Notification

×

Iklan

Iklan

Relevansi Pemikiran Ismail al-Faruqi terhadap Model Pendidikan Islam yang Terpadu dan Modern

Kamis, 26 Juni 2025 | 10.18 WIB Last Updated 2025-06-26T03:20:55Z

Arifah Nur Imamma Mahasantri Ma'had Ronggowarsito UIN Raden Mas Said Surakarta.

OPINI.CO. SURAKARTA - Peradaban Islam mencapai puncaknya antara tahun 650 dan 1000 M, memberikan kontribusi besar yang mempengaruhi peradaban Barat modern. Periode ini menyaksikan kemajuan signifikan di berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik agama maupun sains. Ilmuwan termasyhur seperti Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam al-Asy'ari, al-Kindi, dan al-Farabi muncul pada masa ini, bersama dengan Ibnu al-Haytham, al-Khawarizmi, al-Razi, dan banyak ulama besar lainnya. Namun, peradaban Islam kemudian mengalami kemunduran dari tahun 1250 hingga 1800 M, yang berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya, serta menyebabkan kekalahan dalam kehidupan intelektual, moral, kultural, dan ideologi. Setelah kemunduran Islam, Barat mengalami kebangkitan ilmiah yang dipicu oleh Pencerahan di Eropa, dengan sebagian besar dipelopori oleh ilmuwan dan cendekiawan Barat. Akibatnya, pengetahuan modern dibentuk oleh pemikiran filosofis Barat yang cenderung sekuler, utilitarian, dan materialistis. Hal ini membuat ilmu pengetahuan modern kehilangan "kesakralannya" karena terpisah dari nilai-nilai tauhid dan teologis. Dalam pandangan ilmu pengetahuan modern, alam dan manusia dipandang semata-mata sebagai materi dan kebetulan, tanpa campur tangan Tuhan (Basri et al., 2024)

 

Berdasarkan latar belakang tersebut, muncul sebuah gagasan untuk mengintegrasikan antara dimensi fisik dan metafisik, yang kemudian melahirkan suatu disiplin keilmuan baru yang bersifat modern namun tetap berakar pada nilai-nilai religius dan prinsip tauhid. Gagasan ini dikenal dengan istilah "Islamisasi Ilmu Pengetahuan". Konsep tersebut mulai dikenal luas sejak awal kemunculannya pada dekade 1980-an. Ide ini pertama kali digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan kemudian disebarluaskan oleh Ismail Raji al-Faruqi. Beliau lahir pada tahun 1921 di Jaffa, Palestina, dan kemudian menempuh pendidikan di berbagai negara Barat seperti Kanada dan Amerika Serikat. Perjalanan akademisnya mempertemukan beliau dengan dua tradisi keilmuan, yakni tradisi keilmuan Islam dan Barat. Hal ini memunculkan pandangan beliau yang unik dalam melihat krisis epistemologis yang dialami umat Islam terutama dalam bidang pendidikan. Hingga saat ini, gagasan beliau masih menjadi bahan diskusi yang populer dan penting di kalangan umat Islam (Hafid, 2021).

 

Pendidikan Islam di era modern menghadapi tantangan yang kompleks, terutama dalam hal integrasi antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu modern (Syafi’i, 2022). Banyak institusi pendidikan Islam yang masih mempertahankan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga menciptakan jurang epistemologis yang berdampak pada kualitas lulusan yang kurang adaptif terhadap perkembangan zaman. Padahal, pendidikan seharusnya tidak hanya menghasilkan individu yang religius secara ritual, tetapi juga kritis, produktif, dan kontributif dalam bidang keilmuan dan sosial. Begitu juga sebaliknya, tidak hanya paham ilmu ilmu umum tetapi juga harus diimbangi dengan ilmu agama (Amin, 2014).

 

Dikotomi ilmu pengetahuan menjadi bagian dari perdebatan intelektual yang terus dibahas dalam gagasan keilmuan, terutama di ranah pendidikan. Pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum melahirkan bentuk pendidikan yang timpang di satu sisi, sistem pendidikan modern cenderung mengesampingkan dimensi spiritual, sementara di sisi lain, pendidikan keagamaan seringkali terlepas dari realitas ilmiah dan perkembangan sains kontemporer (Humairah et al., 2024). Secara epistemologis, dikotomi merujuk pada upaya klasifikasi tegas antara dua hal  yang dianggap saling eksklusif, yang satu tidak dapat merangkul keberadaan yang lain. Pandangan ini seharusnya tidak selaras dengan kerangka epistemologi Islam, Islam menempatkan ilmu dalam satu kesatuan yang integral dan menyeluruh. Selain itu, Islam menekankan pentingnya penggunaan akal dalam memahami fenomena alam sebagai wujud petunjuk dan tanda kekuasaan Tuhan, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 190. Dalam ayat tersebut, manusia diperintahkan untuk merenungkan akan kuasa Tuhan terhadap penciptaan langit, bumi, serta siklus waktu. Hal ini menjadi bentuk cerminan dari keberfungsian akal seseorang dalam merespons ciptaan Ilahi (Ningsih et al., 2022).

