![]() |
Naylatuzzahra Nafisatul Ulya Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. |
Humor
sendiri merupakan bentuk pengekspresian dan respon kita dari suatu hal yang
lucu, konyol dan tidak masuk akal. Selain itu, humor juga sebagai bentuk absurd
sebagai pemecah situasi yang canggung. Dalam psikologi, ada beberapa teori yang
mengungkap bahwa menertawakan sesuatu itu bisa baik buat diri sendiri, seperti
teori relief yang mengemukakan bahwa
tawa menjadi mekanisme katup lepas dari energi yang terpendam, karena membuang
energi negatif dan meningkatkan hormon endorfin yang bisa mengurangi stres
sehingga tubuh merasa lebih segar.
Dalam
teori lain, menunjukkan bahwa tawa muncul ketika kita merasa unggul atas
kelemahan orang lain, hal ini terjadi saat kita melihat keburukan orang lain
dan secara tidak langsung membuat kita merasa lebih baik tentang diri sendiri
yaitu teori superiority. Ada juga
teori incongruity yang menyebutkan
bahwa humor muncul saat ada ketidakcocokan. Intinya dari semua teori itu, humor
memiliki peran penting dalam mengatur emosi.
Dalam
psikologi klinis, humor seringkali diabaikan. Padahal humor merupakan salah
satu alat emotion-focused coping atau coping mechanism yang efektif untuk
mengelola stres. Ketika seseorang sedang merasa burnout, otak akan mencari
celah untuk meringankan beban dan bercanda adalah salah satu solusinya. Humor
sebagai coping mechanism berfungsi untuk mengubah perspektif, mengurangi
intensitas emosi, melepas ketegangan, membangun ketahanan mental dan masih
banyak lagi.
Lalu,
mengapa kita sering menertawakan masalah? Kita sering menertawakan masalah karena
tawa sendiri hadir untuk menangkis rasa sakit. Selain itu, tawa merupakan cara
otak memberi jarak dan ruang untuk mengambil jeda dari emosional permasalahan
kita. Contoh sehari-hari seperti mahasiswa semester akhir yang merasa stres
menjelang sidang skripsi terkadang sering melemparkan candaan-candaan tentang
dosen kiler, penguji dan sebagainya. Seorang anak yang sedang cemas memikirkan
masa depanya masih tetap bisa bercanda dengan teman-temanya. Bahkan, di
ruang-ruang serius seperti rumah sakit, banyak dokter yang mengakui bahwa
pasien yang masih bisa bercanda biasanya akan lebih cepat membaik.
Maka
dari itu, menertawakan masalah memberikan rasa kontrol pada diri kita. Dari
semua contoh yang telah disebutkan bukan berarti orang menyepelekan masalah,
hanya saja mereka berusaha tetap waras di tengah kepedihan. Saya sendiri sering
merasa lebih lega ketika bisa menertawakan masalah kecil dalam hidup, karena
tawa memberi saya ruang untuk bernapas. Dengan menghadirkan candaan dan sebuah
tawa tentang hal yang menekan, kita merasa
tidak sepenuhnya kalah. Masalah mungkin akan tetap ada, tetapi kita juga bisa
menanggapi dengan senyum, bukan hanya air mata.
Menekankan
bahwa humor bukan hanya fenomena psikologi individu saja, tapi juga fenomena
sosial-budaya yang mengakar di Indonesia. Fenomena ini salah satunya terlihat
saat pandemi covid-19 yang saat itu alih-alih media sosial kita dipenuhi dengan
postingan ramai belajar dari rumah, perkara masker, social distancing hingga
rebahan. Begitu juga dengan berbagai trend seperti, membuat dalgona coffe, dance-dance yang booming pada masa itu. Suasana dirasa
tenggelam dalam kepanikan namun, masyarakat justru membuat keadaan positif dan
meredakan suasana yang menegangkan.
Sejauh
yang kita ketahui, humor memang menjadi tameng untuk bertahan hidup, tetapi
bukan berarti humor tidak punya sisi buruknya. Humor yang terlalu berlebihan
sampai menjadi bahan olokan atau sampai menyentuh masalah serius dapat melukai
orang lain. Humor yang tidak peka terhadap konteks misalnya bercanda tentang
penyakit orang lain justru malah menambah luka. Humor yang sehat itu disertai
dengan empati saat menyampaikan, jadi kita bisa tertawa bersama dan bukan
menertawakan. Dengan begitu, humor akan menjadi obat penyembuh, bukan racun
yang mematikan.
Selain
itu, humor juga masih sering disalahpahami sebagai bentuk meremehkan masalah.
Sudut pandang psikologi menjelaskan bahwa humor adalah bukti manusia memiliki
daya selera atau dikenal dengan resilience.
Di tengah hidup yang penuh ketidakpastian dan ketidakterdugaan ini, kita memang
butuh banyak tawa, kita beradaptasi dengan menertawakan masalah, bukan
mengabaikan masalah, agar kita punya kekuatan yang ekstra dalam menghadapi
hingga menyelesaikanya.
Pada
akhirnya, tawa bukanlah sebuah pelarian, melainkan pengingat manusia masih
punya ruang untuk tetap ringan meski dunia terasa berat. Kita memang tidak bisa
memilih kapan masalah datang, namun kita akan selalu bisa memilih kapan kita
bisa tertawa. Humor merupakan sebuah seni bertahan hidup, ia melepaskan stress
dan kembali menguatkan daya tahan untuk menghadapi persoalan kembali.
Perlu
diingat jika suatu hari nanti kita mendapati orang lain tengah bercanda di
masa-masa sulitnya atau ia tertawa lepas dengan kencang, jangan terburu menilai
negatif dan berasumsi tidak baik. Kita tidak tau seberapa berat masalah orang
lain, bisa jadi dibalik tawa mereka ada jiwa kecil yang sedang berusaha
mati-matian untuk tetap berdiri.