Notification

×

Iklan

Iklan

Kehormatan dan Ketulusan: Ajaran Rabi’ah al-Adawiyyah tentang Masalah Pribadi

Kamis, 04 September 2025 | 15.55 WIB Last Updated 2025-09-04T09:00:11Z

Nadifa Salma Maulidia Mahasantri Ma'had Al Jami'ah Ronggowarsito UIN Raden Mas Said Surakarta. (Foto: Dokpri)

OPINI.CO. SURAKARTA - Dalam perjalanan hidup yang dipenuhi oleh berbagai peristiwa tak terduga, kehormatan dan ketulusan merupakan dua nilai yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan menjadi fondasi penting bagi hubungan yang sehat, baik di ranah pribadi maupun sosial. Kehormatan berkaitan dengan menjaga martabat diri dan menghargai orang lain. Hal ini mencakup integritas, kejujuran, serta rasa tanggung jawab. Seseorang yang memiliki kehormatan tidak hanya bertindak sesuai ucapannya, tetapi juga berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam setiap keadaan. Mereka memahami bahwa tindakan mereka mencerminkan karakter sejati.

Di sisi lain, ketulusan berbicara tentang kejujuran dalam perasaan dan tindakan. Ini berarti berinteraksi dengan orang lain secara terbuka dan tulus. Ketulusan menciptakan ikatan emosional yang kuat, memungkinkan terciptanya pengertian dan dukungan di antara satu sama lain. Dalam tradisi Islam, kita memiliki Rabi’ah al-Adawiyyah sebagai contoh teladan dalam hal kehormatan dan ketulusan.


Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyyah adalah seorang pemuka sufi dari abad kedua hijriyah. Ia lahir di Basrah pada tahun 95 H (713-714 M), meskipun ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa ia lahir pada tahun 99 H (717 M). Sebagai anak keempat dalam keluarganya yang miskin, namanya Rabi’ah berarti "anak keempat". Kehilangan kedua orang tua di usia dini tidak membuatnya kehilangan pegangan hidup. Meskipun menghadapi cobaan berat, ia menerima semua itu dengan sabar dan penuh tawakkal kepada Allah. Saat menjelang dewasa, ia terpaksa berpisah dari saudara-saudaranya. Namun, di tengah perjalanan yang penuh ketidakpastian, ia ditangkap oleh seorang penjahat dan dijual dengan harga enam dirham, menjalani hidup sebagai budak. Di siang hari ia bekerja keras melayani tuannya, sementara pada malam hari ia meluangkan waktu untuk beribadah kepada Allah (Mustamin, 2020).


Ajaran Rabi’ah al-Adawiyyah menekankan bahwa kehormatan dan ketulusan bukan hanya aspek dari cinta ilahi, tetapi juga fondasi dari pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Melalui pengorbanan dan dedikasi totalnya, Rabi’ah menunjukkan bagaimana cinta kepada Allah dapat mengatasi berbagai keinginan duniawi dan mendekatkan seseorang kepada-Nya. Pemikiran dan ajaran yang disampaikannya tetap relevan dan menginspirasi banyak orang dalam perjalanan spiritual mereka hingga saat ini (Kurniawan, 2020).


Ajaran Rabi’ah al-Adawiyyah mengenai masalah pribadi sangat erat kaitannya dengan konsep cinta ilahi dan pengabdian yang tulus kepada Allah. Beliau adalah seorang perempuan yang sepenuhnya mengabdikan hidupnya kepada Allah SWT. Salah satu pelajaran berharga dari hidupnya adalah kehormatan yang terwujud dalam pilihan untuk melajang. Pengalaman pahit yang dialaminya membentuk kepribadiannya yang kuat, memilih untuk tidak menikah seumur hidup demi totalitas pengabdiannya kepada Allah. Ketulusan beliau juga tampak dalam kontribusinya terhadap sufisme. Rabi’ah diakui sebagai pelopor ajaran sufisme yang menekankan cinta ilahi (mahabbah). Ia menjadi inspirasi bagi banyak sufi setelahnya serta dihormati oleh berbagai kalangan agama. Ajaran-ajarannya tentang cinta tanpa pamrih telah menjadi landasan bagi pemikiran sufistik di masa mendatang (Yusuf, 2014).


Karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah mencerminkan aliran Muhabbah atau alhubb yang berkaitan dengan cinta, di mana pengabdiannya tercermin bukan dari ketakutan akan neraka atau harapan akan surga, melainkan dari cinta yang dalam kepada Allah SWT. Cinta inilah yang mendorongnya untuk selalu mendekat kepada Tuhan, menganggap Allah sebagai zat yang dicintai, bukan sesuatu yang ditakuti. Dalam ungkapan yang terkenal, beliau mengatakan, “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut pada neraka. . . bukan pula sekadar ingin masuk surga. . . tetapi aku mengabdi semata-mata karena cinta kepada-Nya. Tuhanku, jika aku memuja Engkau karena takut pada nerakamu, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku memuja Engkau karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku darinya. Namun jika aku memuja Engkau hanya karena Engkau sendiri, maka janganlah tunjukkan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku” (Harun Nasution, 1973: 275).


Beberapa karya Rabi’ah al-Adawiyah, baik dalam bentuk syair maupun ucapannya, secara jelas mengekspresikan rasa cinta yang tulus kepada Allah. Ia menjalani hidup dalam kesederhanaan dan kezikiran yang tinggi. Salah satu pernyataannya yang terkenal tentang zuhud, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitab Kasyf al-Mahjub, menunjukkan ketulusan dan penghayatannya: “Suatu ketika, seorang hartawan berkata kepada Rabi’ah, ‘Mintalah segala kebutuhanmu! ’ Rabi’ah menjawab, ‘Aku malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Lalu, bagaimana mungkin aku meminta kepada orang yang bukan pemiliknya? ’” (Harun Nasution, 1973: 275).


Selain ucapan tersebut, Rabi’ah juga mengekspresikan cintanya kepada Allah, menyatakan bahwa Allah adalah zat yang dicintai secara murni. Beliau bertutur, “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut masuk neraka. . . bukan pula karena ingin masuk surga. . . tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya. Tuhanku, jika aku memuja Engkau karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya; jika aku memuja Engkau karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku dari padanya; tetapi jika aku memuja Engkau semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku” (Asmaran, 1994: 269). Dari sini, tampak jelas bahwa rasa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah meliputi seluruh dirinya, bahkan seringkali membuatnya tidak sadar akan keberadaan dunia.


Kehormatan dan ketulusan dalam pengabdian Rabi’ah al-Adawiyah tercermin dalam dedikasinya yang total kepada Allah SWT. Melalui kehidupan yang sederhana dan disiplin dalam beribadah, serta cinta yang tulus tanpa harapan untuk imbalan, beliau menunjukkan bahwa kedekatan dengan Tuhan dapat dicapai dengan tulus. Ajaran-ajarannya tetap relevan dan menjadi inspirasi bagi banyak orang dalam perjalanan spiritual mereka hingga saat ini.

×
Berita Terbaru Update