 

Dalam konteks kontemporer, pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu duniawi menjadi perhatian serius para pemikir Muslim modern seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Keduanya menilai bahwa sistem pendidikan di dunia Islam telah mengalami pergeseran nilai, menjauh dari integrasi keilmuan sebagaimana dicontohkan dalam khazanah keilmuan Islam klasik. Al-Faruqi, menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari kerangka etik dan moral (Sholeh, 2017) Oleh karena itu, menurut beliau, dalam konsep islamisasi pengetahuan yang perlu dikaji bukan sekadar pelakunya, tetapi struktur dan isi ilmu itu sendiri yang harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam. Proses Islamisasi ilmu memerlukan fondasi yang kuat, yakni dengan menjadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama (Inayah, 2020). Ilmu-ilmu modern perlu dikaji secara kritis, tidak hanya dari sisi manfaatnya, tetapi juga dari nilai-nilai yang mendasarinya. Selanjutnya, dibutuhkan pendekatan filosofis yang mampu merekonstruksi ilmu pengetahuan agar selaras dengan ajaran dan etika Islam, sehingga tercipta integrasi antara wahyu dan akal dalam pengembangan ilmu berdasarkan nilai-nilai Islam (Hakim et al., 2025).

 

Dalam konteks ini, pemikiran Ismail Raji al-Faruqi menawarkan paradigma baru yang sangat relevan. Melalui konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi berusaha menghapus dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sains, dengan menekankan bahwa seluruh ilmu harus berakar pada prinsip tauhid sebagai dasar epistemologis Islam. Ia meyakini bahwa pendidikan Islam yang terpadu dan modern hanya dapat tercapai melalui penyatuan antara wahyu dan akal dalam seluruh cabang ilmu, sehingga umat Islam tidak terjebak dalam inferioritas intelektual Barat .

 

Konsep dasar dalam gagasan Islamisasi ilmu yang dikemukakan al-Faruqi bertumpu pada prinsip tauhid sebagai asas utama kehidupan. Tauhid dalam pandangan al-Faruqi bukan sekadar pengakuan akan keesaan Tuhan secara teologis, tetapi merupakan prinsip etis, epistemologis, dan ontologis yang mengarahkan seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menyatakan bahwa tauhid adalah paradigma dasar yang seharusnya menjadi acuan dalam membangun ilmu pengetahuan. Semua disiplin ilmu, baik ilmu alam, sosial, maupun humaniora, harus berakar pada nilai-nilai tauhid, yaitu keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan (Haryanti & Amril, 2024). Dalam bukunya yang monumental Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, al-Faruqi merumuskan langkah-langkah konkret untuk Islamisasi ilmu pengetahuan. Beliau menyusun dua belas langkah Islamisasi, yang dimulai dari penguasaan terhadap khazanah keilmuan Islam klasik, penguasaan terhadap ilmu-ilmu modern, hingga penyusunan kurikulum baru yang integratif. Islamisasi di sini bukan berarti "mengislamkan" pengetahuan dari luar, melainkan memberikan landasan normatif dan etis yang Islami pada setiap proses produksi dan penggunaan ilmu pengetahuan (Taufik & Yasir, 2017). Dalam pemikiran islamisasi ilmu pengetahuan Beliau menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bersifat netral secara ontologis, tetapi tidak netral secara aksiologis dan epistemologis. Oleh karena itu, ilmu harus diolah kembali berdasarkan paradigma tauhid agar mampu membawa manfaat bagi umat manusia dan tidak merusak tatanan moral (Putra, 2020).

