![]() |
Arifah Nur Imamma Mahasantri Ma'had Ronggowarsito UIN Raden Mas Said Surakarta. |
Berdasarkan
latar belakang tersebut, muncul sebuah gagasan untuk mengintegrasikan antara
dimensi fisik dan metafisik, yang kemudian melahirkan suatu disiplin keilmuan
baru yang bersifat modern namun tetap berakar pada nilai-nilai religius dan
prinsip tauhid. Gagasan ini dikenal dengan istilah "Islamisasi Ilmu
Pengetahuan". Konsep tersebut mulai dikenal luas sejak awal kemunculannya
pada dekade 1980-an. Ide ini pertama kali digagas oleh Syed Muhammad Naquib
al-Attas dan kemudian disebarluaskan oleh Ismail Raji al-Faruqi. Beliau lahir
pada tahun 1921 di Jaffa, Palestina, dan kemudian menempuh pendidikan di
berbagai negara Barat seperti Kanada dan Amerika Serikat. Perjalanan
akademisnya mempertemukan beliau dengan dua tradisi keilmuan, yakni tradisi
keilmuan Islam dan Barat. Hal ini memunculkan pandangan beliau yang unik dalam
melihat krisis epistemologis yang dialami umat Islam terutama dalam bidang
pendidikan. Hingga saat ini, gagasan beliau masih menjadi bahan diskusi yang
populer dan penting di kalangan umat Islam (Hafid, 2021).
Pendidikan
Islam di era modern menghadapi tantangan yang kompleks, terutama dalam hal
integrasi antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu modern (Syafi’i, 2022). Banyak institusi pendidikan Islam yang masih mempertahankan dikotomi
antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga menciptakan jurang epistemologis yang
berdampak pada kualitas lulusan yang kurang adaptif terhadap perkembangan
zaman. Padahal, pendidikan seharusnya tidak hanya menghasilkan individu yang
religius secara ritual, tetapi juga kritis, produktif, dan kontributif dalam
bidang keilmuan dan sosial. Begitu juga sebaliknya, tidak hanya paham ilmu ilmu
umum tetapi juga harus diimbangi dengan ilmu agama (Amin, 2014).
Dikotomi
ilmu pengetahuan menjadi bagian dari perdebatan intelektual yang terus dibahas
dalam gagasan keilmuan, terutama di ranah pendidikan. Pemisahan antara ilmu
agama dan ilmu umum melahirkan bentuk pendidikan yang timpang di satu sisi,
sistem pendidikan modern cenderung mengesampingkan dimensi spiritual, sementara
di sisi lain, pendidikan keagamaan seringkali terlepas dari realitas ilmiah dan
perkembangan sains kontemporer (Humairah et al., 2024). Secara epistemologis, dikotomi merujuk pada upaya klasifikasi tegas
antara dua hal yang dianggap saling
eksklusif, yang satu tidak dapat merangkul keberadaan yang lain. Pandangan ini
seharusnya tidak selaras dengan kerangka epistemologi Islam, Islam menempatkan
ilmu dalam satu kesatuan yang integral dan menyeluruh. Selain itu, Islam
menekankan pentingnya penggunaan akal dalam memahami fenomena alam sebagai
wujud petunjuk dan tanda kekuasaan Tuhan, sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 190. Dalam ayat tersebut, manusia diperintahkan
untuk merenungkan akan kuasa Tuhan terhadap penciptaan langit, bumi, serta
siklus waktu. Hal ini menjadi bentuk cerminan dari keberfungsian akal seseorang
dalam merespons ciptaan Ilahi (Ningsih et al., 2022).
Dalam
konteks kontemporer, pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu duniawi menjadi
perhatian serius para pemikir Muslim modern seperti Syed Muhammad Naquib
al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Keduanya menilai bahwa sistem pendidikan di
dunia Islam telah mengalami pergeseran nilai, menjauh dari integrasi keilmuan
sebagaimana dicontohkan dalam khazanah keilmuan Islam klasik. Al-Faruqi,
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari kerangka etik dan
moral (Sholeh, 2017) Oleh karena itu, menurut beliau, dalam konsep islamisasi pengetahuan
yang perlu dikaji bukan sekadar pelakunya, tetapi struktur dan isi ilmu itu
sendiri yang harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam. Proses Islamisasi
ilmu memerlukan fondasi yang kuat, yakni dengan menjadikan Al-Qur’an dan sunnah
sebagai sumber utama (Inayah, 2020). Ilmu-ilmu modern perlu dikaji secara kritis, tidak hanya dari sisi
manfaatnya, tetapi juga dari nilai-nilai yang mendasarinya. Selanjutnya,
dibutuhkan pendekatan filosofis yang mampu merekonstruksi ilmu pengetahuan agar
selaras dengan ajaran dan etika Islam, sehingga tercipta integrasi antara wahyu
dan akal dalam pengembangan ilmu berdasarkan nilai-nilai Islam (Hakim et al., 2025).
