Notification

×

Iklan

Iklan

Tradisi Musyawarah yang Semakin Tergantikan

Sabtu, 28 Juni 2025 | 13.15 WIB Last Updated 2025-06-28T06:17:07Z

As'ad Fauzuddin Khunaifi Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya. (Dok. Ybs)

OPINI.CO. SURABAYA - Coba deh ingat di buku PPKn pasti ada pelajaran tentang musyawarah. Musyawarah  itu adalah ciri khas bangsa Indonesia. Musyawarah itu kayak ngobrol bareng buat cari solusi, di mana semua orang didengerin pendapatnya sampai ketemu satu keputusan yang bikin semua senang. Asyik kan? Musyawarah itu tempat kita berembuk bukan malah berebut.

Tapi, coba lihat deh sekarang. Mau milih ketua kelas, ketua OSIS, bahkan sampai urusan penting di TV yang dilakukan para pejabat, kok kayaknya ada yang beda ya? Tradisi ngobrol bareng alias musyawarah itu pelan-pelan mulai hilang. Gantinya sekarang lebih sering pakai cara yang lebih cepet: voting atau pemungutan suara.

 

Loh kenapa jadi begini? Apa kita sudah malas ngobrol bareng?

 

Alasan Utama: "Ribet, Kelamaan! Biar Cepet Aja."

 

Ternyata, menurut banyak penelitian, alasan utamanya simpel banget: musyawarah dianggap ribet dan makan waktu lama. Di lingkungan sekolah atau kampus, misalnya, anak-anak muda lebih suka voting. Kata mereka, musyawarah itu kelamaan, mending langsung angkat tangan, hitung suara, selesai! (Pratiwi & Sunarso, 2018).

 

Kebiasaan pengen serba instan ini nggak cuma di kalangan anak muda. Di lingkungan rumah kita juga sama. Mau nentuin jadwal siskamling atau acara 17-an, kadang susah banget ngumpulin semua warga buat rapat. Jalan paling gampang? Sebarin kertas, suruh contreng, hitung suara terbanyak. Beres!

 

Kebiasaan Ini Nular Sampai ke Para Pejabat

 

Gaya hidup "sat-set" ini ternyata kebawa sampai ke para pemimpin negara. Kalau lagi rapat penting terus beda pendapatnya tajam banget, musyawarah sering kali jadi buntu. Akhirnya, jalan keluar tercepat ya voting (Suhartono, 2019; Permatasari & Seftyono, 2014).

 

Voting seolah jadi tombol ajaib buat menyelesaikan masalah rumit dengan cepat.

 

Emang Nggak Boleh Pakai Voting?

 

Eh, jangan salah sangka dulu. Pakai voting itu nggak salah, kok. Cara ini memang ada aturannya di negara kita dan jadi jalan keluar kalau musyawarah sudah mentok (Permatasari & Seftyono, 2014). Keputusan hasil voting juga sah dan harus ditaati.

 

Masalahnya ada di "rasanya". Coba bayangin, walaupun sama-sama menghasilkan keputusan, musyawarah itu dampaknya lebih keren. Kalau musyawarah, kita jadi makin akrab, ngerasa keputusan itu hasil bareng-bareng, dan pendapat yang beda tetap dihargai. Musyawarah itu menghasilkan keputusan yang paling bijak, bukan cuma menang-menangan angka.

 

Apa Sih Bedanya Musyawarah sama Voting?

 

Biar makin jelas, bedanya itu gini:

 

  • Musyawarah: Tujuannya cari jalan tengah biar semua senang. Nggak ada yang menang, nggak ada yang kalah.
  • Voting: Tujuannya cari pemenang. Siapa yang suaranya paling banyak, dia yang menang. Yang suaranya sedikit, ya harus terima dan mengalah.

 

Kalau kita keseringan pakai voting, lama-lama kita terbiasa dengan pikiran, "Yang penting suara gue paling banyak," bukan "Mana ya keputusan yang paling baik buat semua?"

 

Yang Datang Sedikit, Keputusan Jadi Kurang Mantap

 

Satu lagi masalahnya, sekarang makin sedikit orang yang mau datang buat ikut musyawarah. Penelitian di sebuah desa menunjukkan kalau rapat perencanaan pembangunan itu sering sepi peminat (Nufus, dkk., 2025).

 

Kalau yang datang cuma sedikit, terus mereka yang ambil keputusan, apa itu bisa disebut keputusan bersama? Kan, belum tentu mewakili suara semua orang.

 

Yuk, Ingat Lagi Jati Diri Kita

 

Musyawarah itu bukan cuma soal rapat. Ini tuh cerminan dari Pancasila, sila ke-4. Ingat kan bunyinya? Ada kata "Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan". Artinya, keputusan itu harus diambil pakai akal sehat dan hati nurani setelah ngobrol bareng, bukan cuma adu kuat suara. Dalam ajaran Islam pun, ngobrol bareng untuk kebaikan bersama (syura) itu sangat dianjurkan (Abdullah, 2014).

 

Intinya, budaya musyawarah kita itu nggak mati, tapi lagi "meredup". Terlalu sering dikalahkan sama alasan "biar praktis". Voting memang boleh, tapi kalau jadi andalan utama, kita bisa kehilangan ciri khas kita sebagai bangsa yang suka gotong royong, bahkan dalam berpikir.

 

Jadi, pertanyaannya buat kita semua: kita mau jadi bangsa yang jago ngitung suara aja, atau bangsa yang jago cari jalan tengah bareng-bareng?

 

×
Berita Terbaru Update