 

Gagasan al-Faruqi sangat relevan dengan arah kebijakan pendidikan Islam di Indonesia yang menekankan integrasi antara ilmu keislaman dan ilmu umum (Rijal, 2018). Konsep ini sejalan dengan visi institusi pendidikan tinggi Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN), yang berusaha membangun sistem pendidikan yang interkonektif, multidisipliner, dan kontekstual. Oleh karena itu, kajian pada pemikiran al-Faruqi penting untuk memperkuat arah pembaharuan pendidikan Islam yang lebih integratif, rasional, dan kontributif terhadap pembangunan peradaban (‘Ulum et al., 2022).

 

Pendidikan Islam terpadu tidak boleh dimaknai secara sempit hanya sebagai pengajaran fikih, tafsir, atau hadis, melainkan harus mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang dibutuhkan manusia, baik dalam bidang sains, teknologi, ekonomi, sosial, dan humaniora. Namun, pengajaran ilmu-ilmu ini harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan perspektif Islam, baik dari sisi epistemologi, ontologi, maupun aksiologi (Suhaimis et al., 2024). Misalnya, ilmu biologi tidak hanya mengajarkan tentang struktur tubuh manusia, tetapi juga tentang keagungan ciptaan Allah dan tanggung jawab manusia untuk menjaga ciptaan tersebut. Begitu pula dengan ilmu ekonomi, yang tidak hanya membahas soal mekanisme pasar, tetapi juga nilai keadilan, zakat, dan etika bisnis Islami.

 

Pendidikan yang terpadu harus dimulai dari desain kurikulum yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama (Novianti, 2019). Dalam pemikiran Al faruqi, beliau mengusulkan agar setiap universitas atau lembaga pendidikan Islam memiliki dua komponen utama: pengajaran warisan intelektual Islam (Islamic legacy) dan pengajaran ilmu-ilmu modern (contemporary knowledge). Kedua komponen ini tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus saling terkait melalui pendekatan interdisipliner. Dalam praktiknya, seorang mahasiswa teknik, misalnya, tidak hanya belajar matematika dan fisika, tetapi juga belajar tentang nilai-nilai keislaman yang berkaitan dengan etika rekayasa dan tanggung jawab sosial.

 

Modernisasi pendidikan Islam menurut al-Faruqi bukan berarti meniru sistem Barat secara mentah-mentah, tetapi melakukan transformasi sistem pendidikan agar mampu merespon tantangan global dengan tetap menjaga integritas nilai-nilai Islam (Alpata et al., 2025). Isma’il Al-faruqi mengkritik keras sistem pendidikan Barat yang cenderung sekuler dan materialistik, serta gagal membentuk manusia yang beradab secara utuh. Oleh sebab itu, modernisasi pendidikan Islam dalam pandangannya harus berorientasi pada pembentukan karakter, spiritualitas, dan kesadaran sosial umat. Inilah inti dari konsep insan kamil dalam Islam, yang menjadi tujuan akhir dari sistem pendidikan yang terpadu dan modern (Junaedi et al., 2023).

 

Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang pendidikan Islam yang terpadu dan modern memiliki relevansi yang sangat signifikan dalam konteks sistem pendidikan Islam di Indonesia saat ini. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia tengah menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem pendidikan Islam yang mampu menjawab kebutuhan zaman modern tanpa kehilangan akar nilai-nilai Islam. Dalam situasi seperti ini, gagasan al-Faruqi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dan pendidikan berbasis tauhid menjadi sumber inspirasi penting bagi pembaruan pendidikan Islam di tanah air (Maulana, 2022).

 

Salah satu isu utama dalam pendidikan Islam Indonesia selama beberapa dekade terakhir adalah dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Dikotomi ini berakar dari warisan kolonial yang memisahkan madrasah dan sekolah umum, serta pendidikan pesantren dan pendidikan formal negara. Sebagai akibatnya, institusi pendidikan Islam cenderung berkembang secara sektoral, tidak integratif, dan seringkali tertinggal dalam penguasaan ilmu-ilmu modern. Dalam konteks inilah, pemikiran al-Faruqi menawarkan alternatif berupa paradigma pendidikan Islam yang menyatukan nilai-nilai keislaman dengan pendekatan ilmiah modern secara harmonis (Halomoan & Aprison, 2024).

 

Al faruqi menyatakan bahwa inti dari pendidikan Islam yang terpadu adalah integrasi antara wahyu dan akal, antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu kontemporer dalam satu sistem pendidikan yang berakar pada tauhid. Pendidikan bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi juga transformasi nilai yang mengarahkan peserta didik menjadi insan kamil manusia paripurna yang utuh dalam dimensi spiritual, intelektual, dan sosial (Saleh, 2023). Gagasan menjadi sangat relevan dengan upaya berbagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang tengah mengembangkan model pendidikan terpadu, seperti sekolah Islam terpadu, madrasah unggulan, serta pesantren modern.