Dalam
konteks ini, pemikiran Ismail Raji al-Faruqi menawarkan paradigma baru yang
sangat relevan. Melalui konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi berusaha
menghapus dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sains, dengan menekankan bahwa
seluruh ilmu harus berakar pada prinsip tauhid sebagai dasar epistemologis
Islam. Ia meyakini bahwa pendidikan Islam yang terpadu dan modern hanya dapat
tercapai melalui penyatuan antara wahyu dan akal dalam seluruh cabang ilmu,
sehingga umat Islam tidak terjebak dalam inferioritas intelektual Barat .
Konsep
dasar dalam gagasan Islamisasi ilmu yang dikemukakan al-Faruqi bertumpu pada
prinsip tauhid sebagai asas utama kehidupan. Tauhid dalam pandangan al-Faruqi
bukan sekadar pengakuan akan keesaan Tuhan secara teologis, tetapi merupakan
prinsip etis, epistemologis, dan ontologis yang mengarahkan seluruh aspek
kehidupan manusia. Ia menyatakan bahwa tauhid adalah paradigma dasar yang
seharusnya menjadi acuan dalam membangun ilmu pengetahuan. Semua disiplin ilmu,
baik ilmu alam, sosial, maupun humaniora, harus berakar pada nilai-nilai
tauhid, yaitu keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan (Haryanti & Amril, 2024). Dalam bukunya yang monumental Islamization of Knowledge: General
Principles and Workplan, al-Faruqi merumuskan langkah-langkah konkret untuk
Islamisasi ilmu pengetahuan. Beliau menyusun dua belas langkah Islamisasi, yang
dimulai dari penguasaan terhadap khazanah keilmuan Islam klasik, penguasaan
terhadap ilmu-ilmu modern, hingga penyusunan kurikulum baru yang integratif.
Islamisasi di sini bukan berarti "mengislamkan" pengetahuan dari
luar, melainkan memberikan landasan normatif dan etis yang Islami pada setiap
proses produksi dan penggunaan ilmu pengetahuan (Taufik & Yasir, 2017). Dalam pemikiran islamisasi ilmu pengetahuan Beliau menegaskan bahwa
ilmu pengetahuan bersifat netral secara ontologis, tetapi tidak netral secara
aksiologis dan epistemologis. Oleh karena itu, ilmu harus diolah kembali
berdasarkan paradigma tauhid agar mampu membawa manfaat bagi umat manusia dan
tidak merusak tatanan moral (Putra, 2020).
Gagasan
al-Faruqi sangat relevan dengan arah kebijakan pendidikan Islam di Indonesia
yang menekankan integrasi antara ilmu keislaman dan ilmu umum (Rijal, 2018). Konsep ini sejalan dengan visi institusi pendidikan tinggi Islam
seperti Universitas Islam Negeri (UIN), yang berusaha membangun sistem
pendidikan yang interkonektif, multidisipliner, dan kontekstual. Oleh karena
itu, kajian pada pemikiran al-Faruqi penting untuk memperkuat arah pembaharuan
pendidikan Islam yang lebih integratif, rasional, dan kontributif terhadap
pembangunan peradaban (‘Ulum et al., 2022).
Pendidikan
Islam terpadu tidak boleh dimaknai secara sempit hanya sebagai pengajaran
fikih, tafsir, atau hadis, melainkan harus mencakup seluruh ilmu pengetahuan
yang dibutuhkan manusia, baik dalam bidang sains, teknologi, ekonomi, sosial,
dan humaniora. Namun, pengajaran ilmu-ilmu ini harus dilakukan dengan cara yang
sesuai dengan perspektif Islam, baik dari sisi epistemologi, ontologi, maupun
aksiologi (Suhaimis et al., 2024). Misalnya, ilmu biologi tidak hanya mengajarkan tentang struktur tubuh
manusia, tetapi juga tentang keagungan ciptaan Allah dan tanggung jawab manusia
untuk menjaga ciptaan tersebut. Begitu pula dengan ilmu ekonomi, yang tidak
hanya membahas soal mekanisme pasar, tetapi juga nilai keadilan, zakat, dan
etika bisnis Islami.
