadi tombol ajaib buat menyelesaikan masalah rumit dengan
cepat.
Emang Nggak Boleh Pakai Voting?
Eh, jangan salah sangka dulu. Pakai voting itu nggak salah, kok. Cara ini
memang ada aturannya di negara kita dan jadi jalan keluar kalau musyawarah
sudah mentok (Permatasari & Seftyono, 2014). Keputusan hasil voting juga
sah dan harus ditaati.
Masalahnya ada di "rasanya". Coba bayangin, walaupun sama-sama
menghasilkan keputusan, musyawarah itu dampaknya lebih keren. Kalau musyawarah,
kita jadi makin akrab, ngerasa keputusan itu hasil bareng-bareng, dan pendapat
yang beda tetap dihargai. Musyawarah itu menghasilkan keputusan yang paling
bijak, bukan cuma menang-menangan angka.
Apa Sih Bedanya Musyawarah sama Voting?
Biar makin jelas, bedanya itu gini:
- Musyawarah:
Tujuannya cari jalan tengah biar semua senang. Nggak ada yang menang,
nggak ada yang kalah.
- Voting:
Tujuannya cari pemenang. Siapa yang suaranya paling banyak, dia yang
menang. Yang suaranya sedikit, ya harus terima dan mengalah.
Kalau kita keseringan pakai voting, lama-lama kita terbiasa dengan pikiran,
"Yang penting suara gue paling banyak," bukan "Mana ya keputusan
yang paling baik buat semua?"
Yang Datang Sedikit, Keputusan Jadi Kurang Mantap
Satu lagi masalahnya, sekarang makin sedikit orang yang mau datang buat
ikut musyawarah. Penelitian di sebuah desa menunjukkan kalau rapat perencanaan
pembangunan itu sering sepi peminat (Nufus, dkk., 2025).
Kalau yang datang cuma sedikit, terus mereka yang ambil keputusan, apa itu
bisa disebut keputusan bersama? Kan, belum tentu mewakili suara semua orang.
Yuk, Ingat Lagi Jati Diri Kita
Musyawarah itu bukan cuma soal rapat. Ini tuh cerminan dari Pancasila, sila
ke-4. Ingat kan bunyinya? Ada kata "Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan". Artinya, keputusan itu harus diambil pakai
akal sehat dan hati nurani setelah ngobrol bareng, bukan cuma adu kuat suara.
Dalam ajaran Islam pun, ngobrol bareng untuk kebaikan bersama (syura) itu
sangat dianjurkan (Abdullah, 2014).
Intinya, budaya musyawarah kita itu nggak mati, tapi lagi
"meredup". Terlalu sering dikalahkan sama alasan "biar
praktis". Voting memang boleh, tapi kalau jadi andalan utama, kita bisa
kehilangan ciri khas kita sebagai bangsa yang suka gotong royong, bahkan dalam
berpikir.
Jadi, pertanyaannya buat kita semua: kita mau jadi bangsa yang jago ngitung
suara aja, atau bangsa yang jago cari jalan tengah bareng-bareng?