Notification

×

Iklan

Iklan

Miskonsepsi atas Pentingnya Moderasi dalam Internal Umat Islam

Senin, 24 November 2025 | 18.30 WIB Last Updated 2025-11-24T11:30:16Z

Muhammad Ikmal Rayya Irfani Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. (Foto: Dokpri)
OPINI.CO. SURABAYAModerasi beragama adalah program yang diinisiasi dan dipromosikan oleh Kementerian Agama pada tahun 2018 dan bahkan dijadikan program prioritas di bawah kepemimpinan Menteri Agama Luqman Hakim Saifuddin. Keragaman etnis, ras, agama, dan budaya adalah salah satu hal yang mendorong terwujudnya gagasan ini. Oleh karena itu, moderasi adalah salah satu cara penting untuk menciptakan dan memelihara perdamaian.

 

Dalam buku Muslim Moderat, Dr. KH. Fadlil Yani Ainusyamsi menjelaskan bahwa Islam moderat dicirikan oleh keseimbangan, keadilan, kebaikan, toleransi, empati, penghormatan, inklusivitas, dan anti-kekerasan, ekstremisme, radikalisme, serta terorisme. Dengan kata lain, sikap moderat bukan hanya pilihan, tetapi prinsip dasar dalam Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

 

Betapa damainya jika sikap moderat dalam Agama dapat direalisasikan dalam kerangka kehidupan sehari-hari. Ini bukan sekadar slogan, tetapi suatu kebutuhan yang harus diupayakan untuk diwujudkan. Gagasan ini sebenarnya berasal dari Kehendak Ilahi, sehingga merupakan nilai yang seharusnya diterapkan.

 

Dinamika zaman adalah di mana kita dapat melihat bahwa beberapa masalah telah terjadi yang dapat menimbulkan perbedaan satu sama lain. Hal inilah yang menjadikan gagasan moderasi beragama semakin relevan.

 

Namun, miskonsepsi atas wacana ini menjadikan moderasi beragama hanya dicanangkan untuk hubungan antarumat beragama. Akibatnya, perlakuan terbuka dan inklusif hanya condong kepada mereka yang berbeda keyakinan. Sementara itu, dalam lingkup internal umat Islam, justru muncul kesan eksklusif dan kurang menerima perbedaan pandangan.

 

Tulisan Nurcholish Madjid dalam Atas Nama Pengalaman sangat mencetak sejarah intelektual Islam di Indonesia. Betapa tidak, Nurcholish merupakan tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Nurcholish berusaha memperjuangkan Islam yang komprehensif, bukan Islam yang beridentitas. Ia khawatir, Islam banyak ditandai pada golongan pemikiran Islam tertentu, dan meremehkan golongan pemikiran lainnya dengan golongan Islam eksklusif. Di sini, Nurcholish bermaksud ingin memberdayakan masyarakat dan intelektual Islam di Indonesia, yang selama ini terkotori dengan Islam yang tidak komprehensif.

 

Moderasi sangat berkaitan erat dengan Islam sebab perbedaan pendapat dalam Islam adalah hal yang lumrah dan sering terjadi. Namun, alih-alih membawa kedamaian, umat Islam justru sering terlibat konflik karena hal-hal furu'iyah yang semestinya cukup disikapi dengan bijak.

 

Fenomena pelabelan 'sesat' adalah bukti bahwa sikap moderasi belum sepenuhnya dipahami dan dipraktikkan. Keluasan khazanah keilmuan islam tidak serta merta menumbuhkan kesadaran betapa kerasnya para ulama mujtahid mewariskannya.

 

Salah satu contoh nyata dari mudahnya memberi label ‘sesat’ dapat dilihat pada perbedaan praktik ibadah seperti tahlilan, ziarah kubur, serta berbagai amalan lain yang termasuk dalam ranah furu’iyyah. Menyalahkan pandangan sudah menjadi pisau tajam dalam menemukan titik temu kemuliaannya. Dengan mengatasnamakan mazhab atau paham yang dianut, sebagian umat merasa paling benar dan memaksakan pandangan terhadap yang lain.

 

Selain itu, praktik dakwah digital yang kini menjadi media bagi para pendakwahseringkali yang dianggap liberal atau tekstualis. Alih-alih menjadi ruang untuk saling menghargai perbedaan, hal ini justru kerap memicu konflik antar golongan. Di antara masyarakat Muslim, perbedaan dalam furu’ seharusnya tidak menjadikan alasan untuk saling menyalahkan, apalagi untuk memecah ukhuwah Islamiyah.

 

Berbagai organisasi Islam, dalam hal ini, NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan lainnya, semua organisasi tersebut sudah dan masih berperan penting dalam pembangunan peradaban Islam di Indonesia, masing-masing organisasi tersebut berusaha untuk menanamkan nilai tawassuth atau moderasi, sehingga menjadi ciri dan menjadi sikap organisasi untuk menjaga demokrasi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia.

 

Namun, dalam menyikapi perbedaan, kesalahpahaman di antara sebagian pengikut dari organisasi tersebut, sebaliknya, alih-alih mengusung semangat moderasi seolah-olah mereka terjebak dalam fanatisme. Kita seharusnya meluruskan berbagai hal yang dipersempit dalam masyarakat. Tentu, keharmonisan umat tidak hanya menjadi pemuka agama

 

Gus Mus pernah mengungkapkan: “Orang Muhammadiyah yang tinggi ilmunya akan semakin mirip dengan NU, orang NU yang tinggi ilmunya akan semakin mirip Muhammadiyah”. Ini, menegaskan moderasi bukan sekedar menaruh toleransi saja, melainkan mampu mencari jalan keluar di antara perbedaan yang ada.

 

Sikap moderasi akan muncul ketika seseorang dapat memahami agama secara mendalam disertai dengan sikap lapang dada dalam menyikapi perbedaan. Moderasi dalam hal ini adalah sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap Muslim yang mengaku Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan begitu, moderasi tidak lagi hanya sekedar wacana, tetapi mengingat pentingnya moderasi ia menjadi kebutuhan untuk menjaga ukhuwah dan peradaban Islam rahmatan lil alamin.

×
Berita Terbaru Update