Notification

×

Iklan

Iklan

Pak Marhaen Seorang Petani yang Belum Merdeka: Refleksi Terhadap Sistem yang Belum Berubah

Rabu, 07 Mei 2025 | 16.50 WIB Last Updated 2025-05-07T09:53:28Z

Penulis Khoirul Anwar Petani dari Kabupaten Malang. (Foto/Freepik)
OPINI.CO, MALANG - Pernahkah kita berfikir bahwa petani atau yang kita kenal dengan "Pak Marhaen" belum merasakan kemerdekaan sejati? Meskipun negara kita telah merdeka faktanya kehidupan petani masih terjerat dalam aturan yang mengikat mereka pada pola yang sama seperti zaman kolonial. Contoh nyata yang sering kita lihat dan sudah tidak asing lagi bagi kita ketika musim panen melimpah harga jual justru murah dan tak jarang banyak petani yang merasa frustasi sehingga membuang hasil panen mereka di karenakan tidak laku terjual, atau harga panen tidak sesuai dengan modal yang mereka keluarkan. Ini adalah kenyataan pahit yang dihadapi oleh petani kita hari.


Dari situlah timbul pemikiran bahwa pak marhaen belumlah merdeka. Mengapa petani terjajah dan tidak akan pernah merdeka? Dan mengapa petani tidak bisa menentukan harga dari hasil jerih payah hasil bumi mereka? Mengapa kaum muda tidak mau menjadi petani? Mengapa banyak petani menjual lahanya dan lahanya beralihfungsi menjadi perumahan, minimarket dan pabrik?

 

Salah satu alasan utama mengapa petani belum merdeka adalah ketidak mampuan mereka menentukan harga hasil bumi yang mereka tanam. Petani akan selamanya tejajah karena masih terjebak pada sistem kolonial yakni pertanian tanam paksa, mengapa demikian? mari kita renungkan apakah masih sama sistem pertanian di masa kolonial dengan fenomena petani hari ini, petani berjuang keras ketika ingin menanam suatu komoditi tertentu mereka harus mengeluarkan modal sendiri, kerja sendiri, menanggung resiko gagal panen sendiri, ketika sudah musim panen harga jual tidak bisa menentukan sendiri harus mengikuti harga pasar dan harus mengikuti sistem orang lain dalam menjual hasil bumi mereka. Maka dapat di artikan dan di ambil kesimpulan bahwa dalam sistem ini petani tidak lebih dari "tukang tanam" yang menghasilkan pangan tanpa kuasa untuk menentukan harga jualnya.

 

Kondisi ini sangat mirip dengan sistem kolonial yang ada di masa lalu, di mana petani di anggap sebagai pekerja yang tidak memiliki kontrol atas hasil kerjanya. Sistem pada masa kolonial adalah sistem tanam paksa, memaksa petani untuk menanam komoditas tertentu yang harus dipanen dan di jual dengan harga yang ditentukan oleh pihak penjajah. Kini meskipun telah merdeka pola tersebut masih berlanjut, hanya saja dalam bentuk yang lebih modern. Meskipun petani telah bebas tetapi mereka masih terperangkap dalam sistem yang tidak memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang atau menentukan nasib mereka.

 

Petani tak ubahnya seperti tukang produksi padahal damal sistem bisnis banyak sekali lini yang harus di kuasai bukan sekedar produksi, tetapi marketing juga harus di kuasai. Jika petani masih terjebak dalam sistem ini maka Petani akan menjadi buruh di tanah sendiri. Mereka tidak akan bisa merdeka secara ekonomi dan sosial. Untuk itu petani harus di beri akses untuk menentukan harga hasil pertanian mereka, di berikan kesempatan untuk mengelola rantai pasokan, dan di berikan pelatihan untuk menguasai pemasaran serta distribusi hasil panen mereka. Tanpa perubahan sistem yang mendasar kita akan terus melihat fenomena yang sama, petani yang terjebak dalam kemiskinan dan ketergantungan pada sistem yang tidak menguntungkan mereka sehingga mereka akan menjual tahahnya dengan harga murah  dan tanah itu beralih fungsi menjadi perumahan, minimarket dan sebagainya.

 

Efek lain dari sistem tadi menyebabkan generasi muda enggan menjadi petani, bahkan dalam lingkungan sosial kita banyak orang tua yang tidak setuju jika anaknya menjadi seorang petani terlebih ketika anaknya sudah mengenyam pendidikan dan  menjadi sarjana. Generasi muda akan berfikir siapa yang ingin menghabiskan hidupnya di tengah tanah, berjuang dengan keras, tetapi tetap bergantung pada sistem yang tidak memguntungkan? Mereka akan memilih mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, meskipun itu harus meninggalkan tanah dan desa mereka bahakan yang sempat ramai di media sosial kabur aja dulu.


*)Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.


*)Sertakan riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.


*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.


*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.


*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.

×
Berita Terbaru Update