![]() |
Nadifa Salma Maulidia Mahasantri Ma'had Al Jami'ah Ronggowarsito UIN Raden Mas Said Surakarta. (Foto: Dokpri) |
Di sisi lain, ketulusan berbicara tentang kejujuran dalam perasaan
dan tindakan. Ini berarti berinteraksi dengan orang lain secara terbuka dan
tulus. Ketulusan menciptakan ikatan emosional yang kuat, memungkinkan
terciptanya pengertian dan dukungan di antara satu sama lain. Dalam tradisi
Islam, kita memiliki Rabi’ah al-Adawiyyah sebagai contoh teladan dalam hal
kehormatan dan ketulusan.
Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyyah adalah seorang pemuka sufi dari
abad kedua hijriyah. Ia lahir di Basrah pada tahun 95 H (713-714 M), meskipun
ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa ia lahir pada tahun 99 H (717 M).
Sebagai anak keempat dalam keluarganya yang miskin, namanya Rabi’ah berarti
"anak keempat". Kehilangan kedua orang tua di usia dini tidak
membuatnya kehilangan pegangan hidup. Meskipun menghadapi cobaan berat, ia
menerima semua itu dengan sabar dan penuh tawakkal kepada Allah. Saat menjelang
dewasa, ia terpaksa berpisah dari saudara-saudaranya. Namun, di tengah
perjalanan yang penuh ketidakpastian, ia ditangkap oleh seorang penjahat dan
dijual dengan harga enam dirham, menjalani hidup sebagai budak. Di siang hari
ia bekerja keras melayani tuannya, sementara pada malam hari ia meluangkan
waktu untuk beribadah kepada Allah (Mustamin, 2020).
Ajaran Rabi’ah al-Adawiyyah menekankan bahwa kehormatan dan
ketulusan bukan hanya aspek dari cinta ilahi, tetapi juga fondasi dari
pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Melalui pengorbanan dan dedikasi
totalnya, Rabi’ah menunjukkan bagaimana cinta kepada Allah dapat mengatasi
berbagai keinginan duniawi dan mendekatkan seseorang kepada-Nya. Pemikiran dan
ajaran yang disampaikannya tetap relevan dan menginspirasi banyak orang dalam
perjalanan spiritual mereka hingga saat ini (Kurniawan, 2020).
Ajaran Rabi’ah al-Adawiyyah mengenai masalah pribadi sangat erat
kaitannya dengan konsep cinta ilahi dan pengabdian yang tulus kepada Allah.
Beliau adalah seorang perempuan yang sepenuhnya mengabdikan hidupnya kepada
Allah SWT. Salah satu pelajaran berharga dari hidupnya adalah kehormatan yang
terwujud dalam pilihan untuk melajang. Pengalaman pahit yang dialaminya
membentuk kepribadiannya yang kuat, memilih untuk tidak menikah seumur hidup
demi totalitas pengabdiannya kepada Allah. Ketulusan beliau juga tampak dalam
kontribusinya terhadap sufisme. Rabi’ah diakui sebagai pelopor ajaran sufisme
yang menekankan cinta ilahi (mahabbah). Ia menjadi inspirasi bagi banyak sufi
setelahnya serta dihormati oleh berbagai kalangan agama. Ajaran-ajarannya
tentang cinta tanpa pamrih telah menjadi landasan bagi pemikiran sufistik di
masa mendatang (Yusuf, 2014).
Karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah mencerminkan aliran Muhabbah atau
alhubb yang berkaitan dengan cinta, di mana pengabdiannya tercermin bukan dari
ketakutan akan neraka atau harapan akan surga, melainkan dari cinta yang dalam
kepada Allah SWT. Cinta inilah yang mendorongnya untuk selalu mendekat kepada
Tuhan, menganggap Allah sebagai zat yang dicintai, bukan sesuatu yang ditakuti.
Dalam ungkapan yang terkenal, beliau mengatakan, “Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut pada neraka. . . bukan pula sekadar ingin masuk surga. . .
tetapi aku mengabdi semata-mata karena cinta kepada-Nya. Tuhanku, jika aku
memuja Engkau karena takut pada nerakamu, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan
jika aku memuja Engkau karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku darinya. Namun
jika aku memuja Engkau hanya karena Engkau sendiri, maka janganlah tunjukkan
kecantikan-Mu yang kekal itu dariku” (Harun Nasution, 1973: 275).
Beberapa karya Rabi’ah al-Adawiyah, baik dalam bentuk syair maupun ucapannya, secara jelas mengekspresikan rasa cinta yang tulus kepada Allah. Ia menjalani hidup dalam kesederhanaan dan kezikiran yang tinggi. Salah satu pernyataannya yang terkenal tentang zuhud, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitab Kasyf al-Mahjub, menunjukkan ketulusan dan penghayatannya: “Suatu ketika, seorang hartawan berkata kepada Rabi’ah, ‘Mintalah segala kebutuhanmu! ’ Rabi’ah menjawab, ‘Aku malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Lalu, bagaimana mungkin aku meminta kepada orang yang bukan pemiliknya? ’” (Harun Nasution, 1973: 275).
Selain ucapan tersebut, Rabi’ah juga mengekspresikan cintanya
kepada Allah, menyatakan bahwa Allah adalah zat yang dicintai secara murni.
Beliau bertutur, “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut masuk
neraka. . . bukan pula karena ingin masuk surga. . . tetapi aku mengabdi karena
cintaku kepada-Nya. Tuhanku, jika aku memuja Engkau karena takut neraka,
bakarlah aku di dalamnya; jika aku memuja Engkau karena mengharapkan surga,
jauhkanlah aku dari padanya; tetapi jika aku memuja Engkau semata-mata karena
Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku”
(Asmaran, 1994: 269). Dari sini, tampak jelas bahwa rasa cinta Rabi’ah
al-Adawiyah kepada Allah meliputi seluruh dirinya, bahkan seringkali membuatnya
tidak sadar akan keberadaan dunia.
Kehormatan dan ketulusan dalam pengabdian Rabi’ah al-Adawiyah
tercermin dalam dedikasinya yang total kepada Allah SWT. Melalui kehidupan yang
sederhana dan disiplin dalam beribadah, serta cinta yang tulus tanpa harapan
untuk imbalan, beliau menunjukkan bahwa kedekatan dengan Tuhan dapat dicapai
dengan tulus. Ajaran-ajarannya tetap relevan dan menjadi inspirasi bagi banyak
orang dalam perjalanan spiritual mereka hingga saat ini.