Notification

×

Iklan

Iklan

Fî Taqrîbihi lil Mubtadi’: Students-Centered Learning dalam Perspektif Pendidikan Pesantren

Selasa, 20 Mei 2025 | 15.19 WIB Last Updated 2025-05-20T08:21:30Z

Penulis Abdul Qodir. (Dok. Ybs)
OPINI.CO. PONTIANAK - Konsep student-centered learning atau pembelajaran berpusat pada siswa telah lama dikenal dalam tradisi pendidikan Pesantren, meskipun dengan istilah berbeda. Para ulama terdahulu, seperti Qâdhi Abu Syujâ’ dan Syekh Syarafuddin al-‘Imrîthî, menunjukkan perhatian besar dalam menyederhanakan ilmu agar mudah dipahami oleh pemula (mubtadi’). Prinsip ini sejalan dengan arah kebijakan pendidikan nasional, baik dari Kementerian Agama maupun Kemendikbudristek, yang mendorong pembelajaran kontekstual, adaptif, dan sesuai dengan karakteristik peserta didik. Artikel ini mengaitkan warisan keilmuan klasik dengan pendekatan pembelajaran modern yang berorientasi pada kebutuhan siswa.


Dalam prakteknya, Pengembangan alat dan media pembelajaran harus kreatif, inovatif, sesuai karakteristik siswa, serta kontekstual dengan kondisi lingkungan dan kearifan lokal. Ini sesuai dengan keterangan dalam kitab Matn al-Taqrîb karya al-Qâdhi Abû Syujâ’ yang menyebutkan:


سألني بعض الأصدقاء حفظهم الله تعالى، أن أعمل مختصرا في الفقه على مذهب الإمام الشافعي رحمة الله عليه ورضوانه، في غاية الاختصار ونهاية الإيجاز ليقرب على المتعلم درسه ويسهل على المبتدئ حفظه ، وأن أكثر من التقسيمات وحصر الخصال


“Aku diminta oleh sebagian teman untuk menyusun ringkasan fiqih mazhab Syafi'i yang sangat ringkas dan sederhana, dan memperbanyak pembagian yang sistematis agar mudah dipelajari dan dihafal oleh mubtadi’în.”
(Qâdhi Abu Syujâ’, Matan al-Ghâyah wa at-Taqrîb, ‘Alam al-Kutub, hal. 2).


Hal ini mensinyalir bahwa pengembangan alat peraga, media dan teknologi pembelajaran dalam pendidikan bertujuan untuk mempermudah materi yang disampaikan guru agar dapat diterima dengan baik oleh siswa, menyesuaikan dengan kebutuhannya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para ulama-ulama terdahulu. Bahkan tidak sedikit para kyai dan ulama meringkas kitab-kitab besar untuk dijadikan bahan ajar kepada santri atau siswanya berbentuk ringkasan kitab yang lebih kecil (mukhtashar) dan nadhom-an agar mudah dan cepat dipahami.


Hal ini juga diperkuat dalam Mukaddimah Nadham al-‘Imrîthî, di mana Syekh Syarafuddin menyebutkan:


نَظَمْتُهَا نَظْمًا بَدِيعًا مُقْتَدِي *  بِالْأَصْلِ فِي تَقْرِيبِهِ لِلْمُبْتَدِي


“Kitab tersebut aku jadikan nadham yang indah, dengan mengikuti kitab asalnya untuk memudahkan para pemula yang belajar ilmu nahwu.”


وَقَدْ حَذَفْتُ مِنْهُ مَا عَنْهُ غِنَى *  وَزِدْتُهُ فَوَائِدًا بِهَا الْغِنَى


“Aku telah membuang sebagian yang kurang perlu, dan aku tambahkan beberapa faidah yang cukup penting.”


Dari dua contoh di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan dalam penyesuaian dalam pembelajaran:

1.    Hendaknya pelajaran diringkas dan tidak bertele-tele.

2.    Bentuknya dibuat dalam pembagian-pembagian secara sistematis.

3.   Menggunakan metode pendekatan sesuai kapasitas dan kebutuhan siswa, seperti dikatakan dalam ‘Imrithi, fî taqrîbihi lil mubtadî’.

