Notification

×

Iklan

Iklan

Bendera One Piece, Kemerdekaan, dan Negara yang Terlalu Tegang

Senin, 04 Agustus 2025 | 09.19 WIB Last Updated 2025-08-04T02:19:05Z

Amizy Nova Airul A.K., Mahaiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. (Dok. Ybs)
OPINI.CO.SURABAYA - Setiap bulan Agustus, rakyat Indonesia dihujani semangat perayaan: bendera Merah Putih berkibar di jalanan, lomba tujuh belasan ramai di kampung, dan upacara khidmat digelar di sekolah hingga istana. Semuanya tampak meriah. Tapi di balik gegap gempita itu, ada satu bendera lain yang diam-diam mencuri perhatian: bendera bajak laut dari anime One Piece.

 

Simbol ini mulai banyak dikibarkan masyarakat, terutama anak muda. Sekilas, ini tampak seperti tren pop culture biasa. Namun jika ditelaah lebih dalam, ia membawa pesan yang tak bisa diabaikan: rakyat mulai mencari simbol alternatif untuk menyuarakan perasaannya. Bendera Topi Jerami bukan sekadar gaya-gayaan. Ia adalah ekspresi tentang kekecewaan, keresahan, dan impian akan kebebasan yang terasa makin jauh dari kenyataan.

 

Hari ini, masyarakat hidup di tengah tumpukan krisis: ekonomi yang menyesakkan, menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi, hingga kian sempitnya ruang aman untuk bersuara. Ketika suara rakyat tak lagi didengar lewat jalur formal, mereka bicara lewat jalur simbolik. Inilah yang menjadikan bendera One Piece lebih dari sekadar atribut anime, ia menjelma simbol alternatif kemerdekaan.

 

Negara Merasa Terancam oleh Fiksi

 

Fenomena pengibaran bendera bajak laut One Piece di berbagai daerah menjelang perayaan kemerdekaan ternyata memicu respons serius dari pemerintah. Menkopolhukam Budi Gunawan menyebut pengibaran simbol fiksi ini sebagai potensi provokasi. Ia mengingatkan akan adanya konsekuensi pidana jika tindakan tersebut dianggap mencederai kehormatan bendera Merah Putih. Dalam pemberitaan oleh detik.com, Budi bahkan mengaitkan hal ini dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang menurutnya berbunyi:

 

"Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara di bawah bendera atau lambang apa pun."

 

Namun, setelah ditelusuri, kutipan itu ternyata tidak sesuai dengan bunyi asli pasal tersebut. Pasal 24 ayat (1) UU No. 24/2009 sebenarnya menyatakan:

 

"Setiap orang dilarang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara."

 

Artinya, tidak ada larangan eksplisit dalam UU tersebut yang menyatakan bahwa mengibarkan bendera lain (apalagi fiksi) di ruang publik merupakan tindakan melanggar hukum, selama tidak dimaksudkan untuk merendahkan atau menghina Bendera Negara.

 

Respons serupa datang dari Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, yang meminta agar masyarakat tidak membenturkan simbol negara dengan simbol budaya populer. Sedangkan Firman Soebagyo dari MPR RI menyebut lebih keras:

 

"Ini cara-cara provokatif yang ingin menjatuhkan pemerintahan. Tidak boleh."

 

Ia bahkan mendorong aparat untuk menginterogasi pengibar bendera tersebut dan menelusuri kemungkinan adanya niat makar.

 

Pernyataan-pernyataan seperti ini, jika tidak dikritisi, bisa menimbulkan kesan bahwa negara sangat tegang dan mudah terancam oleh ekspresi simbolik rakyat. Padahal, pengibaran simbol fiksi seperti bendera Jolly Roger dari One Piece lebih tepat dipahami sebagai bentuk kreativitas, kegembiraan kolektif, atau sindiran halus terhadap kondisi sosial-politik—bukan sebagai tindakan makar. Jika negara percaya diri dengan narasi kemerdekaannya sendiri, ia tak akan merasa gentar oleh bendera fiksi. Justru ketika simbol alternatif terasa mengganggu, mungkin yang bermasalah bukan benderanya, tapi pudarnya rasa keterwakilan rakyat dalam simbol resmi negara itu sendiri.

