![]() |
Amizy Nova Airul Ayunda Kurniawan Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. (Dok. Ybs) |
Dalam konteks itulah, saya sebagai salah satu mahasiswa UIN merasakan
dinamika tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Tidak bisa dimungkiri,
pemahaman agama yang saya miliki belum sedalam sebagian teman-teman lain. Latar
belakang pendidikan saya berasal dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), lalu melanjutkan ke SMA berbasis pendidikan Islam
non-pesatren. Namun, pelajaran agama yang saya terima selama sekolah lebih
bersifat dasar dan terbatas. Kajian mendalam seperti fiqih lintas mazhab,
pembacaan kitab kuning, atau diskusi kritis tentang pemikiran Islam masih
jarang disentuh.
Setelah diterima di UIN, saya masih merasa canggung atau belum terbiasa
dengan kedalaman dan kompleksitas studi Islam di lingkungan akademik. Perasaan
itu mulai muncul sejak mengikuti program wajib bagi mahasiswa baru, seperti
Ma’had dan pembelajaran intensif bahasa, terutama dalam bahasa Arab. Banyak
teman-teman yang sudah fasih berbahasa Arab, bahkan mahir menerjemahkannya ke
dalam bahasa Indonesia. Sementara, pemahaman saya masih terbatas dan belum
terbiasa dengan pendekatan pembelajaran yang mendalam seperti yang saya temui
di perkuliahan.
Perasaan tertinggal itu makin terasa di semester pertama. Saya seperti
berlari di dua lintasan sekaligus, satu untuk mengejar pemahaman terhadap mata
kuliah yang kompleks, dan satu lagi untuk menutupi ketertinggalan dalam materi
keagamaan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi teman-teman berlatar belakang
santri. Istilah seperti ushul fiqh, qawa’id fiqhiyyah, atau takhrij al-hadits
terdengar asing, sementara bagi mereka, itu bagian dari rutinitas sejak di
pesantren.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai melihat semuanya dari
sudut pandang yang berbeda. Menyadari bahwa UIN bukan sekadar tempat mengulang
pelajaran lama, melainkan ruang untuk berpikir kritis dan rasional. Memahami
agama bukan sekadar soal hafalan atau pengetahuan turun-temurun, melainkan
tentang cara berpikir, mempertanyakan, dan mengkaji persoalan secara mendalam.
Semangat untuk terus belajar justru jadi hal yang paling penting, bukan dari
mana seseorang berasal.
Saya pun mulai sadar, bahwa tidak berasal dari latar belakang santri
bukanlah hambatan, melainkan sebuah peluang. Ketidakterikatan pada pola pikir
tertentu justru membuka peluang untuk membangun pemahaman agama dari awal,
menyusunnya secara bertahap, dan menyesuaikannya dengan konteks zaman. Dengan
kekurangan tersebut, saya terdorong untuk belajar lebih giat, dengan tekad yang
semakin kuat.
Yang menarik, ternyata saya bukan satu-satunya mahasiswa UIN yang
berasal dari latar belakang non-pesantren. Data Jurnal Suhuf Kementerian Agama
RI tahun 2022 menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia justru berasal dari sekolah umum. Sebanyak
43% mahasiswa merupakan lulusan SMA atau SMK non-pesantren, dan 25% lainnya
dari Madrasah Aliyah (MA) non-pesantren. Hanya 22% yang berasal dari MA
berbasis pesantren. Meski data nasional terbaru belum dirilis, tren ini masih
relevan dan terlihat jelas di banyak universitas. Misalnya, di UIN Bukittinggi
pada 2023, dari total 3.110 mahasiswa baru, 1.218 berasal dari SMA dan 287 dari
SMK. Artinya, hampir separuh mahasiswa barunya lulusan sekolah umum, sisanya
dari MA dan pesantren.
Kini, rasa minder itu perlahan mulai memudar. Meski bukan santri, saya
datang sebagai mahasiswa UIN dengan semangat belajar yang tak kalah kuat.
Belajar Islam bukan soal hafalan semata, tapi soal tekad dan kesungguhan untuk
memahami lebih dalam. Di kampus ini, setiap orang punya ruang untuk tumbuh dan
terus belajar.
Pada akhirnya, menjadi mahasiswa UIN bukan soal dari mana seseorang
berasal, melainkan ke mana arah langkahnya. Latar belakang santri memang bisa
menjadi bekal awal, tapi bukan satu-satunya jalan untuk memahami agama. UIN
adalah ruang inklusif bagi siapapun yang bertekad belajar, tak peduli darimana
ia berasal.