4.   Melihat dari nadhom ‘Imrithi, bagi seorang pelajar ketika itu, nadhom merupakan bentuk teks yang memudahkan untuk dipelajari, dihafal, dan dipahami.

5.    Ajarkan apa yang diperlukan oleh siswa.


Integrasi Nilai Tradisi Pesantren dan Kebijakan Pendidikan Nasional


Dalam konteks pendidikan nasional, prinsip fî taqrîbihi lil mubtadi’ sebagaimana dicontohkan oleh para ulama klasik juga sejalan dengan kebijakan dan arahan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama.


Dalam Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek RI (2021), ditegaskan bahwa pembelajaran hendaknya dirancang agar berpusat pada siswa (student-centered), memperhatikan karakteristik individu peserta didik, serta menggunakan media yang kontekstual, adaptif, dan inovatif. Media pembelajaran tidak harus kompleks secara teknologi, tetapi harus sesuai dengan kebutuhan belajar dan latar belakang peserta didik. Prinsip ini mencerminkan semangat penyederhanaan dan sistematisasi sebagaimana dilakukan oleh Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan al-Taqrîb.


Senada dengan itu, Kementerian Agama dalam Panduan Implementasi Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (IKS) Madrasah (Dirjen Pendis Kemenag RI, 2022), mendorong guru untuk mengembangkan bahan ajar dan media pembelajaran yang berbasis kearifan lokal, kontekstual dengan lingkungan madrasah, dan berorientasi pada kebutuhan nyata peserta didik. Pendekatan ini mencerminkan nilai-nilai keilmuan klasik yang digunakan oleh para ulama terdahulu seperti penyusunan kitab mukhtashar dan nadhom untuk kemudahan belajar.


Lebih lanjut, dalam buku Moderasi Beragama dalam Pendidikan (Kemenag RI, 2021), disebutkan bahwa pendidikan yang efektif adalah yang mampu mengembangkan pembelajaran reflektif, kritis, dan sesuai dengan konteks budaya peserta didik. Ini memperkuat bahwa upaya taqrîb atau mendekatkan ilmu kepada pemula sebagaimana dikembangkan oleh para ulama klasik, merupakan pendekatan pedagogis yang tetap relevan dalam sistem pendidikan modern.


Prinsip bahwa materi harus ringkas, sistematis, sesuai kebutuhan, dan mudah dipahami—sebagaimana terlihat dalam karya Syekh Syarafuddin al-Imrîthî—juga merupakan prinsip pedagogik yang didukung oleh Profil Pelajar Pancasila (Kemendikbudristek, 2021), yang menekankan pentingnya peserta didik sebagai individu yang mandiri, kreatif, dan mampu belajar sepanjang hayat.


Salah satu prinsip Student-Centered Learning adalah sebuah penekanan bahwa kesuksesan murid dalam menuntut ilmu juga ditopang oleh kegigihannya dalam proses pembelajaran dan dibantu doa guru kepada muridnya agar ilmunya bermanfaat, sehingga tujuan pembelajara dapat berhasil baik dari segi pengetahuan yang sifatnya teoritis dan tekstual maupun kontekstual seperti tercapainya ranah sikap dan sebagainya. seperti dalam bait lain Syekh Syarafuddin menyebutkan:

 

 

إذِ الْفَتَى حَسْبَ اعْتِقَادِهِ رُفِعْ * وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَمْ يَنْتَفِعْ


Karena kemuliaan kaum muda tergantung tekadnya. Barang siapa tidak mempunyai tekad yang kuat akan gagal meraih keberhasilan.


فَنَسْأَلُ المَنَّانَ أَنْ يُجِيرَنَا * مِنَ الرِّيَا مُضَاعِفاً أُجُورَنَا


Aku mohon pada Dzat yang Maha Pemurah agar menyelamatkan diriku dari sifat riya serta melipat gandakan pahalaku.


وَأَنْ يَكُونَ نَافِعاً بِعِلْمِهِ * مَنِ اعْتَنَى بِحِفْظِهِ وَفَهْمِهِ


dan semoga memberikan manfaat ilmu nadham ini kepada siapa saja yang telah berusaha menghafalkan dan memahaminya.


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.

*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.

*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.
×
Berita Terbaru Update