Pendidikan
yang terpadu harus dimulai dari desain kurikulum yang menjunjung tinggi
nilai-nilai agama (Novianti, 2019). Dalam pemikiran Al faruqi, beliau mengusulkan agar setiap universitas
atau lembaga pendidikan Islam memiliki dua komponen utama: pengajaran warisan
intelektual Islam (Islamic legacy) dan pengajaran ilmu-ilmu modern
(contemporary knowledge). Kedua komponen ini tidak boleh berdiri sendiri,
melainkan harus saling terkait melalui pendekatan interdisipliner. Dalam
praktiknya, seorang mahasiswa teknik, misalnya, tidak hanya belajar matematika
dan fisika, tetapi juga belajar tentang nilai-nilai keislaman yang berkaitan
dengan etika rekayasa dan tanggung jawab sosial.
Modernisasi
pendidikan Islam menurut al-Faruqi bukan berarti meniru sistem Barat secara
mentah-mentah, tetapi melakukan transformasi sistem pendidikan agar mampu
merespon tantangan global dengan tetap menjaga integritas nilai-nilai Islam (Alpata et al., 2025). Isma’il Al-faruqi mengkritik keras sistem pendidikan Barat yang
cenderung sekuler dan materialistik, serta gagal membentuk manusia yang beradab
secara utuh. Oleh sebab itu, modernisasi pendidikan Islam dalam pandangannya
harus berorientasi pada pembentukan karakter, spiritualitas, dan kesadaran
sosial umat. Inilah inti dari konsep insan kamil dalam Islam, yang menjadi
tujuan akhir dari sistem pendidikan yang terpadu dan modern (Junaedi et al., 2023).
Pemikiran
Ismail Raji al-Faruqi tentang pendidikan Islam yang terpadu dan modern memiliki
relevansi yang sangat signifikan dalam konteks sistem pendidikan Islam di
Indonesia saat ini. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di
dunia tengah menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem pendidikan Islam
yang mampu menjawab kebutuhan zaman modern tanpa kehilangan akar nilai-nilai
Islam. Dalam situasi seperti ini, gagasan al-Faruqi tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan dan pendidikan berbasis tauhid menjadi sumber inspirasi penting
bagi pembaruan pendidikan Islam di tanah air (Maulana, 2022).
Salah
satu isu utama dalam pendidikan Islam Indonesia selama beberapa dekade terakhir
adalah dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Dikotomi ini berakar dari
warisan kolonial yang memisahkan madrasah dan sekolah umum, serta pendidikan
pesantren dan pendidikan formal negara. Sebagai akibatnya, institusi pendidikan
Islam cenderung berkembang secara sektoral, tidak integratif, dan seringkali
tertinggal dalam penguasaan ilmu-ilmu modern. Dalam konteks inilah, pemikiran
al-Faruqi menawarkan alternatif berupa paradigma pendidikan Islam yang
menyatukan nilai-nilai keislaman dengan pendekatan ilmiah modern secara
harmonis (Halomoan & Aprison, 2024).
Al
faruqi menyatakan bahwa inti dari pendidikan Islam yang terpadu adalah
integrasi antara wahyu dan akal, antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu
kontemporer dalam satu sistem pendidikan yang berakar pada tauhid. Pendidikan
bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi juga transformasi nilai yang
mengarahkan peserta didik menjadi insan kamil manusia paripurna yang utuh dalam
dimensi spiritual, intelektual, dan sosial (Saleh, 2023). Gagasan menjadi sangat relevan dengan upaya berbagai lembaga
pendidikan Islam di Indonesia yang tengah mengembangkan model pendidikan
terpadu, seperti sekolah Islam terpadu, madrasah unggulan, serta pesantren
modern.
