Notification

×

Iklan

Iklan

Mahasiswa UIN Tanpa Latar Belakang Santri: Antara Ketertinggalan dan Kesempatan

Kamis, 22 Mei 2025 | 15.33 WIB Last Updated 2025-05-22T08:48:31Z

Amizy Nova Airul Ayunda Kurniawan Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. (Dok. Ybs)
OPINI.CO. SURABAYA
- Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia, seperti UIN, IAIN, dan STAIN, telah menjadi pusat studi Islam modern yang memadukan tradisi keilmuan klasik dengan pendekatan akademik kontemporer. Di dalamnya, kajian-kajian keislaman seperti tafsir, hadis, fiqih, hingga pemikiran Islam kontemporer menjadi bagian penting dari kurikulum. Tidak jarang, lingkungan kampusnya identik dengan mahasiswa yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren, yang sejak dini sudah akrab dengan kitab kuning, bahasa Arab, serta tradisi intelektual Islam. Dalam suasana seperti ini, mahasiswa yang tidak berasal dari lingkungan pesantren sering kali merasa berada di luar lingkaran dominan, seolah-olah memulai dari garis start yang berbeda.

Dalam konteks itulah, saya sebagai salah satu mahasiswa UIN merasakan dinamika tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Tidak bisa dimungkiri, pemahaman agama yang saya miliki belum sedalam sebagian teman-teman lain. Latar belakang pendidikan saya berasal dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), lalu melanjutkan ke SMA berbasis pendidikan Islam non-pesatren. Namun, pelajaran agama yang saya terima selama sekolah lebih bersifat dasar dan terbatas. Kajian mendalam seperti fiqih lintas mazhab, pembacaan kitab kuning, atau diskusi kritis tentang pemikiran Islam masih jarang disentuh.


Setelah diterima di UIN, saya masih merasa canggung atau belum terbiasa dengan kedalaman dan kompleksitas studi Islam di lingkungan akademik. Perasaan itu mulai muncul sejak mengikuti program wajib bagi mahasiswa baru, seperti Ma’had dan pembelajaran intensif bahasa, terutama dalam bahasa Arab. Banyak teman-teman yang sudah fasih berbahasa Arab, bahkan mahir menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sementara, pemahaman saya masih terbatas dan belum terbiasa dengan pendekatan pembelajaran yang mendalam seperti yang saya temui di perkuliahan.


Perasaan tertinggal itu makin terasa di semester pertama. Saya seperti berlari di dua lintasan sekaligus, satu untuk mengejar pemahaman terhadap mata kuliah yang kompleks, dan satu lagi untuk menutupi ketertinggalan dalam materi keagamaan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi teman-teman berlatar belakang santri. Istilah seperti ushul fiqh, qawa’id fiqhiyyah, atau takhrij al-hadits terdengar asing, sementara bagi mereka, itu bagian dari rutinitas sejak di pesantren.


Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai melihat semuanya dari sudut pandang yang berbeda. Menyadari bahwa UIN bukan sekadar tempat mengulang pelajaran lama, melainkan ruang untuk berpikir kritis dan rasional. Memahami agama bukan sekadar soal hafalan atau pengetahuan turun-temurun, melainkan tentang cara berpikir, mempertanyakan, dan mengkaji persoalan secara mendalam. Semangat untuk terus belajar justru jadi hal yang paling penting, bukan dari mana seseorang berasal.


Saya pun mulai sadar, bahwa tidak berasal dari latar belakang santri bukanlah hambatan, melainkan sebuah peluang. Ketidakterikatan pada pola pikir tertentu justru membuka peluang untuk membangun pemahaman agama dari awal, menyusunnya secara bertahap, dan menyesuaikannya dengan konteks zaman. Dengan kekurangan tersebut, saya terdorong untuk belajar lebih giat, dengan tekad yang semakin kuat.


Yang menarik, ternyata saya bukan satu-satunya mahasiswa UIN yang berasal dari latar belakang non-pesantren. Data Jurnal Suhuf Kementerian Agama RI tahun 2022 menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia justru berasal dari sekolah umum. Sebanyak 43% mahasiswa merupakan lulusan SMA atau SMK non-pesantren, dan 25% lainnya dari Madrasah Aliyah (MA) non-pesantren. Hanya 22% yang berasal dari MA berbasis pesantren. Meski data nasional terbaru belum dirilis, tren ini masih relevan dan terlihat jelas di banyak universitas. Misalnya, di UIN Bukittinggi pada 2023, dari total 3.110 mahasiswa baru, 1.218 berasal dari SMA dan 287 dari SMK. Artinya, hampir separuh mahasiswa barunya lulusan sekolah umum, sisanya dari MA dan pesantren.


Kini, rasa minder itu perlahan mulai memudar. Meski bukan santri, saya datang sebagai mahasiswa UIN dengan semangat belajar yang tak kalah kuat. Belajar Islam bukan soal hafalan semata, tapi soal tekad dan kesungguhan untuk memahami lebih dalam. Di kampus ini, setiap orang punya ruang untuk tumbuh dan terus belajar.


Pada akhirnya, menjadi mahasiswa UIN bukan soal dari mana seseorang berasal, melainkan ke mana arah langkahnya. Latar belakang santri memang bisa menjadi bekal awal, tapi bukan satu-satunya jalan untuk memahami agama. UIN adalah ruang inklusif bagi siapapun yang bertekad belajar, tak peduli darimana ia berasal.


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.

 

×
Berita Terbaru Update