![]() |
Fathur Rozi Ketua Bidang Kaderisasi Pemuda Desa Parit Jali dan Pengurus Cabang PMII Kabupaten Malang. (Dok. Istimewa) |
Melalui tulisan ini, penulis mencoba menakar secara subjektif rencana pemekaran Desa Madu Sari. Tidak ada niatan sedikitpun mendiskreditkan pihak manapun, ini murni gagasan konstruktif agar bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak yang berkepentingan.
Salah satu alasan utama pemekaran desa biasanya didasarkan pada aspek pelayanan publik yang tidak optimal karena wilayah terlalu luas atau jumlah penduduk yang terlalu padat. Namun, jika melihat kondisi Desa Madu Sari saat ini, urgensi itu belum tampak jelas. Secara geografis maupun administratif, Desa Madu Sari masih dapat dikelola dengan baik melalui peningkatan kualitas tata kelola desa, bukan dengan pemekaran.
Selain itu, tidak adanya kajian akademik atau dokumen perencanaan yang terbuka untuk publik membuat rencana ini terkesan dipaksakan. Padahal, dalam proses pemekaran desa, partisipasi masyarakat dan keterbukaan informasi adalah kunci utama untuk mencegah konflik serta kegagalan di kemudian hari.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit desa hasil pemekaran yang justru mengalami stagnasi, baik secara administratif maupun pembangunan. Data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hingga 2023 mencatat bahwa dari 8.500 lebih desa hasil pemekaran sejak 1999, lebih dari 1.300 desa masih belum memiliki perangkat pemerintahan lengkap dan sekitar 900 desa belum memiliki kantor desa yang layak.
Belum lagi soal anggaran. Banyak desa baru yang belum mendapat Dana Desa secara penuh di tahun-tahun awal karena proses validasi dan administrasi yang berbelit. Akibatnya, pelayanan publik terbengkalai dan potensi konflik horizontal pun meningkat karena ketidakpuasan masyarakat.
Pemekaran desa bukan sekadar soal pembentukan wilayah baru. Ini menyangkut identitas, sejarah, sosial-budaya, serta masa depan masyarakat di dalamnya. Jika dilakukan secara tergesa-gesa tanpa partisipasi luas dari warga, maka pemekaran justru akan menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks.
Wacana pemekaran Desa Madu Sari harus dibuka ruang dialog yang lebih luas. Pemerintah desa, tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, dan semua unsur harus duduk bersama untuk mengkaji ulang. Apakah benar ini kebutuhan mendesak warga, atau hanya kepentingan segelintir elite?
Pemekaran desa seharusnya menjadi solusi, bukan sumber persoalan baru. Tanpa urgensi yang jelas, tanpa kajian yang matang, dan tanpa keterlibatan penuh masyarakat, maka pemekaran Desa Madu Sari berpotensi menjadi proyek yang gagal dan membebani masyarakat dalam jangka panjang.
Saatnya kita bersikap kritis. Desa bukan sekadar wilayah administratif, tapi rumah besar yang menyatukan harapan dan masa depan warganya.