![]() |
Adzin Aris Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. (Foto: Dokpri) |
Kegelisahan inilah yang dulu dirasakan
dan dialami oleh Sang hujjatul Islam: Imam Al-Ghazali, salah satu ulama’
paling berpengaruh dalam dunia Islam. Kegelisahan ini terihat begitu emosial
jika kita membaca karya otobiografiya: al-munqidz min al-dhalal, yang
juga merupakan karya terakhirnya sebelum kewafatannya pada 1111 M.
Perbedaaan adalah sebuah keniscayaa,
namun, tidak bisa tidak, dari seluruh perbedaan, hanya ada satu yang benar dan
selamat. Hal ini sebagaimana disabdakan Nabi saw “umatku akan terpecah
mejadi 73 golongan yang berbeda-beda. Namun, dari banyaknya golongan tadi,
hanya satu yang selamat”.
Senada dengan penjelasan di atas, Karl
Popper menuturkan “kebenaran harus bersifat objektif, jika tidak, maka sesatnya kita itu
sama baiknya dengan benarnya kita. Dan ini mustahil.”
Bermula dari perenungan atas hadis di
atas, Al-Ghazali mulai terjerat skeptisisme yang cukup serius. Ia mulai
mempertanyakan siapa yang sebenarnya pemilik kebenaran ini di antara banyaknya
golongan yang eksis pada masanya.
Tak cukup sampai di situ, bahkan, ia
juga mulai meragukan imannya sendiri, apakah imannya adalah iman yang sah dan
sempurna, atau hanaya iman ikut-ikutan (taqlid)
karena orang tuanya beriman. Ia juga mulai meragukan keobjektivan indra sebagai
instrumen untuk memperoleh pengeatahuan. Ia yakin, bahwa hanya pengetahuan yang
bersifat aksiomatiklah yang bisa menghantarkan pada keyakinan yang tak
terbantahkan.
Dari kegelisahan ini, Al-Ghazali mulai
melakukan eksplorasi keilmuan dalam rangka merekonstruksi ulang keyakinannya
dan pengetahuaannya; mana pengetahuan yang sekedar ilusi dan mana yang bersifat
hakiki.
Obsesi Al-Ghazali pada saat itu adalah
ia ingin mencapai sebuah pengetahuan dan keyakinan yang tak terbantahkan.
Seperti pengetahuan aksiomatik bahwa dua lebih banyak dari satu. Bahkan, jika
ada seorang ajaib yang bisa merubah wujud tongkat menjadi ular, dan merubahnya
kembali mejadi tongkat, dan mengatakan bahwa dua tak lebih banyak dari satu, ia
tak akan mempercayai ucapan orang ini. Karena jelas, secara prinsip, mustahil
satu lebih banyak dari dua.
Hasrat yang tak terbendung ini telah
mendorong Al-Ghazali untuk menceburkan diri ke dalam lautan yang gelap: dunia
perbedaan dan pertentangan madzhab dan sekte, demi mencari kebenaran hakiki.
Ia mengawali pencarian kebenarannya
dengan menceburkan diri ke dalam kelompok para teolog (mutakallimin)
yang mengklaim diri mereka sebagai para argumentator ketuhanan dan bisa
menghantarkan seseorang sampai pada pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifatullah).
Namun, nampaknya Al-Ghazali tidak
menemukan apa yang ia cari dari kelompok ini. Ia melihat, tujutan dari para
teolog hanya menjadi anti-tesis dari aqidah bid’ah, dan bukan menghantarkan
seseorang pada pengetahuan hakiki atas segala sesuatu.
Kemudian, dari teologi, Al-Ghazali
beralih ke lembah filsafat. Ketertarikan Al-Ghazali terhadap filsafat tidak
lepas dari citra filsafat yang dikenal sebagai ilmu yang mencoba mengetahui
segala sesuatu secara hakiki.
Dari elaborasi yang dilakuaknnya,
Al-Ghazali melihat filsafat sebagai disiplin ilmu yang cukup problelmatis. Ada
beberapa poin dalam filsafat yang dapat membawa seseorang pada jurang
kebid’ahan, bahkan kekafiran. Sehingga filsafat bukan jalan yang tepat untuk
seseorang bisa mencapai pengetahuan hakiki tentang segala hal, tapi malah bisa
menghantarkan seseorang pada jurang kesesatan.
Al-Ghazali melanjutkan eksplorasinya
dengan masuk ke dalam aliran yang cukup populer pada saat itu, yakni Syi’ah
Imamiyyah. Sebagaimana kelompok-kelompok sebelumnya, Syiah Imamiyyah juga
mengklaim kebenaran ada dipihaknya dengan hadirnya sosok Imam yang Ma’sum (terjaga) dalam tradisi mereka.
Namun, setelah mempelajari aliran
kelompok ini, Al-Ghazali menemukan beberapa poin di dalamnya yang kontradiktif
dengan apa yang selama ini ia pahami tentang islam. Khususnya konsep imam
maksum yang menempatkan imam mereka sebagai pemegang kebenaran mutlak, dan
siapapun selain imam-imam mereka tak layak menjadi seorang pemberi petunjuk.
Setelah berhasil menidentifikasi
kesesatan kelompok di atas, Al-Ghazali mulai melontarkan kritiknya dan kemudian
melanjutkan pencariannya menuju samudra tasawuf.
Al-Ghazai, sebagai seorang yang
terdidik dengan keimuan islam sedari kecil, telah mengenal tasawuf. Menurutnya, tasawuf, berbeda
dengan ajaran lain yang berfokus pada ranah teoritis, adalah sebuah perjalanan
sepiritual yang mengombinasikan ilmu dan amal praktis. Output dari ajaran tasawuf adalah membebaskan diri dari belenggu nafsu,
membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela, dan menggantinya dengan
sifat-sifat yang terpuji.
Di fase ini, Al-Ghazali agak kesulitan dibanding
ketika menjadi pengikut teologi, filsafat, atau syiah imamah, karena ia harus
mengejawentahkan ilmunya menjadi aksi konkrit. Ditambah lagi fokus tasawuf
adalah wilayah bathin.
Setelah berusaha menjadi praktisi tasawuf (sufi), ia yaqin, bahwa
inilah yang selama ini ia cari. Ia mengatakan “apapun yang mungkin
bisa dihasilkan dari jalan mencari ilmu telah aku hasilkan, namun, buah dari tasawuf tidak cukup kita hasilkan hanya dari membaca atau
mendengar, tapi dengan merasakan, menghayati (dzauk)
dan mengalaminya (suluk).”
Al-Ghazali juga merasa puas dengan hasil yang ia
peroleh setelah menjadi praktisi tasawuf, yakni
jawaban atas pertanyaan yang selama ini menjadi misteri yang menghantui
hidupnya “apa itu
pengetahuan hakiki atas segala sesuatu, dan bagaiamana aku memperolehnya.”