OPINI.CO. SURABAYA - Moderasi beragama adalah program yang
diinisiasi dan dipromosikan oleh Kementerian Agama pada tahun 2018 dan bahkan
dijadikan program prioritas di bawah kepemimpinan Menteri Agama Luqman Hakim
Saifuddin. Keragaman etnis, ras, agama, dan budaya adalah salah satu hal yang
mendorong terwujudnya gagasan ini. Oleh karena itu, moderasi adalah salah satu
cara penting untuk menciptakan dan memelihara perdamaian.
Muhammad Ikmal Rayya Irfani Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. (Foto: Dokpri)
Dalam buku Muslim Moderat, Dr. KH. Fadlil Yani
Ainusyamsi menjelaskan bahwa Islam moderat dicirikan oleh keseimbangan,
keadilan, kebaikan, toleransi, empati, penghormatan, inklusivitas, dan
anti-kekerasan, ekstremisme, radikalisme, serta terorisme. Dengan kata lain,
sikap moderat bukan hanya pilihan, tetapi prinsip dasar dalam Islam yang
rahmatan lil ‘alamin.
Betapa damainya jika sikap moderat dalam Agama
dapat direalisasikan dalam kerangka kehidupan sehari-hari. Ini bukan sekadar
slogan, tetapi suatu kebutuhan yang harus diupayakan untuk diwujudkan. Gagasan
ini sebenarnya berasal dari Kehendak Ilahi, sehingga merupakan nilai yang
seharusnya diterapkan.
Dinamika zaman adalah di mana kita dapat
melihat bahwa beberapa masalah telah terjadi yang dapat menimbulkan perbedaan
satu sama lain. Hal inilah yang menjadikan gagasan moderasi beragama semakin
relevan.
Namun, miskonsepsi atas wacana ini menjadikan
moderasi beragama hanya dicanangkan untuk hubungan antarumat beragama.
Akibatnya, perlakuan terbuka dan inklusif hanya condong kepada mereka yang
berbeda keyakinan. Sementara itu, dalam lingkup internal umat Islam, justru
muncul kesan eksklusif dan kurang menerima perbedaan pandangan.
Tulisan Nurcholish Madjid dalam Atas Nama
Pengalaman sangat mencetak sejarah intelektual Islam di Indonesia. Betapa
tidak, Nurcholish merupakan tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Nurcholish
berusaha memperjuangkan Islam yang komprehensif, bukan Islam yang beridentitas.
Ia khawatir, Islam banyak ditandai pada golongan pemikiran Islam tertentu, dan
meremehkan golongan pemikiran lainnya dengan golongan Islam eksklusif. Di sini,
Nurcholish bermaksud ingin memberdayakan masyarakat dan intelektual Islam di
Indonesia, yang selama ini terkotori dengan Islam yang tidak komprehensif.
Moderasi sangat berkaitan erat dengan Islam
sebab perbedaan pendapat dalam Islam adalah hal yang lumrah dan sering terjadi.
Namun, alih-alih membawa kedamaian, umat Islam justru sering terlibat konflik
karena hal-hal furu'iyah yang semestinya cukup disikapi dengan bijak.
Fenomena pelabelan 'sesat' adalah bukti bahwa
sikap moderasi belum sepenuhnya dipahami dan dipraktikkan. Keluasan khazanah
keilmuan islam tidak serta merta menumbuhkan kesadaran betapa kerasnya para
ulama mujtahid mewariskannya.
Salah satu contoh nyata dari mudahnya memberi
label ‘sesat’ dapat dilihat pada perbedaan praktik ibadah seperti tahlilan,
ziarah kubur, serta berbagai amalan lain yang termasuk dalam ranah furu’iyyah. Menyalahkan
pandangan sudah menjadi pisau tajam dalam menemukan titik temu kemuliaannya.
Dengan mengatasnamakan mazhab atau paham yang dianut, sebagian umat merasa
paling benar dan memaksakan pandangan terhadap yang lain.
Selain itu, praktik dakwah digital yang kini
menjadi media bagi para pendakwahseringkali yang dianggap liberal atau
tekstualis. Alih-alih menjadi ruang untuk saling menghargai perbedaan, hal ini
justru kerap memicu konflik antar golongan. Di antara masyarakat Muslim,
perbedaan dalam furu’ seharusnya tidak menjadikan alasan untuk saling
menyalahkan, apalagi untuk memecah ukhuwah Islamiyah.
Berbagai organisasi Islam, dalam hal ini, NU,
Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan lainnya, semua organisasi tersebut sudah
dan masih berperan penting dalam pembangunan peradaban Islam di Indonesia,
masing-masing organisasi tersebut berusaha untuk menanamkan nilai tawassuth
atau moderasi, sehingga menjadi ciri dan menjadi sikap organisasi untuk menjaga
demokrasi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia.
Namun, dalam menyikapi perbedaan,
kesalahpahaman di antara sebagian pengikut dari organisasi tersebut,
sebaliknya, alih-alih mengusung semangat moderasi seolah-olah mereka terjebak
dalam fanatisme. Kita seharusnya meluruskan berbagai hal yang dipersempit dalam
masyarakat. Tentu, keharmonisan umat tidak hanya menjadi pemuka agama
Gus Mus pernah mengungkapkan: “Orang
Muhammadiyah yang tinggi ilmunya akan semakin mirip dengan NU, orang NU yang
tinggi ilmunya akan semakin mirip Muhammadiyah”. Ini, menegaskan moderasi bukan
sekedar menaruh toleransi saja, melainkan mampu mencari jalan keluar di antara
perbedaan yang ada.
Sikap moderasi akan muncul ketika seseorang
dapat memahami agama secara mendalam disertai dengan sikap lapang dada dalam
menyikapi perbedaan. Moderasi dalam hal ini adalah sikap yang seharusnya
dimiliki oleh setiap Muslim yang mengaku Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan
begitu, moderasi tidak lagi hanya sekedar wacana, tetapi mengingat pentingnya
moderasi ia menjadi kebutuhan untuk menjaga ukhuwah dan peradaban Islam
rahmatan lil alamin.