 

Simbol Kritik yang Diam, Tapi Dalam


Dalam semesta One Piece, bendera bajak laut bukan sekadar lambang kriminalitas. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap tirani dan penanda kebebasan sejati. Tokoh utamanya, Monkey D. Luffy, tak tunduk pada pemerintah dunia yang korup. Ia membela yang lemah, menolak penindasan, dan membangun solidaritas dengan sesama tertindas. Orang-orang yang mengibarkan bendera ini pun tidak sedang main-main. Mereka sedang menyampaikan pesan: “Kami ingin kemerdekaan yang sungguh-sungguh.” Bukan cuma bebas dari penjajahan asing, tapi juga bebas bersuara tanpa intimidasi, bebas mengakses keadilan tanpa uang pelicin, dan bebas dari rasa takut saat menyampaikan pendapat.

 

Tentu, ekspresi simbolik tetap harus berada dalam koridor etika dan hukum. Tapi bukan berarti setiap simbol non-negara otomatis layak dicurigai. Dalam ruang publik, simbol tidak selalu bergantung pada niat individu, melainkan pada tafsir kolektif masyarakat. Dan ketika simbol fiksi dikibarkan di tengah keresahan sosial, ia dengan sendirinya menjadi penanda: rakyat sedang mencari cara baru untuk berbicara—meski lewat fiksi. Ketika simbol fiksi dirayakan lebih luas daripada simbol negara, itu pertanda ada ruang kosong dalam batin publik—ruang yang mestinya diisi oleh negara, tapi justru diabaikan. Maka simbol fiksi menjadi tempat berlindung dari realitas yang pahit.

 

Kemerdekaan yang Belum Tuntas

 

Kemerd ekaan sejati bukan sekadar soal bebas dari penjajahan asing. Ia adalah kebebasan berpikir, berpendapat, dan mengekspresikan keresahan—tanpa takut ditertibkan. Maka ketika bendera dari dunia fiksi saja bisa membuat negara panik, kita patut bertanya: apakah kita benar-benar sudah merdeka?

 

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Handy Lubis, menegaskan bahwa pengibaran bendera bajak laut bukanlah bentuk makar atau separatisme, melainkan bentuk ekspresi dalam demokrasi. Ia menyatakan:

 

“Sekali lagi harus dipahami ini bukan bersifat separatisme, ini kritik terhadap pemerintah… Santai saja ditanggapi dengan bijak, dengan perbaikan-perbaikan. Ini kritik yang halus, gak melalui demo atau apa.” (Inilah.com, 31 Juli 2025)

 

Pemerintah seharusnya tidak bersikap terlalu reaktif terhadap simbol-simbol semacam ini. Bila tiap bentuk ekspresi—apalagi yang damai dan imajinatif—dianggap sebagai provokasi, itu justru mencerminkan rapuhnya kepercayaan negara terhadap rakyatnya sendiri. Simbol tidak pernah lahir dari kehampaan. Ia muncul dari realitas. Dan ketika rakyat lebih memilih mengibarkan bendera bajak laut daripada menyanyikan lagu nasional, itu bukan karena mereka melupakan sejarah. Tapi karena mereka sedang menciptakan cara baru untuk menyampaikan isi hati.

 

Jika negara terus melihat kritik simbolik sebagai ancaman, maka jangan salahkan rakyat bila mereka semakin mencari makna kemerdekaan di tempat lain—bahkan di dunia fiksi. Sebab kenyataan hari ini, kemerdekaan masih belum selesai. Dan rakyat tahu itu. Mereka hanya sedang mencari cara agar didengar.

×
Berita Terbaru Update