Notification

×

Iklan

Iklan

Penerimaan Negara di Era Digital: Peluang dan Tantangan Menuju Kemandirian Fiskal Indonesia

Senin, 28 Juli 2025 | 15.16 WIB Last Updated 2025-07-28T08:20:08Z

Faris Sullaily peserta Lomba Menulis Artikel Perpajakan 2025. (Dok. Ybs)
OPINI.CO. PONTIANAK - Di tengah arus deras transformasi digital yang melanda seluruh aspek kehidupan, Indonesia kini memasuki babak baru dalam pengelolaan penerimaan negaranya. Digitalisasi bukan hanya sekadar tren teknologi, melainkan juga fondasi baru yang menentukan arah masa depan fiskal suatu negara, termasuk Indonesia. Pertanyaannya, apakah Indonesia siap memaksimalkan potensi penerimaan negara di era digital? Dan sejauh mana tantangan yang harus dihadapi agar transformasi ini benar-benar membawa manfaat optimal?

 

Potensi Digitalisasi untuk Penerimaan Negara

 

Era digital membuka peluang besar untuk meningkatkan penerimaan negara dari berbagai sumber, terutama pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Digitalisasi memungkinkan sistem perpajakan yang lebih efisien, transparan, dan inklusif. Sistem pelaporan pajak yang sebelumnya manual dan penuh celah kini bisa diotomatisasi melalui e-filing, e-bupot, dan platform pajak digital lainnya.

 

Dengan hadirnya integrasi data dan sistem informasi berbasis cloud serta big data analytics, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mampu mengidentifikasi potensi pajak yang belum tergali, mempersempit celah penghindaran pajak, serta memantau kepatuhan wajib pajak secara real-time. Tak hanya itu, kerja sama antarinstansi, seperti integrasi data antara DJP dan Ditjen Bea dan Cukai, BPS, maupun perbankan nasional, memperkuat basis data nasional yang menjadi sumber penting dalam menggenjot penerimaan negara.

 

Di sisi lain, digitalisasi turut membuka potensi baru dari sektor ekonomi digital itu sendiri. Perdagangan elektronik (e-commerce), jasa digital lintas negara (over-the-top/OTT), serta aktivitas ekonomi berbasis platform menjadi sektor-sektor baru yang mampu menghasilkan penerimaan pajak signifikan jika diatur dan dipungut dengan tepat. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital luar negeri, yang dimulai sejak 2020, merupakan langkah awal yang strategis dalam menjawab tantangan tersebut.

 

Transformasi Perpajakan Digital: Sudah Sejauh Mana?

 

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan DJP terus berupaya mempercepat digitalisasi sistem perpajakan nasional. Salah satu inisiatif utama adalah implementasi Core Tax Administration System (CTAS), sebuah sistem administrasi pajak berbasis digital yang terintegrasi. CTAS diharapkan menjadi jantung pengelolaan pajak modern yang mendukung prinsip compliance risk management, pelayanan yang berorientasi pada pengguna (taxpayer-centric), serta efisiensi operasional internal DJP.

 

Transformasi ini bukan sekadar perubahan teknologi, tetapi juga perubahan budaya kerja dan interaksi antara negara dan masyarakat sebagai wajib pajak. Ketika proses lebih mudah, cepat, dan minim kontak fisik, maka peluang terjadinya korupsi maupun kesalahan prosedur pun dapat ditekan secara signifikan. Lebih jauh, masyarakat akan terdorong untuk lebih patuh karena merasa dilayani dengan adil dan profesional.

 

Tantangan yang Tak Bisa Dikesampingkan

 

Namun, potensi yang besar ini tidak datang tanpa tantangan. Salah satu hambatan utama adalah masih adanya kesenjangan digital (digital divide), baik dari sisi infrastruktur, literasi digital, maupun akses teknologi. Tidak semua pelaku usaha, terutama UMKM di daerah, mampu atau siap memanfaatkan sistem perpajakan berbasis digital. Jika tidak diantisipasi, hal ini dapat menimbulkan ketimpangan dalam kepatuhan dan kontribusi terhadap penerimaan negara.

 

Selain itu, kecepatan perkembangan teknologi digital juga menyulitkan regulasi untuk selalu adaptif. Banyak model bisnis baru muncul tanpa definisi yang jelas dalam peraturan perpajakan konvensional. Misalnya, konsep aset digital seperti cryptocurrency atau aktivitas di metaverse, yang belum sepenuhnya terakomodasi dalam sistem perpajakan nasional.

 

Keamanan data dan perlindungan privasi juga menjadi isu krusial. Dalam sistem yang sepenuhnya berbasis digital, data wajib pajak menjadi aset vital. Maka, perlu ada jaminan keamanan siber yang kuat agar masyarakat percaya dan tidak merasa dirugikan oleh kebocoran atau penyalahgunaan data.

 

Membangun Masa Depan Fiskal yang Kuat

 

Masa depan penerimaan negara Indonesia bergantung pada kemampuan untuk menavigasi era digital dengan strategi yang inklusif, adaptif, dan kolaboratif. Dalam konteks ini, beberapa langkah strategis yang bisa terus dikembangkan antara lain:

 

  1. Peningkatan literasi digital dan inklusi pajak bagi pelaku usaha kecil-menengah serta masyarakat umum, agar tidak tertinggal dalam transformasi digital.
  2. Penguatan sistem regulasi yang fleksibel dan responsif, agar mampu mengikuti dinamika ekonomi digital global.
  3. olaborasi lintas sektor dan negara, mengingat banyak aktivitas digital bersifat lintas batas dan membutuhkan kerja sama internasional dalam pemajakan dan pertukaran informasi.
  4. Investasi berkelanjutan dalam teknologi dan sumber daya manusia, karena transformasi digital bukan hanya soal sistem, tetapi juga kualitas pengelolanya.

 

Penutup

 

Era digital membawa babak baru bagi Indonesia dalam memaksimalkan potensi penerimaan negara. Namun, agar transformasi ini sukses, perlu pendekatan yang menyeluruh—menggabungkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik, penguatan infrastruktur, hingga peningkatan kesadaran pajak masyarakat. Jika dijalankan secara konsisten, Indonesia tidak hanya akan memiliki sistem perpajakan yang modern dan efisien, tetapi juga mampu membangun kemandirian fiskal yang kokoh di masa depan.

×
Berita Terbaru Update