![]() |
Amizy Nova Airul A.K., Mahaiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. (Dok. Ybs) |
Simbol ini mulai banyak
dikibarkan masyarakat, terutama anak muda. Sekilas, ini tampak seperti tren pop
culture biasa. Namun jika ditelaah lebih dalam, ia membawa pesan yang tak bisa
diabaikan: rakyat mulai mencari simbol alternatif untuk menyuarakan perasaannya.
Bendera Topi Jerami bukan sekadar gaya-gayaan. Ia adalah ekspresi tentang
kekecewaan, keresahan, dan impian akan kebebasan yang terasa makin jauh dari
kenyataan.
Hari ini, masyarakat hidup di tengah tumpukan krisis:
ekonomi yang menyesakkan, menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi,
hingga kian sempitnya ruang aman untuk bersuara. Ketika suara rakyat tak lagi
didengar lewat jalur formal, mereka bicara lewat jalur simbolik. Inilah yang
menjadikan bendera One Piece lebih dari sekadar atribut anime, ia menjelma
simbol alternatif kemerdekaan.
Negara
Merasa Terancam oleh Fiksi
Fenomena pengibaran bendera bajak laut One Piece di
berbagai daerah menjelang perayaan kemerdekaan ternyata memicu respons serius
dari pemerintah. Menkopolhukam Budi Gunawan menyebut pengibaran simbol fiksi
ini sebagai potensi provokasi. Ia mengingatkan akan adanya konsekuensi pidana
jika tindakan tersebut dianggap mencederai kehormatan bendera Merah Putih.
Dalam pemberitaan oleh detik.com, Budi bahkan mengaitkan hal ini dengan Pasal
24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang menurutnya berbunyi:
"Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara
di bawah bendera atau lambang apa pun."
Namun, setelah ditelusuri, kutipan itu ternyata tidak
sesuai dengan bunyi asli pasal tersebut. Pasal 24 ayat (1) UU No. 24/2009
sebenarnya menyatakan:
"Setiap orang dilarang merusak, merobek,
menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai,
menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara."
Artinya, tidak ada
larangan eksplisit dalam UU tersebut yang menyatakan bahwa mengibarkan bendera
lain (apalagi fiksi) di ruang publik merupakan tindakan melanggar hukum, selama
tidak dimaksudkan untuk merendahkan atau menghina Bendera Negara.
Respons serupa datang dari Wakil Ketua DPR RI, Sufmi
Dasco Ahmad, yang meminta agar masyarakat tidak membenturkan simbol negara
dengan simbol budaya populer. Sedangkan Firman Soebagyo dari MPR RI menyebut
lebih keras:
"Ini cara-cara provokatif yang ingin menjatuhkan
pemerintahan. Tidak boleh."
Ia bahkan mendorong
aparat untuk menginterogasi pengibar bendera tersebut dan menelusuri
kemungkinan adanya niat makar.
Pernyataan-pernyataan seperti ini, jika tidak
dikritisi, bisa menimbulkan kesan bahwa negara sangat tegang dan mudah terancam
oleh ekspresi simbolik rakyat. Padahal, pengibaran simbol fiksi seperti bendera
Jolly Roger dari One Piece lebih tepat dipahami sebagai bentuk kreativitas,
kegembiraan kolektif, atau sindiran halus terhadap kondisi sosial-politik—bukan
sebagai tindakan makar. Jika negara percaya diri dengan narasi kemerdekaannya
sendiri, ia tak akan merasa gentar oleh bendera fiksi. Justru ketika simbol
alternatif terasa mengganggu, mungkin yang bermasalah bukan benderanya, tapi
pudarnya rasa keterwakilan rakyat dalam simbol resmi negara itu sendiri.
Simbol
Kritik yang Diam, Tapi Dalam
Dalam semesta One Piece,
bendera bajak laut bukan sekadar lambang kriminalitas. Ia menjadi simbol
perlawanan terhadap tirani dan penanda kebebasan sejati. Tokoh utamanya, Monkey
D. Luffy, tak tunduk pada pemerintah dunia yang korup. Ia membela yang lemah,
menolak penindasan, dan membangun solidaritas dengan sesama tertindas. Orang-orang
yang mengibarkan bendera ini pun tidak sedang main-main. Mereka sedang
menyampaikan pesan: “Kami ingin kemerdekaan yang sungguh-sungguh.” Bukan cuma
bebas dari penjajahan asing, tapi juga bebas bersuara tanpa intimidasi, bebas
mengakses keadilan tanpa uang pelicin, dan bebas dari rasa takut saat
menyampaikan pendapat.
Tentu, ekspresi simbolik tetap harus berada dalam
koridor etika dan hukum. Tapi bukan berarti setiap simbol non-negara otomatis
layak dicurigai. Dalam ruang publik, simbol tidak selalu bergantung pada niat
individu, melainkan pada tafsir kolektif masyarakat. Dan ketika simbol fiksi
dikibarkan di tengah keresahan sosial, ia dengan sendirinya menjadi penanda:
rakyat sedang mencari cara baru untuk berbicara—meski lewat fiksi. Ketika
simbol fiksi dirayakan lebih luas daripada simbol negara, itu pertanda ada ruang
kosong dalam batin publik—ruang yang mestinya diisi oleh negara, tapi justru
diabaikan. Maka simbol fiksi menjadi tempat berlindung dari realitas yang
pahit.
Kemerdekaan
yang Belum Tuntas
Kemerd ekaan sejati bukan
sekadar soal bebas dari penjajahan asing. Ia adalah kebebasan berpikir,
berpendapat, dan mengekspresikan keresahan—tanpa takut ditertibkan. Maka ketika
bendera dari dunia fiksi saja bisa membuat negara panik, kita patut bertanya:
apakah kita benar-benar sudah merdeka?
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan
Handy Lubis, menegaskan bahwa pengibaran bendera bajak laut bukanlah bentuk
makar atau separatisme, melainkan bentuk ekspresi dalam demokrasi. Ia
menyatakan:
“Sekali lagi harus dipahami ini bukan bersifat
separatisme, ini kritik terhadap pemerintah… Santai saja ditanggapi dengan
bijak, dengan perbaikan-perbaikan. Ini kritik yang halus, gak melalui demo atau
apa.” (Inilah.com, 31 Juli 2025)
Pemerintah seharusnya
tidak bersikap terlalu reaktif terhadap simbol-simbol semacam ini. Bila tiap
bentuk ekspresi—apalagi yang damai dan imajinatif—dianggap sebagai provokasi,
itu justru mencerminkan rapuhnya kepercayaan negara terhadap rakyatnya sendiri.
Simbol tidak pernah lahir dari kehampaan. Ia muncul dari realitas. Dan ketika
rakyat lebih memilih mengibarkan bendera bajak laut daripada menyanyikan lagu
nasional, itu bukan karena mereka melupakan sejarah. Tapi karena mereka sedang
menciptakan cara baru untuk menyampaikan isi hati.
Jika negara terus melihat kritik simbolik sebagai
ancaman, maka jangan salahkan rakyat bila mereka semakin mencari makna
kemerdekaan di tempat lain—bahkan di dunia fiksi. Sebab kenyataan hari ini,
kemerdekaan masih belum selesai. Dan rakyat tahu itu. Mereka hanya sedang
mencari cara agar didengar.