Sekolah
Islam Terpadu (SIT), yang mulai berkembang sejak akhir 1990-an di Indonesia,
merupakan salah satu wujud konkret dari penerapan pemikiran al-Faruqi dalam
sistem pendidikan nasional. Sekolah ini menggabungkan kurikulum nasional (ilmu
umum) dengan muatan kurikulum khas Islam (ilmu agama) dalam satu sistem yang
terintegrasi, bukan terpisah. Dalam praktiknya, SIT berusaha menanamkan
nilai-nilai Islam ke dalam setiap mata pelajaran, mulai dari sains, matematika,
hingga bahasa, dengan pendekatan kontekstual dan bernilai tauhid (Ihsanudin & Soleh, 2023). Model ini mencerminkan semangat Islamisasi ilmu pengetahuan
sebagaimana digagas oleh al-Faruqi, yaitu menjadikan seluruh ilmu tunduk pada
nilai-nilai etika dan teologi Islam.
Selain
itu, madrasah modern di Indonesia juga mulai bergerak menuju sistem yang lebih
integratif. Beberapa madrasah unggulan seperti MAN Insan Cendekia dan Madrasah
Aliyah Program Khusus (MAPK) mengadopsi kurikulum yang menggabungkan penguasaan
ilmu agama dan sains modern secara seimbang. Hal ini selaras dengan pandangan
al-Faruqi bahwa umat Islam tidak cukup hanya unggul dalam aspek spiritual,
tetapi juga harus menjadi aktor intelektual dan ilmuwan yang berkontribusi bagi
kemajuan peradaban (Abrar et al., 2024).
Pemikiran
al-Faruqi juga mendorong pentingnya pembentukan worldview Islam (ru’yah
al-Islam li al-wujud) dalam proses pendidikan. Artinya, peserta didik tidak
hanya dituntut memahami konten pelajaran, tetapi juga bagaimana melihat
realitas hidup dengan kacamata Islam (Nur Amalina Wafi’ Azizah & Ikhsan Kamil Sahri,
2024). Di Indonesia, upaya ini
tercermin dalam pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Islam
yang mulai harus utamakan dalam sistem pendidikan, baik di sekolah Islam maupun
sekolah negeri. Pendidikan karakter yang mengintegrasikan nilai-nilai tauhid,
adil, jujur, dan tanggung jawab merupakan bentuk konkret dari upaya membangun
manusia berkepribadian Islam sebagaimana dicita-citakan al-Faruqi (Tetelepta et al., 2023).
Lebih
jauh, al-Faruqi juga menekankan pentingnya penguasaan metodologi ilmiah modern
oleh para intelektual Muslim agar mampu melakukan proses sintesis ilmu
pengetahuan yang Islami. Di Indonesia, sejumlah universitas Islam seperti UIN
(Universitas Islam Negeri) dan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) telah
bertransformasi dari kampus berbasis keilmuan Islam tradisional menjadi lembaga
pendidikan tinggi yang membuka fakultas sains, kedokteran, ekonomi, dan
teknologi. Transformasi ini mencerminkan upaya untuk menerapkan model
pendidikan Islam yang terpadu dan modern sebagaimana digagas oleh al-Faruqi.
Namun, tantangan besar masih terletak pada bagaimana menjamin bahwa pengajaran
ilmu-ilmu modern tetap berakar pada nilai-nilai keislaman, bukan sekadar
pengadopsian kurikulum Barat (Hanifah, 2018).
Dengan
demikian, pemikiran al-Faruqi memiliki pengaruhnya dalam memperbaiki sistem
pendidikan Islam di Indonesia. Ide-ide beliau menjadi dasar penting dalam
menyatukan pelajaran agama dan pelajaran umum, agar tidak terjadi lagi dikotomi
ilmu pengetahuan. Dengan adanya gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, kurikulum
Pendidikan di Indonesia menjadi lebih utuh dan memiliki arah ke depan yang
jelas. Dan sekarang, model pendidikan Islam yang mencoba gabungkan ilmu agama
dan ilmu umum yang ada di Indonesia bisa dibilang adalah hasil nyata dari
pemikiran besar al-Faruqi. Tapi, dalam pelaksanaannya masih ada beberapa
kendala, seperti kurangnya guru yang siap dan paham konsep ini, fasilitas
sekolah yang belum memadai, dan juga masih ada sebagian orang yang belum siap
atau bahkan menolak perubahan cara pandang dalam pendidikan atau perubahan pola
pikir atau cara melihat sistem pendidikan.