![]() |
Faris Sullaily peserta Lomba Menulis Artikel Perpajakan 2025. (Dok. Ybs) |
Potensi Digitalisasi untuk Penerimaan
Negara
Era digital membuka peluang besar untuk
meningkatkan penerimaan negara dari berbagai sumber, terutama pajak dan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Digitalisasi memungkinkan sistem
perpajakan yang lebih efisien, transparan, dan inklusif. Sistem pelaporan pajak
yang sebelumnya manual dan penuh celah kini bisa diotomatisasi melalui
e-filing, e-bupot, dan platform pajak digital lainnya.
Dengan hadirnya integrasi data dan sistem
informasi berbasis cloud serta big data analytics, Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) mampu mengidentifikasi potensi pajak yang belum tergali, mempersempit
celah penghindaran pajak, serta memantau kepatuhan wajib pajak secara
real-time. Tak hanya itu, kerja sama antarinstansi, seperti integrasi data
antara DJP dan Ditjen Bea dan Cukai, BPS, maupun perbankan nasional, memperkuat
basis data nasional yang menjadi sumber penting dalam menggenjot penerimaan
negara.
Di sisi lain, digitalisasi turut membuka
potensi baru dari sektor ekonomi digital itu sendiri. Perdagangan elektronik
(e-commerce), jasa digital lintas negara (over-the-top/OTT), serta aktivitas
ekonomi berbasis platform menjadi sektor-sektor baru yang mampu menghasilkan
penerimaan pajak signifikan jika diatur dan dipungut dengan tepat. Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital luar negeri, yang dimulai
sejak 2020, merupakan langkah awal yang strategis dalam menjawab tantangan
tersebut.
Transformasi Perpajakan Digital: Sudah
Sejauh Mana?
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan
DJP terus berupaya mempercepat digitalisasi sistem perpajakan nasional. Salah
satu inisiatif utama adalah implementasi Core Tax Administration System (CTAS),
sebuah sistem administrasi pajak berbasis digital yang terintegrasi. CTAS
diharapkan menjadi jantung pengelolaan pajak modern yang mendukung prinsip
compliance risk management, pelayanan yang berorientasi pada pengguna
(taxpayer-centric), serta efisiensi operasional internal DJP.
Transformasi ini bukan sekadar perubahan
teknologi, tetapi juga perubahan budaya kerja dan interaksi antara negara dan
masyarakat sebagai wajib pajak. Ketika proses lebih mudah, cepat, dan minim
kontak fisik, maka peluang terjadinya korupsi maupun kesalahan prosedur pun
dapat ditekan secara signifikan. Lebih jauh, masyarakat akan terdorong untuk
lebih patuh karena merasa dilayani dengan adil dan profesional.
Tantangan yang Tak Bisa Dikesampingkan
Namun, potensi yang besar ini tidak datang
tanpa tantangan. Salah satu hambatan utama adalah masih adanya kesenjangan
digital (digital divide), baik dari sisi infrastruktur, literasi digital,
maupun akses teknologi. Tidak semua pelaku usaha, terutama UMKM di daerah,
mampu atau siap memanfaatkan sistem perpajakan berbasis digital. Jika tidak
diantisipasi, hal ini dapat menimbulkan ketimpangan dalam kepatuhan dan
kontribusi terhadap penerimaan negara.
Selain itu, kecepatan perkembangan
teknologi digital juga menyulitkan regulasi untuk selalu adaptif. Banyak model
bisnis baru muncul tanpa definisi yang jelas dalam peraturan perpajakan
konvensional. Misalnya, konsep aset digital seperti cryptocurrency atau
aktivitas di metaverse, yang belum sepenuhnya terakomodasi dalam sistem
perpajakan nasional.
Keamanan data dan perlindungan privasi juga
menjadi isu krusial. Dalam sistem yang sepenuhnya berbasis digital, data wajib
pajak menjadi aset vital. Maka, perlu ada jaminan keamanan siber yang kuat agar
masyarakat percaya dan tidak merasa dirugikan oleh kebocoran atau
penyalahgunaan data.
Membangun Masa Depan Fiskal yang Kuat
Masa depan penerimaan negara Indonesia
bergantung pada kemampuan untuk menavigasi era digital dengan strategi yang
inklusif, adaptif, dan kolaboratif. Dalam konteks ini, beberapa langkah
strategis yang bisa terus dikembangkan antara lain:
- Peningkatan literasi digital dan inklusi pajak bagi pelaku usaha kecil-menengah serta masyarakat umum, agar tidak tertinggal dalam transformasi digital.
- Penguatan sistem regulasi yang fleksibel dan responsif, agar mampu mengikuti dinamika ekonomi digital global.
- olaborasi lintas sektor dan negara, mengingat banyak aktivitas digital bersifat lintas batas dan membutuhkan kerja sama internasional dalam pemajakan dan pertukaran informasi.
- Investasi berkelanjutan dalam teknologi dan sumber daya manusia, karena transformasi digital bukan hanya soal sistem, tetapi juga kualitas pengelolanya.
Penutup
Era digital membawa babak baru bagi
Indonesia dalam memaksimalkan potensi penerimaan negara. Namun, agar
transformasi ini sukses, perlu pendekatan yang menyeluruh—menggabungkan
kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik, penguatan infrastruktur, hingga
peningkatan kesadaran pajak masyarakat. Jika dijalankan secara konsisten,
Indonesia tidak hanya akan memiliki sistem perpajakan yang modern dan efisien,
tetapi juga mampu membangun kemandirian fiskal yang kokoh di masa depan.