Notification

×

Iklan

Iklan

Humor sebagai Tameng Bertahan Hidup: Mengapa Kita Sering Menertawakan Masalah?

Jumat, 10 Oktober 2025 | 08.42 WIB Last Updated 2025-10-10T03:41:57Z

Naylatuzzahra Nafisatul Ulya Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. 
OPINI.CO. SURAKARTA - Stres karena masalah memang sudah menjadi hal yang biasa, namun yang luar biasa itu justru terletak pada respon kita terhadap stress tersebut. Seringkali kita melihat seseorang yang sedang menghadapi masalah mengalihkan dengan bentuk tawa bukan? Bahkan kita sendiri, yang tiba-tiba punya alasan tertawa saat lagi burnout, patah hati, atau saat merasa tertekan karena ujian. Sedikit janggal, kita merasa seolah tidak terjadi apa-apa padahal kita hanya memalingkanya. Namun, dalam sisi psikologi humor justru menjadi tameng pertahanan yang bisa membantu kita menghadapi tekanan hidup.

 

Humor sendiri merupakan bentuk pengekspresian dan respon kita dari suatu hal yang lucu, konyol dan tidak masuk akal. Selain itu, humor juga sebagai bentuk absurd sebagai pemecah situasi yang canggung. Dalam psikologi, ada beberapa teori yang mengungkap bahwa menertawakan sesuatu itu bisa baik buat diri sendiri, seperti teori relief yang mengemukakan bahwa tawa menjadi mekanisme katup lepas dari energi yang terpendam, karena membuang energi negatif dan meningkatkan hormon endorfin yang bisa mengurangi stres sehingga tubuh merasa lebih segar.

 

Dalam teori lain, menunjukkan bahwa tawa muncul ketika kita merasa unggul atas kelemahan orang lain, hal ini terjadi saat kita melihat keburukan orang lain dan secara tidak langsung membuat kita merasa lebih baik tentang diri sendiri yaitu teori superiority. Ada juga teori incongruity yang menyebutkan bahwa humor muncul saat ada ketidakcocokan. Intinya dari semua teori itu, humor memiliki peran penting dalam mengatur emosi.

 

Dalam psikologi klinis, humor seringkali diabaikan. Padahal humor merupakan salah satu alat emotion-focused coping atau coping mechanism yang efektif untuk mengelola stres. Ketika seseorang sedang merasa burnout, otak akan mencari celah untuk meringankan beban dan bercanda adalah salah satu solusinya. Humor sebagai coping mechanism berfungsi untuk mengubah perspektif, mengurangi intensitas emosi, melepas ketegangan, membangun ketahanan mental dan masih banyak lagi.

 

Lalu, mengapa kita sering menertawakan masalah? Kita sering menertawakan masalah karena tawa sendiri hadir untuk menangkis rasa sakit. Selain itu, tawa merupakan cara otak memberi jarak dan ruang untuk mengambil jeda dari emosional permasalahan kita. Contoh sehari-hari seperti mahasiswa semester akhir yang merasa stres menjelang sidang skripsi terkadang sering melemparkan candaan-candaan tentang dosen kiler, penguji dan sebagainya. Seorang anak yang sedang cemas memikirkan masa depanya masih tetap bisa bercanda dengan teman-temanya. Bahkan, di ruang-ruang serius seperti rumah sakit, banyak dokter yang mengakui bahwa pasien yang masih bisa bercanda biasanya akan lebih cepat membaik.

 

Maka dari itu, menertawakan masalah memberikan rasa kontrol pada diri kita. Dari semua contoh yang telah disebutkan bukan berarti orang menyepelekan masalah, hanya saja mereka berusaha tetap waras di tengah kepedihan. Saya sendiri sering merasa lebih lega ketika bisa menertawakan masalah kecil dalam hidup, karena tawa memberi saya ruang untuk bernapas. Dengan menghadirkan candaan dan sebuah tawa tentang hal yang  menekan, kita merasa tidak sepenuhnya kalah. Masalah mungkin akan tetap ada, tetapi kita juga bisa menanggapi dengan senyum, bukan hanya air mata.

 

Menekankan bahwa humor bukan hanya fenomena psikologi individu saja, tapi juga fenomena sosial-budaya yang mengakar di Indonesia. Fenomena ini salah satunya terlihat saat pandemi covid-19 yang saat itu alih-alih media sosial kita dipenuhi dengan postingan ramai belajar dari rumah, perkara masker, social distancing hingga rebahan. Begitu juga dengan berbagai trend seperti, membuat dalgona coffe, dance-dance yang booming pada masa itu. Suasana dirasa tenggelam dalam kepanikan namun, masyarakat justru membuat keadaan positif dan meredakan suasana yang menegangkan.

 

Sejauh yang kita ketahui, humor memang menjadi tameng untuk bertahan hidup, tetapi bukan berarti humor tidak punya sisi buruknya. Humor yang terlalu berlebihan sampai menjadi bahan olokan atau sampai menyentuh masalah serius dapat melukai orang lain. Humor yang tidak peka terhadap konteks misalnya bercanda tentang penyakit orang lain justru malah menambah luka. Humor yang sehat itu disertai dengan empati saat menyampaikan, jadi kita bisa tertawa bersama dan bukan menertawakan. Dengan begitu, humor akan menjadi obat penyembuh, bukan racun yang mematikan.

 

Selain itu, humor juga masih sering disalahpahami sebagai bentuk meremehkan masalah. Sudut pandang psikologi menjelaskan bahwa humor adalah bukti manusia memiliki daya selera atau dikenal dengan resilience. Di tengah hidup yang penuh ketidakpastian dan ketidakterdugaan ini, kita memang butuh banyak tawa, kita beradaptasi dengan menertawakan masalah, bukan mengabaikan masalah, agar kita punya kekuatan yang ekstra dalam menghadapi hingga menyelesaikanya.

 

Pada akhirnya, tawa bukanlah sebuah pelarian, melainkan pengingat manusia masih punya ruang untuk tetap ringan meski dunia terasa berat. Kita memang tidak bisa memilih kapan masalah datang, namun kita akan selalu bisa memilih kapan kita bisa tertawa. Humor merupakan sebuah seni bertahan hidup, ia melepaskan stress dan kembali menguatkan daya tahan untuk menghadapi persoalan kembali.

 

Perlu diingat jika suatu hari nanti kita mendapati orang lain tengah bercanda di masa-masa sulitnya atau ia tertawa lepas dengan kencang, jangan terburu menilai negatif dan berasumsi tidak baik. Kita tidak tau seberapa berat masalah orang lain, bisa jadi dibalik tawa mereka ada jiwa kecil yang sedang berusaha mati-matian untuk tetap berdiri.

×
Berita Terbaru Update