![]() |
Penulis Abdul Qodir. (Dok. Ybs) |
Dalam
prakteknya, Pengembangan alat dan media pembelajaran harus kreatif, inovatif,
sesuai karakteristik siswa, serta kontekstual dengan kondisi lingkungan dan
kearifan lokal. Ini sesuai dengan keterangan dalam kitab Matn al-Taqrîb
karya al-Qâdhi Abû Syujâ’ yang menyebutkan:
سألني بعض
الأصدقاء حفظهم الله تعالى، أن أعمل مختصرا في الفقه على مذهب الإمام الشافعي رحمة
الله عليه ورضوانه، في غاية الاختصار ونهاية الإيجاز ليقرب على المتعلم درسه ويسهل
على المبتدئ حفظه ، وأن أكثر من التقسيمات وحصر الخصال
“Aku diminta oleh sebagian teman untuk menyusun ringkasan fiqih mazhab
Syafi'i yang sangat ringkas dan sederhana, dan memperbanyak pembagian yang
sistematis agar mudah dipelajari dan dihafal oleh mubtadi’în.”
(Qâdhi Abu Syujâ’, Matan al-Ghâyah wa at-Taqrîb, ‘Alam al-Kutub, hal. 2).
Hal ini mensinyalir bahwa pengembangan alat peraga,
media dan teknologi pembelajaran dalam pendidikan bertujuan untuk mempermudah
materi yang disampaikan guru agar dapat diterima dengan baik oleh siswa,
menyesuaikan dengan kebutuhannya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para
ulama-ulama terdahulu. Bahkan tidak sedikit para kyai dan ulama meringkas
kitab-kitab besar untuk dijadikan bahan ajar kepada santri atau siswanya
berbentuk ringkasan kitab yang lebih kecil (mukhtashar) dan nadhom-an
agar mudah dan cepat dipahami.
Hal ini juga diperkuat dalam Mukaddimah Nadham
al-‘Imrîthî, di mana Syekh Syarafuddin menyebutkan:
نَظَمْتُهَا
نَظْمًا بَدِيعًا مُقْتَدِي * بِالْأَصْلِ
فِي تَقْرِيبِهِ لِلْمُبْتَدِي
“Kitab tersebut aku jadikan nadham yang indah,
dengan mengikuti kitab asalnya untuk memudahkan para pemula yang belajar ilmu
nahwu.”
وَقَدْ
حَذَفْتُ مِنْهُ مَا عَنْهُ غِنَى * وَزِدْتُهُ فَوَائِدًا بِهَا الْغِنَى
“Aku telah membuang sebagian yang kurang perlu, dan
aku tambahkan beberapa faidah yang cukup penting.”
Dari dua contoh di atas kita dapat mengambil beberapa
kesimpulan dalam penyesuaian dalam pembelajaran:
1.
Hendaknya pelajaran
diringkas dan tidak bertele-tele.
2.
Bentuknya
dibuat dalam pembagian-pembagian secara sistematis.
3. Menggunakan
metode pendekatan sesuai kapasitas dan kebutuhan siswa, seperti dikatakan dalam
‘Imrithi, fî taqrîbihi lil mubtadî’.
4. Melihat dari nadhom
‘Imrithi, bagi seorang pelajar ketika itu, nadhom merupakan bentuk teks
yang memudahkan untuk dipelajari, dihafal, dan dipahami.
5.
Ajarkan apa
yang diperlukan oleh siswa.
Integrasi
Nilai Tradisi Pesantren dan Kebijakan Pendidikan Nasional
Dalam konteks pendidikan nasional, prinsip fî
taqrîbihi lil mubtadi’ sebagaimana dicontohkan oleh para ulama klasik juga
sejalan dengan kebijakan dan arahan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
serta Kementerian Agama.
Dalam Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum
Merdeka yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek RI (2021),
ditegaskan bahwa pembelajaran hendaknya dirancang agar berpusat pada siswa
(student-centered), memperhatikan karakteristik individu peserta didik,
serta menggunakan media yang kontekstual, adaptif, dan inovatif. Media
pembelajaran tidak harus kompleks secara teknologi, tetapi harus sesuai dengan
kebutuhan belajar dan latar belakang peserta didik. Prinsip ini mencerminkan
semangat penyederhanaan dan sistematisasi sebagaimana dilakukan oleh Qadhi Abu
Syuja’ dalam Matan al-Taqrîb.
Senada dengan itu, Kementerian Agama dalam Panduan
Implementasi Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (IKS) Madrasah (Dirjen
Pendis Kemenag RI, 2022), mendorong guru untuk mengembangkan bahan ajar dan
media pembelajaran yang berbasis kearifan lokal, kontekstual dengan
lingkungan madrasah, dan berorientasi pada kebutuhan nyata peserta didik.
Pendekatan ini mencerminkan nilai-nilai keilmuan klasik yang digunakan oleh
para ulama terdahulu seperti penyusunan kitab mukhtashar dan nadhom
untuk kemudahan belajar.
Lebih lanjut, dalam buku Moderasi Beragama dalam
Pendidikan (Kemenag RI, 2021), disebutkan bahwa pendidikan yang efektif
adalah yang mampu mengembangkan pembelajaran reflektif, kritis, dan sesuai
dengan konteks budaya peserta didik. Ini memperkuat bahwa upaya taqrîb
atau mendekatkan ilmu kepada pemula sebagaimana dikembangkan oleh para ulama
klasik, merupakan pendekatan pedagogis yang tetap relevan dalam sistem
pendidikan modern.
Prinsip bahwa materi harus ringkas, sistematis, sesuai
kebutuhan, dan mudah dipahami—sebagaimana terlihat dalam karya Syekh
Syarafuddin al-Imrîthî—juga merupakan prinsip pedagogik yang didukung
oleh Profil Pelajar Pancasila (Kemendikbudristek, 2021), yang menekankan
pentingnya peserta didik sebagai individu yang mandiri, kreatif,
dan mampu belajar sepanjang hayat.
Salah satu prinsip Student-Centered Learning adalah
sebuah penekanan bahwa kesuksesan murid dalam menuntut ilmu juga ditopang oleh
kegigihannya dalam proses pembelajaran dan dibantu doa guru kepada muridnya
agar ilmunya bermanfaat, sehingga tujuan pembelajara dapat berhasil baik dari
segi pengetahuan yang sifatnya teoritis dan tekstual maupun kontekstual seperti
tercapainya ranah sikap dan sebagainya. seperti dalam bait lain Syekh Syarafuddin
menyebutkan:
إذِ الْفَتَى
حَسْبَ اعْتِقَادِهِ رُفِعْ * وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَمْ يَنْتَفِعْ
Karena kemuliaan kaum muda tergantung tekadnya. Barang siapa tidak
mempunyai tekad yang kuat akan gagal meraih keberhasilan.
فَنَسْأَلُ المَنَّانَ أَنْ يُجِيرَنَا * مِنَ الرِّيَا مُضَاعِفاً أُجُورَنَا
Aku mohon pada Dzat yang Maha Pemurah agar menyelamatkan diriku dari
sifat riya serta melipat gandakan pahalaku.
وَأَنْ يَكُونَ
نَافِعاً بِعِلْمِهِ * مَنِ اعْتَنَى بِحِفْظِهِ وَفَهْمِهِ
dan semoga memberikan manfaat ilmu nadham ini kepada siapa saja yang
telah berusaha menghafalkan dan memahaminya.