 

Sekolah Islam Terpadu (SIT), yang mulai berkembang sejak akhir 1990-an di Indonesia, merupakan salah satu wujud konkret dari penerapan pemikiran al-Faruqi dalam sistem pendidikan nasional. Sekolah ini menggabungkan kurikulum nasional (ilmu umum) dengan muatan kurikulum khas Islam (ilmu agama) dalam satu sistem yang terintegrasi, bukan terpisah. Dalam praktiknya, SIT berusaha menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam setiap mata pelajaran, mulai dari sains, matematika, hingga bahasa, dengan pendekatan kontekstual dan bernilai tauhid (Ihsanudin & Soleh, 2023). Model ini mencerminkan semangat Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana digagas oleh al-Faruqi, yaitu menjadikan seluruh ilmu tunduk pada nilai-nilai etika dan teologi Islam.

 

Selain itu, madrasah modern di Indonesia juga mulai bergerak menuju sistem yang lebih integratif. Beberapa madrasah unggulan seperti MAN Insan Cendekia dan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) mengadopsi kurikulum yang menggabungkan penguasaan ilmu agama dan sains modern secara seimbang. Hal ini selaras dengan pandangan al-Faruqi bahwa umat Islam tidak cukup hanya unggul dalam aspek spiritual, tetapi juga harus menjadi aktor intelektual dan ilmuwan yang berkontribusi bagi kemajuan peradaban (Abrar et al., 2024).

 

Pemikiran al-Faruqi juga mendorong pentingnya pembentukan worldview Islam (ru’yah al-Islam li al-wujud) dalam proses pendidikan. Artinya, peserta didik tidak hanya dituntut memahami konten pelajaran, tetapi juga bagaimana melihat realitas hidup dengan kacamata Islam (Nur Amalina Wafi’ Azizah & Ikhsan Kamil Sahri, 2024). Di Indonesia, upaya ini tercermin dalam pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Islam yang mulai harus utamakan dalam sistem pendidikan, baik di sekolah Islam maupun sekolah negeri. Pendidikan karakter yang mengintegrasikan nilai-nilai tauhid, adil, jujur, dan tanggung jawab merupakan bentuk konkret dari upaya membangun manusia berkepribadian Islam sebagaimana dicita-citakan al-Faruqi (Tetelepta et al., 2023).

 

Lebih jauh, al-Faruqi juga menekankan pentingnya penguasaan metodologi ilmiah modern oleh para intelektual Muslim agar mampu melakukan proses sintesis ilmu pengetahuan yang Islami. Di Indonesia, sejumlah universitas Islam seperti UIN (Universitas Islam Negeri) dan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) telah bertransformasi dari kampus berbasis keilmuan Islam tradisional menjadi lembaga pendidikan tinggi yang membuka fakultas sains, kedokteran, ekonomi, dan teknologi. Transformasi ini mencerminkan upaya untuk menerapkan model pendidikan Islam yang terpadu dan modern sebagaimana digagas oleh al-Faruqi. Namun, tantangan besar masih terletak pada bagaimana menjamin bahwa pengajaran ilmu-ilmu modern tetap berakar pada nilai-nilai keislaman, bukan sekadar pengadopsian kurikulum Barat (Hanifah, 2018).

 

Dengan demikian, pemikiran al-Faruqi memiliki pengaruhnya dalam memperbaiki sistem pendidikan Islam di Indonesia. Ide-ide beliau menjadi dasar penting dalam menyatukan pelajaran agama dan pelajaran umum, agar tidak terjadi lagi dikotomi ilmu pengetahuan. Dengan adanya gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, kurikulum Pendidikan di Indonesia menjadi lebih utuh dan memiliki arah ke depan yang jelas. Dan sekarang, model pendidikan Islam yang mencoba gabungkan ilmu agama dan ilmu umum yang ada di Indonesia bisa dibilang adalah hasil nyata dari pemikiran besar al-Faruqi. Tapi, dalam pelaksanaannya masih ada beberapa kendala, seperti kurangnya guru yang siap dan paham konsep ini, fasilitas sekolah yang belum memadai, dan juga masih ada sebagian orang yang belum siap atau bahkan menolak perubahan cara pandang dalam pendidikan atau perubahan pola pikir atau cara melihat sistem pendidikan.


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini minimal 500 kata maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.
×
Berita Terbaru Update